“ Pendidikan seks sejatinya diajarkan sejak dini “, itulah kalimat klasik yang intens muncul di berbagai media akhir-akhir ini. Kalimat pembuka di atas akan bertambah sakti jika saja ditanggapi/diwujudkan secara serius dan bukannya menjadi slogan yang tinggal menunggu waktu kemudian hilang begitu saja. Tentu, kita semua mengetahui bahwa hal ini berkaitan dengan pelecehan seksual anak di bawah umur yang terjadi di salah satu lembaga pendidikan yaitu sekolah. Sekolah sebagai salah satu tempat yang DIHARAPKAN memenuhi kebutuhan pendidikan seks, justru dijadikan tempat terhadap hal-hal yang BERLAWANAN dengan pendidikan seks itu sendiri. Sebenarnya, Indonesia dihuni oleh para pakar/ahli, orang-orang yang mampu berteori dengan begitu lugas, tetapi disinilah yang menjadi letak kelemahan Indonesia bahwasanya negeri ini juga masih minim pakar penggerak, para pakar yang ahli di bidang praktikum, implementasi atau apa saja untuk menyebut orang-orang yang mampu membuat teori-teori hebat menjadi sebuah tindakan. Kaya akan teori, tetapi miskin akan praktik.
Pendidikan seks tidak hanya diajarkan oleh orang tua (rumah) tetapi juga oleh sekolah. Orang tua dan pihak sekolah sudah seharusnya bekerja sama untuk mengakomodasi segala sesuatu yang berkaitan dengan pendidikan seks agar terpenuhi. Pendidikan seks adalah pendidikan mengenai seksualitas manusia yang mencakup pertumbuhan jenis kelamin (laki-laki atau wanita), fungsi kelamin sebagai alat reproduksi, perkembangannya, menstruasi, mimpi basah dan sebagainya, dan yang paling penting dari pendidikan seks atau yang lebih populer dengan sebutan “Sex Education” ini adalah bagaimana manusia dapat merawat dan menjaga kesehatan alat reproduksinya secara jelas dan benar.
Pendidikan seks masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan di rumah ataupun sekolah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tabu/ta·bu /n adalah sesuatu yang dianggap suci (tidak boleh disentuh, diucapkan, dan sebagainya); pantangan; larangan. Tetapi anak-anak akan mengetahui bahwa hal tersebut adalah tabu sampai mereka benar-benar mengatakannya (sesuatu yang dianggap tabu), kemudian para orang tua akan memberitahu mereka bahwa hal tersebut tidak boleh diucapkan (tabu). Sehingga pada intinya, sesuatu yang tabu itu harus dipahami/diucapkan terlebih dahulu bahwa hal itu adalah tabu, termasuk pendidikan seks. Seperti yang saya kutip dari akun twitter milik Joko Anwar,” dan anak tidak akan cerita ke orang tuanya kalau orang tua terbiasa mengatakan ke anak bahwa ada hal-hal yang tabu untuk dibicarakan. Makanya, apapun yang ingin dibicarakan anak, orangtua harus menjadi partner bicara terhadap anaknya.”
Sudah seharusnya para orang tua ataupun pihak sekolah memahami bahwa pendidikan seks bukanlah abnormal things yang tidak terdaftar di dalam pembicaraan makan malam anak bersama keluarga, ataupun dalam bimbingan konseling di sekolah. Tidak ada lagi border dalam komunikasi antara para orang tua dan guru kepada anak akan membuat anak mengerti apapun yang mereka alami, baik atau buruk, dan memahami bahwa apa yang mereka alami memang semestinya mereka alami atau tidak, salah satunya adalah pelecehan seksual. Dengan adanya implementasi dari pendidikan seks diharapkan mampu mengurangi statistik kekerasan seksual yang terjadi pada anak di bawah umur tahun 2014. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yaitu tahun 2013 berjumlah 3.023 kasus dan di tahun 2012 berjumlah 1.383 kasus.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H