Mohon tunggu...
Ranto Sibarani
Ranto Sibarani Mohon Tunggu... Advokat/Pengacara -

Ranto Sibarani adalah seorang Advokat/Pengacara. Saat ini sedang menyelesaikan study Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. Selain aktif sebagai Konsultan Hukum, juga aktif sebagai Tenaga Ahli di Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pilpres 2014 bagi Pembela HAM

9 Juli 2014   07:33 Diperbarui: 24 Februari 2016   11:14 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : Ranto Sibarani

Pembela Hak Asasi Manusia (HAM) atau Human Right Defender mau tidak mau akan berhadapan dengan Pemilihan Presiden (Pilpres) pada 9 Juli 2014 nanti. Seperti apakah Pilpres 2014 ini bagi pembela HAM? Apakah sama dengan Pilpres sebelumnya? Apakah keterlibatan pembela HAM diperlukan pada saat Pilpres?, atau haramkah pelanggaran HAM diungkit menjelang Pilpres?

Pertanyaan-pertanyaan diatas seringkali muncul kepada Pembela HAM, tidak sedikit pula orang yang menggugat dan menuduh pembela HAM hanya ribut soal HAM ketika menjelang Pilpres 2014. Pilpres 2014 kebetulan diikuti oleh Prabowo Subianto, Capres yang diduga terlibat dalam Tim Mawar yang dituduh melakukan penculikan mahasiswa tahun 1998. Pada Pemilu 2009 lalu, Prabowo merupakan pasangan Capres bersama Megawati, banyak pernyataan yang menyebutkan pada saat itu tidak banyak Pembela HAM yang menggugat pelanggaran HAM pasangan calon.

Kandidat Presiden lainnya adalah Joko Widodo yang dibelakangnya juga banyak didukung oleh tokoh militer yang diduga terkait dengan banyak pelanggaran HAM pada masa lalu, hal ini yang membuat perlu ada suatu pedoman bagi pembela HAM dalam menentukan sikap politiknya.

Sejak kapan HAM diributkan?

Hak Asasi Manusia telah menjadi hal penting yang diperhitungkan dalam Undang-Undang di Indonesia sejak diratifikasinya Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial/ICERD, yang diratifikasi dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999. Kerusuhan rasial dan kerusuhan massa yang melanda Indonesia pada bulan Mei 1998 mendorong pemerintah transisi untuk meratifikasi Konvensi tersebut.

Pembela HAM tidak berhenti sampai disitu saja, setelah rejim Soeharto tumbang pada Mei 1998 kran untuk membuka isu HAM dan demokrasi semakin terbuka. Pembela HAM selanjutnya menuntut Pemerintah Indonesia untuk meratifikasi instrumen HAM Utama lainnya seperti Protokol Tambahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik/ ICCPR-OP1, Protokol Tambahan Kedua Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, untuk Penghapusan Hukuman Mati/ICCPR-OP2, dan instrumen-intrumen lainnya. Hal ini membuktikan bahwa pembela HAM menggugat penegakan HAM bukan hanya pada momentum Pilpres saja, namun tetap senantiasa mendorong penegakan HAM paska terbukanya era kebebasan berpendapat setelah Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto dijatuhkan oleh massa rakyat yang di dominasi oleh mahasiswa.

Tuntutan selanjutnya setelah rejim Soeharto adalah ditegakkannya hukum terkait dengan dugaan korupsi dan pelanggaran HAM periode 1965-1998 yang dilakukan oleh pemimpin Orde Baru dan kroninya tersebut. Ironisnya, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap kasus korupsi Soeharto dibandingkan memeriksa pelanggaran HAM yang dilakukannya. Kasus korupsi yang disangkakan kepada Soeharto pun akhirnya mandul, Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) atas nama HM Soeharto tanggal 11 Mei 2006. Soeharto dijadikan tersangka pada 31 Maret 2000, namun ia tidak pernah hadir di persidangan maupun dalam pemeriksaan lanjutan dengan alasan sakit.  Siapapun yang mengerti hukum akan mengernyitkan dahi dengan dikeluarkannya SKP3 tersebut, bagaimana mungkin seorang tersangka kasus Korupsi yang tidak pernah hadir dipersidangan dapat diberikan SKP3.

Tuntutan Demonstran Pembela HAM sebelum dan setelah 1998

Tuntutan utama para demonstran dan pembela HAM pada saat rejim Soeharto berkuasa adalah Turunkan Soeharto, Ciptakan Pemerintahan yang bebas KKN, Cabut Dwi Fungsi ABRI, Cabut UU Politik, Bubarkan MPR/DPR  dan lakukan Reformasi Total. Sebagian besar dari tuntutan itu telah berhasil dicapai, misalnya Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, terjadi Perubahan pada sistem pemilu, Dwi Fungsi ABRI dicabut, Kuota kursi untuk Fraksi ABRI ditiadakan, Sentralisasi pemerintahan menjadi desentralisasi dan otonomi luas.

Setelah Soeharto turun, tuntutan dominan yang disuarakan oleh demonstran dan Pembela HAM adalah Pembubaran Partai Golkar, Pembersihan unsur Orde Baru di pemerintahan, Adili Soeharto dan kroninya, Usut tuntas penembakan di Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Priok, Penculikan  oleh Tim Mawar dan banyak tindakan represif lainnya. Semua tuntutan tersebut paling sering muncul dalam setiap aksi massa ke gedung-gedung pemerintahan paska 1998. Kita akhirnya sadar bahwa KontraS melalui figur pembela HAMnya, Munir yang paling terdepan menyuarakan tuntutan tersebut.  Munir Said Thalib akhirnya tewas karena diracun pada tanggal 7 September 2004 dalam perjalanan akan melanjutkan studi S2 bidang hukum humaniter di Universitas Utrecht, Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun