[caption caption="Rektor Universitas Padjajaran, Tri Anggono Achmad, sedang memaparkan terobosan baru yang diterapkan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran pada suatu stasiun televisi. (Sumber : NET TV)"][/caption]
Coba deh, kalian tanyakan ke anak-anak kecil yang ada di dekat rumah kalian. Tanyakan, mau jadi apa mereka kalau sudah dewasa nanti. Saya yakin banyak yang akan menjawab dengan semangat, “Jadi Dokter!” Saat ini, dokter masih menjadi profesi favorit di Indonesia. Namun, walau begitu favoritnya dokter di benak anak-anak muda serta lulusan SMA di Indonesia, terdapat sebuah problema besar yang kian mengurungkan niat mereka untuk menjadi Dokter.
Pendidikan yang harus diemban seseorang untuk menjadi dokter terhitung sangat mahal. Sangatlah mahal. Bahkan, beberapa orang menyebut dokter sebagai sebuah profesi eksklusif yang hanya mampu didapatkan oleh orang-orang yang “ber-uang” saja. Sebagian orang juga mengatakan, “Sekarang, kalau mau jadi dokter otak saja tidak cukup (perlu uang juga).” Pemerintah juga sudah sejak lama berusaha untuk menghilangkan masalah mahalnya kuliah kedokteran ini, dan yang sedang menarik perhatian adalah sebuah gebrakan demi menurunkan mahalnya kuliah kedokteran yang dilancarkan salah satu fakultas kedokteran terbaik di Jawa Barat.
Bagaimana Situasi Pendidikan Dokter di Indonesia?
Di Indonesia, Pendidikan Dokter adalah sebuah pendidikan yang “unik”, berbeda dari pendidikan-pendidikan lainnya, serta memerlukan komitmen dan perjuangan yang panjang. Mengapa seperti itu? Alasan pertama, kuliahnya lama banget. Dibutuhkan waktu 3.5 tahun untuk mempelajari ilmu-ilmu kedokteran (non-klinik) dan tambahan waktu 2 tahun untuk mempelajari praktik kedokteran (klinik) hingga akhirnya seseorang berhak menyandang gelar dokter. Akan tetapi, belum selesai disitu. Dokter baru ini wajib melakukan jasa pengabdian selama satu tahun di tempat yang ditentukan pemerintah melalui program internship agar mendapat Surat Izin Praktik (SIP) dan Surat Tanda Registrasi (STR). Baru setelah total kurang lebih 7 tahun, seseorang dokter akhirnya berhasil “diciptakan”.
Namun, bagi calon-calon dokter, lamanya waktu kuliah yang harus diemban demi menjadi “malaikat bagi orang-orang sakit” tidak menjadi masalah. Demi mampu mengabdi ke masyarakat dan memiliki penghasilan yang berkecukupan ketika tua nanti, pendidikan yang panjang adalah harga yang dengan senang hati mereka bayar. Ironisnya, walau waktu pendidikan yang panjang mampu mereka bayarkan, biaya untuk berkuliah demi menjadi seorang dokter tidak mampu mereka bayar. Nyatanya, saat ini biaya kuliah kedokteran sangatlah mahal dan seringkali memupuskan mimpi anak-anak muda untuk menjadi dokter.
Sebenarnya, alasan utama dari mahalnya kuliah kedokteran adalah biaya operasional yang tinggi. Tentu saja ini adalah hal yang wajar. Dalam menjalankan pendidikannya, mahasiswa kedokteran harus menggunakan alat-alat laboratorium dan kedokteran, misalnya stetoskop, spyghmomanometer, mikroskop, alat-alat praktikum, dsb. Belum lagi anggaran yang harus dikeluarkan kampus untuk menunjang fasilitas yang mumpuni serta dosen yang kompeten. Sudah sepapatutnya biaya kuliah kedokteran mahal.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga sejak beberapa tahun silam mengeluhkan mahalnya kuliah kedokteran, baik di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) maupun Perguruan Tinggi Swasta (PTS), hingga mencapai ratusan juta rupiah menyebabkan kuliah kedokteran tidak lagi terjangkau oleh semua masyarakat, hanya kalangan orang mampu saja yang mampu membayarnya.
Oleh karena itu, pihak-pihak terkait menekankan perlunya solusi konkrit demi menurunkan mahalnya biaya kuliah kedokteran, salah satunya adalah dengan menirukan program pendidikan yang dimiliki negara Jerman. Jerman memberikan dana kepada universitas melalui pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga kampus tidak terbebani untuk membayarkan biaya operasional. Selain itu, universitas-universitas di Jerman juga melakukan berbagai program-program pendanaan kerjasama dengan instansi swasta, terutama dalam hal riset. Hal ini tentunya jika diterapkan di Indonesia akan sangat membantu memecahkan dilema sumber pendanaan fakultas kedokteran yang terjadi disini.
Kebetulan baru-baru ini Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran melakukan sebuah terobosan baru yang sangat inovatif namun cukup kontroversial. Mereka menerapkan sistem pendanaan yang sangat mirip dengan Jerman.
Apa Gebrakan yang baru-baru ini dilakukan FK Unpad?
Universitas Padjajaran baru-baru ini mencanangkan sebuah terobosan baru yang sangat inovatif, yakni biaya pendidikan mahasiswa baru program studi Sarjana Pendidikan Dokter dan Pendidikan Dokter Spesialis di Fakultas Kedokteran mulai 2016 ditanggung pemerintah sepenuhnya atau dengan kata lain Digratiskan. Di tahun ajaran 2016/2017 ini, Unpad akan menggratiskan biaya kuliah seluruh mahasiswa yang mereka terima, sebanyak 250 mahasiswa, baik dari jalur SNMPTN maupun SBMPTN. Dana beasiswa untuk membayarkan mahasiswa kedokteran ini berasal dari pemerintah pusat, pemerintah daerah dari 27 kota/kabupaten di Jawa Barat, serta beasiswa dari berbagai pihak lainnya, termasuk instansi swasta.
Walau biaya kuliah kedokteran di Unpad sepenuhnya gratis, ada syarat yang wajib dipenuhi mahasiswa Pendidikan Dokter dan Dokter Spesialis, yaitu sebuah perjanjian antara calon mahasiswa dengan Unpad. Perjanjian ini menyatakan bahwa ketika lulus nanti, para dokter yang mendapat kuliah gratis ini wajib mengabdi di wilayah/instansi yang ditentukan. Jika perjanjian tidak dipenuhi maka Rektor berhak untuk tidak mengeluarkan ijazah mahasiswa yang bersangkutan. Bahkan, Rektor Unpad, Prof. Dr. med. Tri Hanggono Achmad, juga menegaskan kewajiban memenuhi perjanjian tersebut, ia lalu menambahkan “Jika tidak bersedia, jangan pilih kuliah di Kedokteran Unpad. Ada banyak perguruan tinggi lain yang juga menyediakan pendidikan kedokteran”.