Mengapa Jokowi Masih Menerapkan Pidana Mati
Oleh: Ranto Sibarani, S.H.
Joko Widodo atau yang lebih populer dengan nama Jokowi, memang fenomenal. Bagaimana tidak, laki-laki kelahiran Solo, 21 Juni 1961 ini dalam waktu singkat dan berturut-turut menjabat empat periode jabatan strategis yang tidak banyak orang bisa mencapainya. Sejak tahun 2005 menjadi Walikota Solo dua periode, menjadi Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012 dan akhirnya memenangkan Pemilihan Presiden Republik Indonesia pada tahun 2014.
Popularitas Jokowi tidak muncul begitu saja, saat menjabat menjadi Walikota Solo dia berhasil membuat Solo menjadi kota pariwisata yang aman, bersih, berhasil memindahkan pedagang dengan dialog tanpa menggusur paksa dengan prinsip nguwongke wong atau memanusiakan manusia. Memenangkan pemilihan Walikota Solo periode kedua dengan kemenangan 90,09%, tanpa banyak kampanye, suatu kemenangan yang luar biasa di tengah-tengah isu maraknya money politic pada saat ini. Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta langsung menekan biaya pelantikan yang anggarannya 1,05 Milyar Rupiah menjadi 500 Juta Rupiah, menjadikan DKI sebagai satu-satunya kota yang laporan keuangannya dapat diperiksa secara online setiap saat oleh BPK RI. Menjadikan waduk Pluit berfungsi dengan baik, Pasar Tanah Abang menjadi bersih dan nyaman, membangun rumah susun untuk rakyat, memberikan Kartu Jakarta Sehat, dan banyak prestasi lainnya yang sangat langka dan jarang dilakukan oleh pejabat publik lainnya.
Semua prestasi dan kerja-kerja Jokowi tersebut tentulah menjadikan rakyat berharap banyak pada sosoknya saat dia menjadi Presiden. Petani berharap agar sumberdaya pertanian tersedia dan murah, hasil panen terjamin. Guru berharap adanya kebijakan pendidikan yang tidak menindas mereka dan murid-muridnya, nelayan berharap pukat harimau diberantas sehingga mereka bisa berkelanjutan mencari ikan, buruh berharap upah yang layak, rakyat berharap kesehatan dan pendidikan tidak menjadi komoditas ekonomi yang menjadikan sikaya bertambah kaya. Masih banyak harapan yang digantungkan pada pundak Jokowi sebagai presiden yang bercirikan wong ndeso itu. Tidak ketinggalan pembela Hak Asasi Manusia atau Human Right Defender, yang turut berharap agar segala pelanggaran HAM berat di masa Orde Baru dan masa paska Reformasi diusut dan diadili pelakunya.
Pidana Mati
Saat ini kita sedang disuguhi suatu tontonan eksekusi mati enam terpidana narkoba yang dilakukan oleh pemerintahan Presiden Jokowi. Harapan agar Jokowi mengusut pelanggaran HAM masa lalu belum lagi terwujud, kita sudah dihadapkan pada eksekusi mati terpidana narkoba yang selama ini selalu ditentang oleh pembela HAM. Keenam orang yang telah dieksekusi pada tanggal 18 Januari 2015 tersebut adalah Marco Archer Cardoso Moreira (Brazil), Namaona Denis (Malawi), Daniel Enemuo (Nigeria) Ang Kiem Soei (Belanda), Rani Andriani (WNI) dan Tran Thi Bich Hanh (Vietnam). Tulisan ini akan membahas tentang pidana mati dan harapan kepada Jokowi untuk menghapusnya dari regulasi di negara kita.
Sebagaimana yang kita ketahui, landasan yuridis diterapkannya pidana mati adalah KUHP Pasal 10 yang isinya menyebutkan bahwa Pidana Pokok antara lain adalah pidana mati, pidana penjara, kurungan dan denda, sementara itu Pidana Tambahan antara lain adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim.
Selain KUHP, ternyata ada 10 Peraturan Perundang-Undangan lain yang juga mencantumkan pidana mati sebagai ganjaran bagi yang melanggarnya, diantaranya adalah Undang-Undang Darurat Nomor 12 tahun 1951, Penpres Nomor 5 Tahun 1959, Perpu Nomor 21 Tahun 1959, UU Nomor 11/PNPS/1963, UU Nomor 4 Tahun 1976, UU Nomor 5 dan Nomor 22 Tahun 1997, UU No. 31 Tahun 1999, UU No. 26 Tahun 2000 dan UU No. 15 Tahun 2003.
KUHP yang menjadi landasan yuridis penerapan pidana mati sebenarnya adalah warisan penjajah Belanda yang diberlakukan sejak 1 Januari 1918 yang pada saat itu disebut WvS atau Wetboek van Strafrecht. Ironisnya, ketika Belanda memberlakukan KUHP, di Belanda sendiri sejak tahun 1870 hukuman mati sudah dihapuskan untuk kejahatan biasa atau ordinary crime. Belanda akhirnya menghapuskan seluruh penerapan hukuman mati termasuk untuk pelanggaran kejahatan luar biasa atau extraordinary crime pada tahun 1982. Patut dicurigai, Belanda menerapkan hukuman mati di negara jajahannya tentulah untuk memberangus penduduk pribumi yang melakukan kejahatan dan melawan kekuasaan mereka.