Lazimnya, indera komersial (commercial sense) dimiliki oleh mereka yang bergerak di dunia bisnis atau enterpreunership. Ia merupakan kejelian dan kecerdasan menangkap sebuah peluang yang kemudian mampu dikonversi menjadi keunggulan yang berpotensi mendatangkan benefit. Ia sama sekali berbeda dengan naluri ketamakan untuk meraup keuntungan sebesa-besarnya dengan melegalisasi semua cara. Contoh paling mudah adalah lahirnya situs jejaring sosial, Facebook, yang dibidani oleh mahasiswa introvert seperti Mark Zuckenberg. Atau Java Musicindo penghelat konser musik terbesar di Nusantara. Banyak contoh bisnis yang akhirnya menjadi sukses dan besar karena lahir dari kejelian yang dibalut dengan kreativitas memanfaatkan peluang (opportunity) dankeunggulan (strengh) sekecil apapun. Bila bagi kebanyakan orang kulit ceker ayam hanyalah sesuatu yang tak berguna, namun di tangan orang yang memiliki commercial sense kulit ceker ayam bisa disulap menjadi panganan gurih khas daerah.
Akan tetapi pandangan di atas nampaknya perlu kita koreksi kembali, bahwa ternyata indera komersial juga semakin menjadi kebutuhan bagi entitas nirlaba sekalipun. Bahkan bila kita menilisik keberhasilan pembangunan di beberapa negara maju ternyata tak lepas dari kerangka berfikir ini.
Tengok saja negeri jiran Singapura. Lensa konvensional melihat negeri Lee Kuan Yew ini hanyalah sebuah dataran kecil yang tidak lebih besar dari separuh luas Kota Makassar, minim barang tambang, nihil budaya aslidan tidak memiliki spot keindahan alam sebanyak dan seindah panorama alam di Indonesia yang menghampar di nusantara. Kemudian indera komersial mereka itu membisikkan bahwa Singapura merupakan pintu lalu lintas kawasan yang amat startegis yang kerap dilalui pelayaran internasional. Oleh para the founding father –nya, peluang itu pun segera mereka kristalisasi menjadi visi sebagai broker state. Dengan ditopang etos kerja di atas rata-rata dan marketing yang profesional, Pemerintah Singapura mampu menyulap negara yang baru merdeka secara mutlak tanggal 9 Agustus 1965 ini sebagai hypermarket dunia, pelabuhan tersibuk no.1 dunia, dan tempat investasi paling menjanjikan.
Jalan yang sama ditempuh pemerintah Malaysia khususnya di bidang pariwisata. Sadar akan penduduknya yang terdiri dari multi-etnis dan multi-kultur dari negara-negara asia, Malaysia dengan gegas mengklaim brand-positioning-nya dalam tagline promosi pariwisata: Malaysia, truly Asia!.
Sense bisa diartikan rasa, indera, atau perilaku sadar dan realistik terhadap suatu kondisi atau permasalahan. Oleh sebab itu commercial sense sebenarnya pikiran yang secara alami, sadar atau tidak sadar, selalu muncul pada para pelaku ekonomi, entah itu entreupeneur atau corporate business , termasuk pemerintah. Permasalahannya adalah apakah sense tersebut dikelola atau tidak.
Konsep di atas akan menemukan korelasinya bila kita pernah mengenal teori ekonomi klasik competitive advantage David Ricardo atau competitive strategyMichael E. Porter. Intinya agar kita memiliki kesetaraan dengan kompetitor, kita harus memiliki nilai jual. Nilai jual ini bisa muncul dari harga yang kompetitif atau diferensiasi produk. Menurut Phillip Kotler, differensiasi produk berarti melakukan suatu usaha untuk membuat perbedaan antara produk yang kita tawarkan dengan produk lainnya. Differensiasi produk dapat dilakukan dengan berbagai cara melalui harga, kualitas, pilihan produk, pangsa pasar, pelayanan, proses, preferensi (membentuk mind set konsumen), teknologi, dan lainnya. Tinggal produk mana yang bisa kita tawarkan sesuai dengan sumber daya yang kita miliki, kompetensi dan kapasitas kita.
Sebagai negeri yang dianugerahi Tuhan kekayaan yang amat berlimpah, semestinya banyak produk bisa kita tawarkan dalam ekonomi dunia. Kita bisa menjual bahan mentah, pariwisata, keunikan dan keragaman budaya, lokasi strategis kita, dan masih banyak lagi. Bandingkan dengan Singapura yang semula hanya ‘menjual’ kawasan strategisnya kini mampu memacu laju pertumbuhan PDB hingga mencatat rekor tertinggi di dunia:14,5% di tahun 2010 dan cadangan devisa 9 terbesar dunia!
Kalau negara ini kita analogikan ibarat sebuah kios toko di sebuah pasar yang bernama global market, sudah pasti akan banyak barang yang sesak memenuhi etalase kita ketimbang toko pesaing karena ternyata terlalu banyak produk atau jasa apapun wujudnya yang kita bisa jual. Maka hanya pedagang bodoh saja yang kemudian tak mampu menjual barangnya sendiri kemudian justru menjual dengan harga murah produknya ke toko sebelah dan lantas membeli kembali dengan lebih mahal setelah produk kita tersebut dipoles lebih apik oleh kompetitor kita.
Sejujurnya harus kita akui, bahwa kita memang malas untuk belajar menjadi bangsa besar. Lebih senang melakukan pekerjaan mudah namun cepat mendatangkan hasil: mengeksploitasi dan mengekspor barang mentah, menunggu masuknya investasi asing, dan menarik pajak dari membanjirnya produk luar negeri ke pasar kita. APBN 2011 dengan terang menunjukkan produktivitas nasional untuk mendongkrak penerimaan negara masih bertumpu pada pajak dan penjualan minyak mentah Alhasil, sampai kini pun kita tidak memiliki daya saing di percaturan pasar global.
Setali tiga uang, nasib serupa dialami pemerintah daerah. Sangat mengherankan, mereka tidak tahu bagaimana mengembangkan daerahnya sendiri, sementara banyak potensi di daerah yang semestinya bisa di-explore untuk meningkatkan PAD-nya justru dibiarkan terlantar. Teronggok menjadi hidden paradise. Semua elit di daerah cenderung mengandalkan pendapatannya dari pajak daerah (utamanya sektor migas) dan dana alokasi dari pemerintah pusat. Bukan rahasia lagi, daerah yang memiliki kandungan migas berlimpah pasti memiliki PAD terbanyak dibanding daerah lain. Sementara daerah yang lain seolah ‘tak berkutik’ menghadapi takdir sebagai daerah tanpa minyak bumi.
Ironi di atas tidaklah mengherankan. Sebab orang-orang yang memangku pengambil kebijakan di hampir semua level struktural tidak berkiblat pada kepentingan publik dan bangsa. Orientasi mereka hanya kepentingan diri pribadi, kelompoknya dan pengamanan kekuasaan. Kinerja mereka seolah hanya digerakkan oleh syahwat untuk menjadi birokrat yang selalu ingin dilayani. Tidaklah mengherankan apabila tujuan memakmurkan negeri ini tak pernah tercapai, alih-alih tinggal landas malahan semakin tertinggal di landasan.
Ide, Konsep, platform dari semua level pemimpin yang awalnya terlihat menjanjikan lambat laun tak lebih hanya sebuah retorika yang lekang ditelan uang dan kepentingan. Pemerintah berikut aparatnya terlihat gagap menerjemahkan suatu konsep ideal menjadi model nyata pembangunan yang dapat dinikmati rakyat. Selalu jauh panggang dari api.
Mencari positioning yang tepat
Sebagaimana disinggung di atas, bahwa banyak produk yang bisa kita jual kepada dunia. Parameter paling mudah adalah pariwisata. Mengapa pariwisata?
1.Pengembangan pariwisata merupakan penyumbang devisa yang sangat besar, karena pada sektor inilah banyak peluang-peluang potensi yang bisa dimanfaatkan. Dan jangan lupa, pariwisata adalah industri yang tak akan pernah habis dikonsumsi.
2.Pariwisata adalah ekonomi masa kini dan masa depan. Futurolog John Naisbit mengatakan bahwa wisata sekarang merupakan kebutuhan asasi manusia modern masa kini dan mendatang. Maka dikenallah istilah ekowisata.
3.Sekarang adalah era ekonomi kreatif, dimana pariwisata masuk di dalamnya.
4.Sektor pariwisata memiliki dampak langsung dan tidak langsung terhadap ekonomi. Oleh karenanya, negara-negara maju telah lama menjadikan pariwisata sebagai agen penggerak perekonomian nasional.
Pada tahun 2008 sumbangan sektor pariwisata Indonesia terhadap PDB yakni 4,70%, di tahun 2010turun menjadi 4,06%.Sementara kontribusi sektor pariwisata Malaysia tahun 2008 adalah 12,3% dan di tahun 2010 sebesar 12,7%.
Keseriusan negeri jiran dalam mengembangkanpariwisatanya ditunjukkan dengan membuka National Tourism Office (NTO) di penjuru dunia. Di tahun 2006, Malaysia membuka 30 NTO dan 15 perwakilan pemasaran, Philipina membuka 12 NTO, sedang Indonesia sama sekali tidak memiliki NTO.Terlihat bahwa negara-negara lain sudah melangkah jauh lebih agresif di banding Indonesia.
Setidaknya ada dua hal penting, agar commercial sense tidak hanya berhenti pada gagasan tapi bisa dikelola dengan baik dalam konteks nasional:
1.Mencanangkan nation-positioning yang khas
Menurut Al Ries dan Jack Trout, positioning adalah sesuatu yang dilakukan terhadap pikiran, yakni menempatkan produk pada tangga-tangga atau kotak pikiran calon konsumen. Di tengah persaingan global saat ini, nation-positioning menjadi hal yang fundamental agar suatu negara bisa tetap eksis dan di terima oleh pasar dunia. Sebab itu, menurut Jean Harrison-Walker sebuah negara perlu menemukan positioning yang unik dan tepat sehingga para stakeholder dapat secara jelas mengidentifikasi keunggulan negara tersebut dari statemen positioning yang dinyatakan. Sebagai contoh, Switzerland mempersepsikan dirinya sebagai tempat bagi yang memerlukan layanan perbankan personal, begitu pula Singapura yang kini getol memasarkan negaranya sebagai the renaisance city agar sejajar dengan London dan New York.
Kata kunci dari nation-positioning ini adalah perlu adanya pemerintahan yang kuat (strong government) dan adanya sebuah konsensus nasional yang menyepakati: akan seperti apakah negara ini? Dan akan dibawa kemana negara ini? Ini yang harus dilakukan oleh para founding father, pemimpin, ekonom, pengusaha dan elemen masyarakat lainnya sebelum berbicara mekanisme pembagian kekuasaan, sehingga negara ini punya bentuk dan tujuan yang jelas yang akan mengarahkan platform dan program pemerintah selanjutnya. Ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang memiliki visi pembangunan dan kenegarawanan yang bersedia duduk dalam satu meja konsensus nasional.
Bila kita selalu sulit untuk bersepakat dan berkonsolidasi, maka harapan kita agar negara ini bisa sejajar dengan negara-negara lain mustahil terwujud. Yakinlah bahwa kita sudah banyak tertinggal langkah dari negara lain yang dulunya kita anggap lebih medioker dari Indonesia, karena mereka sudah lebih dulu menetapkan arah dan positioning mereka.
Satu hal yang menjadikan konsensus ini menjadi teramat penting adalah agar ada kesinambungan kerja ketika terjadi pergantian kepemimpinan pemerintahan. Dengan demikian, arah pembangunan tidak mudah dibelokkan oleh kepentingan rezim yang berkuasa.
2.Menyediakan Infrastruktur dan Service Excellent
Untuk hal ini kita perlu banyak belajar dari Singapura. Hermawan Kertajaya memaparkan dalam bukunya Positioning, Diferensiasi dan Brand, ketika Singapura mencanangkan sebagai Asia baru maka pemerintahnya terus menggalakkan pembangunan dan perbaikan berbagai infrastruktur penting untuk menunjukkan bahwa Singapura adalah kota kelas dunia. Dengan sangat serius Singapura membangun bandaranya, membenahi berbagai fasilitas MICE (Meeting, Incentives, Conventions, and Exhibitions), dan membangun infrastruktur ITsehingga sejajar dengan kota-kota besar dunia seperti New York atau Paris.
Tidak berhenti pada pembangunan fisik, dari sisi konteks, Singapura juga menyajikan excellent customer services kepada semua stakeholders-nya. Hal tersebut direalisasikan dengan membentuk layanan publik dan birokrasi yang cepat dan bebas repot (hassle-free). Bahkan, pemerintahnya pernah melakukan kampanye senyum seantero negeri dikarenakan sejak lama orang Singapura dikenal tidak gampang senyum.
Dengan demikian visi tidak hanya berhenti pada jargon tapi kemudian ditindaklanjuti dengan langkah-langkah yang nyata dan strategis. Teori ini sejatinya paling mendasar dalam kajian manajemen strategik, yang membedakan dalam implementasinya adalah komitmen dan integritas.
Dibutuhkan tiga kunci penting, yakni kepemimpinan yang efektif, dukungan institusi dan hubungan masyarakat. Kepercayaan dari masyarakat kepada para pemimpin melalui praktek pemilu langsung seharusnya menjadi modal asasi untuk menggerakkan mesin pembangunan yang berdampak pada perubahan. Rakyat sudah jenuh dengan riuh drama politik yang tidak punya korelasi dengan pembangunan dan kesejahteraan rakyat.
Pada akhirnya, kesuksesan suatu negara tidak pernah hanya dicapai dengan bentuk “reformasi besar-besaran”, tetapi, sebagaimana dicetuskan Goh Chok Tong, dengan “langkah-langkah gradual dan kecil dalam arah yang tepat”.
Ranu Fatah
Pemerhati Pengembangan Kawasan Indonesia Timur (BANGKIT Institute) Makassar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H