Mohon tunggu...
Ranting Kering
Ranting Kering Mohon Tunggu... -

Its seem impossible until its done

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Kartel Politik Sepak Bola Indonesia

17 Desember 2013   15:05 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:49 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Dinamika persebakbolaan Indonesia mengalami pasang surut pengelolaan yang berimbas pada prestasi klub dan tim nasional di kancah internasional. Potret sepakbola dapat dilihat pada 3 periode penting yang sangat mempengaruhi sumber daya pemain dalam tim nasional. Ketiga periode tersebut memiliki ciri dan karakter masing-masing sesuai dengan lingkungan politik yang melingkupinya.

Periode pertama, adalah fase dimana sepakbola menjadi alat perjuangan untuk menunjukan edentitas kebangsaan. Pada fase ini semua stakeholder sepakbola memiliki keseragaman semangat dan rasa nasionalisme tinggi. Permainan sepakbola diwarnai dengan mentalitas bangsa yang tidak mau diremehkan bangsa lain.

Periode kedua, adalah tahun-tahun sepakbola dikembangkan menjadi lebih professional yang ditandai dengan perguliran galatama sebagai liga semi professional. Klub secara jelas terbagi dalam dua wahana kompetisi: perserikatan untuk mewadahi tim amatir dan galatama untuk klub professional. Dalam fase ini Indonesia mulai menunjukan eksistensinya sebagai tim yang cukup disegani di ASEAN dan Asia. Pertama kalinya memperoleh emas Sea Games dan medali perunggu Asean Games.

Periode ketiga, adalah periode praktek kartel politik dalam kancah sepakbola yang ditandai dengan kentalnya politisi menjadikan sepakbola sebagai kendaraan memperoleh popularitas. Fase ini adalah fase paling suram dalam sejarah sepakbola Indonesia sejak sebelum merdeka. Sepakbola penuh carut marut baik di dalam maupun di luar lapangan.

Potret sepakbola Indonesia dewasa ini penuh dengan perebutan sumberdaya politik dan ekonomi. Keterlibatan pengurus partai politik dan didominasi oleh parpol tertentu (inisialnya Golkar), telah dengan sukses membawa sepakbola masuk ruang siding di parlemen. Alih-alih menggapai prestasi sebagai juara AFF atau medali emas event olag raga regional, sepakbola justru gaduh di layar TV dan hearing DPR di Senayan. Keterlibatan politisi dan partai politik sepertinya menjadi bagian sangat penting bagi perolehan sumber suara dan potensi ekonomi (baca APBD) untuk bahan bakar pemilu dan pilkada.

Perilaku pengurus federasi dan klub bergeser dari upaya menggapai prestasi menjadi persekongkolan siapa boleh ikut liga dan siapa merasa paling layak menduduki pengurus federasi. Dalam system kartel, kelompok-kelompok berusaha mendominasi keputusan dan mempengaruhi penguasaan sumber ekonomi dan kompetisi. Pada giliranya, pengurus sepakbola sudah tidak lagi mengindahkan spirit sepakbola itu sendiri. Isu yang muncul menjadi ‘pihak kamu’ dan ‘pihak kami’, sementara fairplay hanyalah ritualitas spanduk menjelang pertandingan.

Tumbuhnya politik kartel menandai berakhirnya idiologi sepakbola yang mengedepankan kesetaraan dan keadilan. Pertarungan kekuasaan dalam sepakbola Indonesia sebangun dengan pendapat Daniel Bell bahwa kemenangan kapitalisme menandai berakhirnya ideologi (the end of ideology) dan Fukuyama menambahkan bahwa pada tahap berikutnya menjadi kemenangan demokrasi liberal menandai berakhirnya sejarah (the end of history).

Kartelisasi sepakbola Indonesia tampak sangat jelas dengan penetrasi aktor-aktor politik dalam menguasai sistem dan struktur kepengurusan federasi dan pengelolaan liga amatir (konon disebut profesional). Mereka menyusun regulasi yang memungkinkan untuk menguntungkan kelompoknya dalam sebuah sistem yang seolah-olah taat aturan dan patut. Aktor-aktor politik memasuki seluruh sendi dan level struktural sepakbola dimulai dari klub yang berbasis amatir, federasi pusat hingga daerah serta liga yang diatur sedemikian rupa untuk menyingkirkan kelompok yang dianggap mengancam.

Pengelolaan federasi bernama PSSI dan tim nasional adalah contoh paling gambling dalam politik kartel sepakbola Indonesia. Konggres diatur direkayasa untuk menyingkirkan orang-orang yang mengganggu kue politik dan ekonomi. Peserta liga diatur sangat kasar dan mengabaikan aturan federasi di atasnya untuk menyingkirkan klub yang dimiliki lawan politik. Jika praktek ini sudah sedemikian jelas dilakukan, maka harapan untuk prestasi sepakbola menjadi kemustahilan untuk dicapai. Selamat kembali ke era kegelapan sepakbola Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun