[caption caption="perppu"][/caption]
Oleh: Ranto Sibarani, S.H.
Rancangan Undang-Undang Pilkada rekomendasi pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY yang berisi pencabutan hak politik rakyat untuk memilih langsung Kepala Daerahnya telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pilkada melalui voting di DPR pada tanggal 26 September 2014 yang lalu, 5 hari sebelum anggota DPR tersebut diganti oleh anggota DPR hasil Pemilu 2014. Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai pendukung Pilkada melalui DPRD seperti PAN, PKS, PPP, Golkar, dan Gerindra, menang dengan 256 suara. Sedangkan tiga fraksi pendukung pilkada langsung, yakni PDI Perjuangan, PKB, dan Hanura, hanya memperoleh 135 suara. Partai Demokrat yang memiliki 145 suara diharapkan sebagai penyeimbang dan penentu ternyata lebih memilih untuk walk out, Demokrat hanya menyisakan enam suara yang mendukung Pilkada langsung, hal inilah yang memberikan peluang KMP untuk memenangkan voting tersebut.
Ditengah-tengah kisruh rakyat dengan hasil keputusan DPR tersebut, muncullah SBY dengan mimik yang serius dan kata-kata yang mudah diduga oleh pengamat amatiran maupun yang profesional. SBY menyatakan bahwa ia tidak menyetujui keputusan DPR mengenai Undang-Undang Pilkada melalui DPRD tersebut. SBY kemudian menegaskan bahwa kebijakan “walk out” bukan merupakan perintahnya, ia mengaku telah meminta dengan tegas agar seluruh kader Demokrat “all out” mendukung Pilkada langsung, bukan “walk out”, suatu jurus semantik yang hebat.
Untuk memperkuat argumennya tersebut, SBY mengeluarkan Perppu menolak dan mengubah Undang-Undang Pilkada melalui DPRD yang telah ditetapkan oleh DPR RI. Tidak tanggung-tanggung, SBY menandatangani dua Perppu sekaligus. Perppu pertama yaitu Perppu No. 1 Tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota. Perppu itu sekaligus mencabut UU Nomor 22 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati dan walikota yang mengatur pemilihan kepala daerah tidak langsung oleh DPRD. Kedua, Perppu No. 2 tahun 2014 tentang perubahan UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang isinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.
Apa Syarat Mengeluarkan Perppu?
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 Ayat 1 mengatur bahwa dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu. Dari pasal tersebut diketahui bahwa syarat penting presiden mengeluarkan Perppu adalah keadaan kegentingan yang memaksa. Oleh karena itu, subjektivitas Presiden dalam menafsirkan “hal ihwal kegentingan yang memaksa” menjadi dasar diterbitkannya Perppu.
Jimly Asshiddiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa kedudukan Perppu sebagai norma subjektif yang diatur dalam Pasal 22 UUD tersebut telah memberikan kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan negara atau hal ihwal yang terkait dengan negara yang menyebabkan dibuatnya suatu Perppu. Namun syarat objektif penerbitan Perppu tersebut selanjutnya dirumuskan oleh Mahkamah Konstitusi, dalam Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Berdasarkan Putusan MK tersebut, terdapat tiga syarat adanya ”kegentingan yang memaksa” bagi Presiden untuk menetapkan Perppu.
Pertama, adanya keadaan yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan Undang-Undang. Kedua, Undang-Undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada Undang-Undang tetapi tidak memadai dan yang Ketiga, Kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat Undang-Undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.
Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah benar ada hal ihwal yang genting yang memaksa Presiden SBY untuk mengeluarkan Perppu nomor 1 dan 2 mengenai Pilkada? Untuk menjawab hal tersebut kita harus melihat fakta-fakta yang terjadi terkait dengan UU Pilkada tersebut. Fakta pertama, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengajukan Draft Undang-Undang Pilkada kepada DPR RI untuk disahkan menjadi Undang-Undang, yang direkomendasikan adalah Pilkada melalui DPRD. Menteri Dalam Negeri adalah pembantu Presiden, sejarah mencatat tidak pernah ada perbedaan pendapat antara Gamawan Fauzi dengan SBY, hal tersebut membuktikan bahwa apa yang direkomendasikan oleh Gamawan pastilah telah diketahui dan disetujui oleh Presiden SBY. Pilkada melalu DPRD adalah rekomendasi pemerintah yang sudah diketahui oleh SBY, kegentingan pertama telah terbantahkan.
Kedua, Koalisi Merah Putih memenangkan voting UU Pilkada melalui DPRD dengan 256 suara dan Koalisi Indonesia Hebat pengusung UU Pilkada langsung mendapat 135 suara. Sementara itu Partai Demokrat yang memiliki 145 Kursi di DPR malah melakukan walk out. Jika Partai Demokrat tidak walk out dan memilih menolak UU Pilkada melalui DPRD maka jumlah suara penolak UU Pilkada melalui DPRD akan menjadi 279, artinya UU Pilkada melalui DPRD seharusnya tidak akan pernah disahkan karena mendapat penolakan dari DPR. Mengapa anggota DPR yang berasal dari Partai Demokrat yang ketua umumnya adalah SBY malah walk out dan tidak menolak UU Pilkada melalui DPRD? Apakah mungkin kebijakan anggota legislatif di DPR tidak dikoordinasikan dengan ketua umumnya? tentu saja hal tersebut mustahil terjadi. “Kebocoran” celoteh Ruhut Sitompul, salah seorang kader Partai Demokrat menyebut bahwa Max Sopacua mendapat SMS dari SBY agar Partai Demokrat walk out, hal ini membuat kegentingan kedua telah terbantahkan.
Lantas kegentingan apa yang membuat SBY mengeluarkan Perppu? Hanya SBY sendiri yang tahu, namun publik menduga SBY sedang cuci tangan dan memperbaiki citranya melalui Perppu tersebut. Kuat dugaan Perppu dikeluarkan oleh SBY sebagai justifikasi agar dia tetap dikenal sebagai sosok yang pro demokrasi, hal ini dapat dimaklumi dengan adanya agenda Bali Demoracy Forum atau BDF VII yang telah diselenggarakan pada 10-11 Oktober 2014 di BICC, Bali yang diikuti oleh 85 negara, namun hanya 3 kepala negara yang hadir, diantaranya Presiden Filipina Benigno Aquino II, Perdana Menteri (PM) Timor Leste Xanana Gusmao dan Sultan Brunei Darussalam Hassanah Bolkiah. Sikap mbalelo SBY terhadap UU Pilkada ini bahkan telah menyebabkan 11 dari 14 Organisasi Masyarakat Sipil yang diundang pada forum tersebut menolak untuk hadir diantaranya adalah LBH Jakarta, YAPPIKA, PSHK, KontraS, Migrant Care, ICW, PERLUDEM, Transparency International Indonesia, JPPR, ELSAM dan FITRA.