Mohon tunggu...
rao fira
rao fira Mohon Tunggu... -

tegaknya keadilan dan kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

“Tuyul” Dibalik Tempo dan Jokowi “Siapa menjinakan Siapa ?”

30 Juni 2014   16:41 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:10 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Tuyul” Dibalik Tempo dan Jokowi

“Siapa menjinakan Siapa ?”

Suatu hari dalam kongkow2 di kantin Polda Metro Jaya, saya menyimak serius percakapan santai beberapa wartawan tua tentang atmosfer "pekerja pers" dulu hingga sekarang.
"Lebih enak zaman orde baru dulu, wartawan gak terlalu banyak, dan mudah cari duit karena sekali buat salah dan sampai ke telinga pak harto, bisa gawat tuh pejabat. Terpenting jangan timbul gejolak, begitu kira2 maunya Suharto," celetuk seorang dari mereka.

Yang lain menimpali. "Sekarang ada KPK, mau kasi duit padahal sekedar sangu untuk pulang, pejabat sudah takut." (semua tertawa).

Satu orang lagi masuk dalam pembicaraan. "Memang SIUPP 2x itulah kesalahan Suharto, media yang  melawan dia bredel, padahal kualitas tulisan wartawan bisa  dipertanggungjawabkan, sangat "cantik" tulisan itu bergoyang, bernas dan yang baca mengernyitkan kening dulu baru sampai kesimpulan. Sekarang pembaca baru pemanasan sudah kepuasan".

"Hari ini industri pers seperti katak dalam tempurung, bebas tapi sebetulnya lebih jahat, media-media besar itulah yang monopoli, sampai-sampai pembaca itu mereka kotak-kotakan sesuai kebutuhan. Mereka yang memegang kendali atas isu-isu nasional, celakanya seringkali pemodal yang kebanyakan politikus memaksakan pendapatnya hingga kemeja redaksi,” celetuk yang lain.

Begitulah sepenggalan cerita dari beberapa wartawan tua yang saya "dapat" di kantin Polda,  mereka begitu bersemangat dan sangat bangga dengan profesinya, walau terkadang "meminjam kalimat mereka", paginya di gedung prasmanan mewah bersama pejabat tinggi, sore selepas maghrib masih gelantungan di bus kota menuju rumah, dengan keringat yang lebih deras dari isi kantong tentunya.

Namun, perhatian saya lebih tertuju pada ungkapan tentang monopoli media besar dan politikus pemodal yang mengancam jauh hingga meja redaksi. Betulkah ada yang seperti ini?

Sebagai wartawan yang lahir di era reformasi dan masih ingin terus belajar mengetahui "ranjau-ranjau" pers, tentu saya punya media favorit yang sering saya jadikan rujukan dalam melihat dan memahami kondisi sosial dan politik tanah air. Salah satunya Tempo, media yang lahir dalam bingkai idealisme kaum intelektual yang kenyang dengan teror penguasa, Tempo saya anggap menulis dengan ungkapan "Kalau bisa dipermudah dan disederhanakan buat apa dipersulit". Tempo terkenal berani dalam menurunkan berita, banyak pembaca khususnya mahasiswa yang senang dengan gaya bercerita Tempo, bahkan hampir disetiap edisi mingguan majalahnya, Tempo hampir selalu kena somasi, selalu ada yang minta diralat, karena banyak pejabat takut bila diberitakan Tempo tak lama bisa berurusan dengan KPK, Kejaksaan dan Kepolisian.

Namun Tempo menurut saya bukan tanpa celah, dengan berat hati saya katakan dari Tempo justru saya menginsyafi bahwa belum ada satu pun media massa yang benar-benar independen dan obyektif menggambarkan keadaan, atau tanpa keberpihakan. Termasuk Tempo yang “sekarang”.

Pertama, saya tertarik menguliti sedikit siapa yang berperan dibalik Tempo, dari bisik-bisik yang saya dengar, Tempo setidaknya "ramah" dengan : Ciputra, Dahlan Iskan, Ali Sadikin beserta beberapa jenderal AL nya,Karni Ilyas, Abu Rizal Bakrie, Sofyan Wanandi, Hendropriyono hingga kini Jokowi atau tepatnya PDI-P.

Nama terakhir dengan geram saya sematkan karena tidak habis pikir dengan cara Tempo “berbisnis”. Mula-mula ialah kolom / rubrik Metropolitan di Koran Tempo, yang tayang nyaris tiap hari mengekor blusukan Jokowi di DKI, jelas ini tidak gratis, namun saya pribadi masih memaklumi. Lebih parah kini, menjelang Pilpres 9 Juli, Tempo seolah menjadi media kampanye Jokowi. Porsi pemberitaan, penempatan foto dan judul berita meski kadang coba dikabur-kaburkan namun sangat terlihat dikubu mana Tempo berada. Entah siapa yang menjinakan siapa, namun sepengetahuan saya kedekatan Jokowi dengan Tempo terjalin semenjak Jokowi menjabat gubernur DKI. Mungkin muasalnya ketika Majalah Tempo membuat berita tentang mobil EsEmKa yang mendongkrak nama Jokowi ketika di Solo, dalam berita ini Tempo mempersoalkan EsEmKa yang didanai APBD, yang digemborkan Jokowi sebagai karya anak bangsa, namun nyatanya EsEmKa hanya mobil rakitan yang perabotannya banyak diimpor dari luar.

Saya menduga ada pemilik saham di PT. Tempo Inti Media atau setidaknya orang “dekat” yang memanfaatan koran dan majalah Tempo untuk ambisi politiknya. Dugaan saya Dahlan Iskan, Sofyan Wanandi dan seorang pensiunan jenderal di kubu Jokowi yang merusak redaksi Tempo.

Ini seharusnya tidak boleh dibiarkan, Tempo banyak dibaca kaum terdidik / terpelajar yang menyerap beragam informasi dan melahirkan gagasan-gagasan kemajuan. Sebagai media go public seharusnya Tempo memiliki posisi tawar sangat tinggi, dan menolak urusan dukung mendukung ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun