Saat ini marak terjadi perdebatan tentang LGBT atau Lesbian, Gay, Biseksual dan Transeksual. Saya kurang paham pengertian dari masing-masing terminologi tersebut, namun dengan singkat dapat saya pahami itu adalah tentang perbedaan orientasi seksual yang hanya dialami oleh minoritas manusia diantara paham mayoritas bahwa hubungan cinta yang berlanjut ke hubungan seksual lazimnya hanyalah antara laki-laki dan perempuan. Semua dalih penolakan tersebut mendapat pembenaran dari agama, agama saat ini menjadi alat paling suci dan pamungkas untuk membedah hal tersebut, siapa yang menolak kajian agama akan terjebak dengan tuduhan menolak agama, suatu jalan buntu untuk berdebat.
Apakah dalih agama adalah satu-satunya alat yang bisa membedah tentang LGBT? Tidak, saya lebih tertarik melihat bagaimana sistem ekonomi kapitalisme saat ini menyambut hal tersebut. Perbedaan orientasi seksual mungkin adalah ranah yang sulit kita pahami, namun kita bisa melihat bahwa banyak industri saat ini yang melihat LGBT adalah peluang pasar. Peluang pasar adalah sesuatu yang memperpanjang umur kapitalisme, kapitalisme bobrok dimana-mana, pengusaha kecil akan mati bersaing dengan pengusaha besar, karena itu mereka merakit sistem hukum untuk sekedar memperpanjang pengusaha kecil, agar pasar tidak mati, “tambal sulam” adalah ciri khas kapitalisme.
Kembali ke pasar LGBT tadi, industri dengan cepat melengkapi alat bantu untuk membuat pasangan LGBT dengan baik mengeksplorasi pengalaman seksualnya. “sex toys” adalah industri besar pasar ekonomi, disamping industri pornografi yang sebelumnya booming di Eropa bahkan sampai ke Asia. Kalau anda tidak mengenal Maria Ozawa, anda beruntung, mungkin anda belum menjadi konsumen industri pornografi tersebut.
Karena itu, apakah pernah ada kajian ekonomi tentang LGBT ini? Sektor apa yang akan diproduksi massal jika LGBT dilindungi oleh Undang-Undang?, sebagaimana banyaknya tuntutan agar LGBT ditolak maupun diterima dengan mekanisme UU. Pasar apa yang mati apabila kekuasaan membunuh kaum LGBT sebagaimana mereka membunuh kaum yang dituduh “komunis” pada masa lalu? Saya lebih tertarik mengetahui kajian tersebut ketimbang membahasnya dengan dalih agama, yang tentu saja itu sudah diharamkan.
Dengan demikian, perdebatan valentine, LGBT, Seks dan perayaan cinta (perkawinan) menurut saya akan menyibukkan sebagian manusia untuk saling serang, saling tuding, saling klaim kebenaran dipihaknya. Sementara disisi yang lain, segelintir manusia yang menguasai pasar yang terarah pada akumulasi modal akan menjadikannya sebagai peluang, mengemas produknya yang ramah terhadap segala perdebatan, menawarkannya kepada manusia yang saling debat tadi, dan celakanya, semua manusia pendebat tadi melahap semua produk yang diciptakan karena beda pikir tadi.
Sebagian terjebak menggunakan produk industri kapitalisme tadi untuk merayakan capaian cintanya yang dianggap sah, sebagian lagi menggunakannya untuk melampiaskan perjuangan cintanya yang dianggap tidak lazim, padahal, diatas semua klaim kebenaran tadi, mereka berebut tanah, berebut rumah, berebut pekerjaan, berebut makanan, yang sudah dilabeli hak milik oleh sistem ekonomi yang dikuasai oleh segelintir orang. “Have a sweet valentine” semoga kita tidak berperang, saling melukai, saling membunuh, hanya untuk mengkalim kebenaran.
* Dibuat untuk bahan diskusi yang diselenggarakan oleh Komunitas Rumah Peradaban (KRP) dengan tema “Reposisi Cinta, Analisis Situasi Nasional” pada tanggal 13 Februari 2016 di Jalan Tangkul 1, Gg. Watas No 7. Medan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H