Mohon tunggu...
Ranto Sibarani
Ranto Sibarani Mohon Tunggu... Advokat/Pengacara -

Ranto Sibarani adalah seorang Advokat/Pengacara. Saat ini sedang menyelesaikan study Pascasarjana Ilmu Hukum di Universitas Sumatera Utara. Selain aktif sebagai Konsultan Hukum, juga aktif sebagai Tenaga Ahli di Komisi A DPRD Provinsi Sumatera Utara.

Selanjutnya

Tutup

Politik

KPK Lemah, Bandit Bersatu di Tengah Kisruh KPK-Polri?

27 Juni 2015   10:04 Diperbarui: 21 April 2016   10:10 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="kpk vs polri"][/caption]

Kisruh KPK-Polri pada era Jokowi Presiden sungguh suatu hal yang tidak terduga sebelumnya. Berawal pada tanggal 12 Januari 2015, Presiden Jokowi mengirim nama Komjen Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri untuk mengikuti fit and proper test di DPR RI. Kritik langsung menghujani Presiden yang fenomenal tersebut. Beberapa argumen kritik saat itu menyebutkan Presiden tidak melibatkan KPK dan PPATK sebelum mengusulkan nama Komjen Budi ke DPR. Puncaknya sehari kemudian, tanggal 13 Januari 2015, KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka kasus rekening gendut. Setelah itu, kisruh KPK-Polri ini bergulir dengan cepat dan tentu saja bergerak kesana kemari sesuai dengan kepentingan penggeraknya masing-masing.

Sebagai pengamat, kita tentu bisa dengan mudah menduga bahwa Jokowi sedang menggunakan institusi terkait untuk menanggapi pencalonan Budi Gunawan. Bisa saja Jokowi sedang mendapat tekanan dari Partai tertentu untuk mencalonkan BG sebagai Kapolri sebagaimana dugaan banyak pihak. Dugaan ini tentulah wajar sekali, karena sebagai Presiden yang maju dengan dukungan partai politik Jokowi tidak akan mungkin lepas dari belenggu relasi mutualisme politik, saling menguntungkan. Meskipun diakui relawan adalah bagian penting dari kemenangan Jokowi, namun dalam ritme politik, relawan hanyalah pemain amatiran, yang hanya dihitung di bilik-bilik suara, dalam bentuk yang lebih maju relawan akan bergerak saat keyakinan politiknya bermuara pada gerakan.

Namun, bukan Jokowi namanya kalau tidak pintar berpolitik demi kepentingan rakyat, hal inilah yang membuat relawan mau bekerja tanpa pamrih untuk Jokowi. Meskipun kita menduga-duga bahwa BG adalah “titipan” partai politik, Jokowi tetap merekomendasikannya kepada DPR-RI, dengan keyakinan bahwa apa yang terbaik akan dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat di tingkat pusat tersebut. Saat itu, Jokowi bisa saja sedang yakin bahwa DPR RI akan menolak BG, dengan demikian dia akan mencalonkan calon Kapolri yang relatif bersih dan bukan “pesanan”. Dalam situasi tersebut, sebagai lembaga yang harus ikut menjaga semangat anti korupsi, KPK dengan kecepatan super kilat mengeluarkan status tersangka kepada BG, dengan dalih rekening gendut. Sehingga dugaan kita bahwa DPR RI akan menolak BG semakin masuk akal, sampai disitu kita yakin Jokowi melakukan manuver politik yang luar biasa. Namun, ada juga yang menyebut pencalonan BG pada saat itu hanyalah cara Jokowi merebut hati sang Ketua Umum PDI Perjuangan, Megawati, yang konon katanya tidak mau lagi bertemu dengan Jokowi paska isu "three musketeers" disekeliling Jokowi.

Benarkah keputusan KPK menetapkan BG sebagai tersangka terkait rekening gendut adalah suatu hal yang dipaksakan dan merupakan tindakan super cepat? Uppst, nanti dulu, pertanyaan tersebut dengan mudah dimentahkan.  Mantan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dalam suatu konferensi pers mengatakan bahwa surat PPATK tanggal 26 maret 2010 dikirimkan ke kepolisian, selanjutnya ada surat balasan Bareskrim pada tanggal 18 juni 2010 mengenai pemberitahuan hasil penyelidikan atas transaksi mencurigaan atas nama Irjen BG. Menurut Bambang, awalnya KPK mendapat informasi transaksi mencurigakan dari masyarakat. Artinya, KPK sudah bekerja sejak tahun 2010 untuk mendalami dugaan rekening gendut tersebut. Jika kemudian KPK menetapkan status tersangka saat Presiden Jokowi merekomendasikan BG sebagai Kapolri, tentulah itu suatu langkah yang wajar bagi pimpinan KPK, karena tidak menginginkan orang yang terkait rekening gendut akan menjadi Pimpinan Kapolri, institusi yang semestinya memberantas korupsi.

Bersatunya para bandit?

Keingintahuan publik terhadap proses fit and proper test DPR RI terhadap calon Kapolri BG sangat luar biasa. Bagaimana tidak, DPR RI yang sudah kita ketahui mayoritas tidak menyukai Jokowi dan sebelumnya juga telah  membangun  koalisi abadi yang sering dijuluki “koalisi melawan presiden”. Paska Pilpres, kita telah mengetahui peta politik di DPR RI terbagi dalam dua kubu, Kubu Koalisi Merah Putih (KMP) sebelumnya pendukung Prabowo calon presiden dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) pendukung Jokowi. Kedua kubu ini  terus  berseteru dalam sidang-sidang di MPR. 

KMP jumlahnya lebih besar yaitu 353 kursi atau 63% jika digabungkan dengan Fraksi Partai Demokrat. Sementara itu kekuatan KIH adalah 207 kursi atau 37% dari sebanyak 560 anggota DPR RI. Dapat dipastikan KMP akan  selalu memenangkan perseteruan dalam voting di MPR. Sebagaimana kita ketahui, MPR adalah lembaga legislatif Bikameral yang terdiri dari DPR dan DPD, jumlah anggota DPR 560 orang, sementara jumlah anggota DPD sebanyak 132 orang sehingga total jumlah MPR adalah 692 orang.

Pecahnya dua kubu DPR ini telah terbukti sebelumnya, KMP selalu solid dalam mempertahankan tujuan politiknya. Kemenangan demi kemenangan diraih oleh KMP di DPR, tidak tanggung-tanggung 5 kemenangan telah diraih oleh KMP paska Pilpres, diantaranya adalah pertama pada saat pengesahan UU MD3 yang menyebutkan pemilihan pemimpin parlemen tidak didasarkan pada pemenang Pileg, melainkan berdasarkan paket. Kedua Pengesahan Tatib. Ketiga UU Pilkada melalui DPRD, yang mengatur bahwa pemilihan Kepala Daerah tidak lagi melalui pemilihan langsung melainkan melalui DPRD. Keempat pemilihan pemimpin DPR yang diketuai oleh Setya Novanto dan empat wakil ketua yaitu Fahri Hamzah (PKS), Fadli Zon (Gerindra), Agus Hermanto (Demokrat), Taufik Kurniawan (PAN) dan yang kelima adalah penentuan pemimpin MPR dalam lima tahun ke depan, semua diborong oleh KMP.

Dengan analisis diatas, dapat dipastikan DPR RI akan menolak calon Kapolri tunggal yang direkomendasikan oleh Presiden Jokowi tersebut, dengan asumsi bahwa apa yang direkomendasikan oleh Jokowi akan selalu ditolak oleh KMP. Ditambah lagi KPK sudah menetapkan calon tunggal tersebut sebagai tersangka terkait rekening gendut. Publik dan pendukung Jokowi, terutama relawan, sangat yakin bahwa DPR RI akan menolak calon tersebut. Berita ini santer menjadi headline di media cetak dan elektronik nasional. Namun, apa yang terjadi berikutnya sangat mengejutkan publik. DPR RI yang tidak pernah senada dalam memutuskan beberapa agenda paripurna sebelumnya tiba-tiba berubah posisi.

DPR RI dengan proses yang cepat dan pasti langsung memproses Komjen Budi Gunawan usulan Presiden Jokowi, semua anggota DPR kompak menyetujui Komjen Budi jadi Kapolri. Nama Komjen Budi mulus di paripurna pada tanggal 15 Januari 2015. Semua fraksi mendukung, kecuali Partai Demokrat yang menolak Komjen Budi jadi Kapolri. Keanehan baru muncul, KMP dan KIH tiba-tiba bisa bersatu mendukung usulan Jokowi. Keanehan lain, banyak politisi dari partai pendukung Jokowi tiba-tiba mengeluarkan statement sinis terhadap kinerja Jokowi dan kabinetnya, menuduh bahwa Jokowi mempekerjakan orang kurang umur dalam kabinetnya, mungkinkah para bandit sedang bersatu dalam merespon konflik KPK-Polri ini? Kita boleh menjawabnya sesuai dengan keyakinan politik kita masing-masing.

Sebagai pembanding sebelum kita menjawab pertanyaan tersebut diatas, kita sebenarnya bisa dengan mudah menebak apa yang sedang terjadi. Saat Presiden Jokowi merekomendasikan BG sebagai Kapolri  kita menduga, dan mungkin Jokowi menduga DPR akan menolaknya, sehingga itu akan menjadi justifikasi bagi Jokowi untuk merekomendasikan calon lain. Namun DPR RI menerimanya dengan suara bulat, Jokowi dihadapkan pada dilema menetapkan Kapolri yang sudah tersangka atau merekomendasikan calon Kapolri lainnya. Ditengah situasi tersebut, Jokowi menunda pelantikan Komjen Budi Gunawan, dan menetapkan Wakapolri Komjen Badrodin Haiti menjadi Plt Kapolri menggantikan Sutarman.

Polemik baru muncul, Budi Waseso yang belum seminggu dilantik menjadi Kabareskrim langsung menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto pada 23 Januari 2015, alasan penangkapan Bambang adalah kasus pemberian kesaksian palsu dalam sengketa Pilkada di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah pada 2010. Kasus ini memang sudah lama, namun baru kembali dilaporkan pada 15 Januari 2015, saat yang sama DPR melakukan Paripurna menerima BG.

Tidak lama kemudian, Ketua KPK Abraham Samad juga ditetapkan menjadi tersangka dalam kasus berbeda, Samad diduga terlibat dalam kasus pemalsuan dokumen. Dalam kasus ini sebenarnya tersangka utamanya adalah Feriyani Lim. Perempuan asal Pontianak itu ditetapkan tersangka sejak 2 Februari 2015. Feriyani Lim dilaporkan oleh Ketua LSM Lembaga Peduli KPK dan Polri Chairil Chaidar Said ke Bareskrim Mabes Polri. Lalu, per 29 Januari 2015, perkara ini dilimpahkan ke Direktorat Reskrim Umum Polda Sulawesi Selatan dan Barat. Abraham Samad sudah menyandang status tersangka oleh Polda Sulawesi Selatan pada Senin, 9 Februari 2015.

Kerja cepat Polri dalam menetapkan status tersangka Bambang dan Samad patut diapresiasi, sayangnya penetapan tersangka tersebut tidak berkaitan sedikitpun dengan kasus Korupsi yang sedang diperangi oleh lembaga KPK. Publik dengan mudah melihat bahwa yang diperangi oleh KPK adalah wabah korupsi, dan mereka dituduh tergesa-gesa dan memaksa untuk menetapkan calon Kapolri sebagai tersangka rekening gendut.

Media massa memunculkan konflik antara Presiden Jokowi dan Abraham Samad, bahkan aktivis banyak mengkaitkan kisruh ini dengan perpanjangan ijin Freeport, semua itu tentu saja akan membingungkan jika tidak melakukan analisis yang tajam soal kasus mega korupsi yang sedang dan akan diusut oleh KPK. Perpanjangan ijin Freeport untuk mengekspor bahan tambang mentah tentulah peristiwa lain yang kebetulan terjadi saat pergantian Kapolri dan harus disikapi secara kritis oleh masyarakat, namun kita harus sadar penetapan tersangka kepada Bambang Widjojanto dan Abraham Samad tentulah erat kaitannya dengan penetapan tersangka KPK kepada BG. Secara singkat, hal ini disebut dua kebenaran yang terjadi bersamaan atau disebut kebetulan semata, dan bukan merupakan suatu peristiwa untuk menutupi peristiwa lain.

Dampak Kisruh KPK-POLRI

Akhirnya, kisruh KPK-Polri membuat Presiden Joko Widodo pada tanggal 18 Februari 2015 memberhentikan untuk sementara dua pimpinan KPK yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yaitu Abraham Samad dan Bambang Widjojanto. Jokowi juga menunjuk tiga nama untuk mengisi posisi pimpinan KPK, yaitu Deputi Pencegahan KPK Johan Budi Sapto Pribowo, Guru Besar UI Indriyanto Seno Adji, dan mantan Ketua KPK Taufiequrachman Ruki. Dengan kata lain, kisruh politik ini telah berhasil mengacak-acak formasi KPK yang semakin menunjukkan giginya dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Sementara formasi POLRI dipimpin oleh Badrodin Haiti, tidak ada perubahan significant.

Dengan fenomena diatas, kita semua wajar menghargai Jokowi yang tidak menetapkan BG sebagai Kapolri karena status tersangka yang disandangnya berkaitan langsung dengan agenda anti korupsi. Namun kita masih menunggu kelanjutan status tersangka Abraham Samad dan Bambang Widjojanto karena tidak menyangkut kasus korupsi, pemberhentian sementara keduanya karena Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, Pasal 32 menyebutkan bahwa pimpinan KPK yang menjadi tersangka tindak pidana kejahatan untuk diberhentikan sementara, meskipun tidak terkait dengan korupsi. Kita harus bisa memahami bahwa Presiden Jokowi sedang membiarkan publik menilai apa yang sedang dilakukannya. Kita juga tidak boleh lupa, bahwa partai politik pengusung Jokowi tentulah memiliki bargaining yang kuat dalam merekomendasikan jabatan-jabatan strategis di negeri ini. Jokowi sebagai Presiden yang dihadapkan pada dua kubu partai politik yang sewaktu-waktu bisa bersatu jika kepentingannya terhambat, haruslah berhati-hati dalam menjalankan roda pemerintahan. Para bandit dimanapun akan bersatu padu dengan cepat jika kepentingannya terhambat, sementara orang baik jangan sampai sibuk mengurus diri sendiri. Jika saat ini KPK lemah, maka kita jangan lengah, para bandit berhasil menyatu dan melakukan pelemahan, tugas kita selanjutnya menguatkan yang lemah untuk menjadikan negeri ini terlepas dari gurita korupsi.

Oleh: Ranto Sibarani

Pernah disampaikan dalam diskusi tematis GMKI Cabang MEDAN Komisariat FISIP USU, tanggal 13 Maret 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun