Untuk itu, dalam menyikapi pertemuan RT 11 RSPO yang akan diselenggarakan di Medan, Sumatera Utara, kami dari IPA Sumut menyerukan sikap sebagai berikut:
1. Negara telah gagal mewujudkan Undang-Undang Dasar 1945 pasalnya yang ke 33 yang menyatakan bahwa bumi dan air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Yang terjadi saat ini adalah korporasi sawit dengan bebas menguasai tanah negara dan dengan cara mengusir dan memenjarakan rakyat yang seharusnya disejahterakan. Negara membiarkan hutan dibabat untuk sawit, bahkan negara melindungi korporasi sawit dengan aparatnya dengan dalih pengamanan investasi. Kementerian Kehutanan, 2011 menyebutkan potensi kerugian negara akibat izin pelepasan kawasan hutandi 7 (tujuh) propinsi di Indonesia diprediksi merugikan negara hampir Rp 273 Triliun. Kerugian negara timbul akibat pembukaan 727 unit perkebunan seluas hampir 8 juta Hektar dan 1.722 unit pertambangan seluas hampir 9 juta Hektar.
2. Bahwa pertemuan RSPO di Medan Sumatera Utara pada Round Table yang ke 11 bukanlah suatu solusi atas konflik yang disebabkan oleh ekspansi sawit, RSPO merupakan suatu politik balas budi dari korporasi yang sudah merampas terlalu banyak tanah rakyat dan merupakan turunan dari pola produksi pasar bebas yang tercentral dalam konsolidasi para kapitalis monopoli internasional. Untuk itu kami menyerukan kepada para pihak yang menjadi peserta pertemuan tersebut untuk memaksimalkan kerja-kerja pembelaan terhadap rakyat yang berkonflik dengan korporasi perkebunan sawit.
3. Hentikan merampas tanah rakyat dengan dalih hukum  rakyat tidak memiliki alas hak atas tanahnya. Penegakan hukum harus berpihak kepada rakyat, bukan kepada korporasi. Adalah tugas negara untuk menyiapkan alas hak atas tanah rakyat, mendistribusikan tanah kepada rakyat dari monopoli penguasaan tanah oleh para korporasi-korporasi besar sebagai penyebab hancurnya perekonomian seluruh rakyat serta melindunginya dari kerakusan korporasi sawit.
4. Negara harus membela rakyat yang bersengketa dengan lahirnya Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Hutan/Tanaman Industri (HPH/HTI) dan izin pertambangan yang dikeluarkan, sengketa yang terjadi antara lain: di sektor perkebunan melibatkan PTPN II dan III versus petani yang tergabung di dalam Forum Rakyat Bersatu (FRB), Badan Perjuangan Rakyat Penunggu (BPRPI), kelompok tani maju jaya Sei Mencirim, PT Smart versus Kelompok Tani Padang Halaban Labuhan Batu, rakyat desa Pergulaan dengan PT PP Lonsum di Serdang Bedagai, PT Sumatera Riang Lestari (PT SRL) di Padang Lawas, dan kelompok tani lainnya, konflik di sektor kehutanan yang dilakukan oleh PT Toba Pulp Lestari (TPL) atas tanah adat (ulayat) di kabupaten Humbahas, Simalungun, Toba Samosir, Tapanuli Selatan), pembabatan hutan oleh PT GDS di kabupaten Samosir, Kasus hutan TNGL, dan di sektor pertambangan antara lain PT Sorik Mas Mining di kabupaten Madina, PT Dairi Prima Mineral di kabupaten Dairi, PT Agin Court Resource – Martabe di Batang Toru, dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi di Sarulla.
Ranto Sibarani
Koordinator IPA Sumatera Utara (Indonesian People Alliance’s)
Â
Email: ransibar@gmail.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H