Definisi Luas
Slogan "From The River To The Sea, Palestine Will Be Free" menjadi sebuah slogan yang berkembang dalam upaya masyarakat global mendorong pembebasan Palestina terhadap genosida yang dilakukan oleh Israel. Kemunculan pertama slogan tersebut beriringan dengan berdirinya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada tahun 1964 oleh Yasser Arafat, seruan "From The River To The Sea" yang memiliki arti "Dari Sungai Hingga Ke Laut" tentunya menggambarkan posisi geografis Palestina yang membentang di antara Laut Mediterania dan Sungai Jordania. Letak itulah yang kemudian mendasari munculnya slogan tersebut dalam melawan penguasaan yang dilakukan oleh Israel sejak Nakba atau istilah yang sering dikaitkan dengan kata Bencana yang terjadi pada 1948, dimana terjadi penganiayaan, pemindahan dan pendudukan terhadap hak-hak masyarakat Palestina sebagai bentuk dari penghapusan secara geografis terhadap wilayah Palestina yang kemudian membentuk negara Yahudi yang merupakan bagian dari mandat Inggris, Israel. Lalu bagaimana bangsa "barat" memandang slogan "From The River To The Sea, Palestine Will Be Free"?
Penggunaan slogan tersebut menjadi marak dengan berkembangnya teknologi komunikasi yang memudahkan pengiriman dan penerimaan informasi dari dan menuju seluruh dunia. Slogan "From The River To The Sea, Palestine Will Be Free" kembali menarik minat masyarakat global pasca pengeboman secara masif yang dilakukan oleh tentara Israel di wilayah Palestina pada 7 Oktober 2023 silam yang menjadi titik baru dari ketegangan antara Palestina dan Israel yang sudah berlangsung sejak Nakba 1948. Berbagai kecaman muncul baik melalui media sosial maupun melalui demonstrasi-demonstrasi yang dilakukan di berbagai belahan dunia, seperti di London, Berlin hingga Jakarta tak terkecuali. Slogan "From The River To The Sea, Palestine Will Be Free" menjadi salah satu harapan besar para demonstran yang mendorong dilakukannya gencatan senjata.
Pandangan Kelompok Pro-Palestina
Dalam penggunaan slogan "From The River To The Sea, Palestine Will Be Free" tentunya memunculkan perdebatan antara kelompok Pro-Palestina dan Pro-Israel yang tentu memiliki perbedaan dalam penafsiran diksi "Free" dalam slogan tersebut. Menurut Nimer Sultany, seorang dosen hukum dari School of Oriental and African Studies (SOAS) di London yang banyak mengkaji tentang studi Orientalisme di Asia dan Afrika, diksi "Free" dalam slogan tersebut tentunya adalah sebuah bentuk pengharapan adanya bentuk kesetaraan dan keadilan bagi rakyat Palestina yang selama ini mengalami bentuk-bentuk diskriminasi hingga kekerasan yang dilakukan oleh Israel.Â
Penafsiran Nimer Sultany sebagai seorang akademisi tentunya kemudian diikuti oleh beberapa pernyataan aktor-aktor politik di berbagai negara dalam mendorong pembebasan dan penyetaraan hak-hak warga Palestina. Sebagai contoh, politisi Partai Buruh Inggris, Andy McDonald mengeluarkan pernyataan "We won't rest until we have justice, until all people, Israelis and Palestinians, between the river and the sea can live in peaceful liberty," dalam kesempatannya pada aksi solidaritas yang dilakukan di Inggris dan pernyataan Marc Lamont Hill, seorang pengamat politik Amerika Serikat yang mengeluarkan pernyataan "We have an opportunity to not just offer solidarity in words but to commit to political action, grass-roots action, local action and international action that will give us what justice requires and that is a free Palestine from the river to the sea," membuktikan bahwa pada dasarnya slogan tersebut merupakan keinginan yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat Palestina namun masyarakat global.
Namun apa yang terjadi pada Andy McDonald dan Marc Lamont Hill setelah mengeluarkan pernyataan yang menggunakan slogan "From The River To The Sea, Palestine Will Be Free", Andy McDonald diberhentikan dari jabatannya dalam internal Partai Buruh Inggris dan Marc Lamont Hill dipecat dari CNN. Hal tersebut tentunya menggambarkan betapa masifnya disrupsi yang disebabkan oleh penggunaan slogan tersebut bagi bangsa barat yang pada dasarnya Pro-Israel.Â
Pandangan Barat
Apa yang terjadi pada Andy McDonald dan Marc Lamont Hill merupakan gambaran betapa masifnya penolakan bangsa-bangsa barat terhadap gerakan demonstrasi yang mendorong gencatan senjata dengan menggunakan slogan "From The River To The Sea, Palestine Will Be Free". Berbagai larangan-larangan dikeluarkan oleh pemerintah negara-negara Eropa seperti, Prancis dan Jerman yang merupakan negara dengan populasi Islam yang relatif tinggi, dimana pemerintah kedua negara tersebut mengeluarkan larangan bagi masyarakatnya untuk melakukan demonstrasi dalam upaya membela Palestina.Â
Bentuk lain dari penolakan bangsa-bangsa barat terhadap aksi pembelaan terhadap bangsa Palestina yang menggunakan slogan "From The River To The Sea, Palestine Will Be Free" juga dilakukan oleh para politisi-politisi negara barat, seperti Suella Braveman, Menteri Dalam Negeri Britania Raya yang menyatakan bahwa protes-protes yang dilakukan di Inggris dalam mendorong gencatan senjata di Gaza justru merupakan gerakan anti-semit dan dianggap ingin menghilangkan eksistensi Israel. Pernyataan Braveman kemudian diikuti oleh gerakan politik Rishi Sunak, Perdana Menteri Inggris yang tidak melakukan pemecatan terhadap Braveman setelah mendapat kecaman masif atas pernyataannya yang dianggap tidak mencerminkan pemerintahan yang humanis dengan mengeluarkan pernyataan yang terkesan "tone deaf".Â
Barat Dalam Pandangan Orientalisme