Katanya, cinta adalah alasan bunga-bunga memekarkan kuncup dan menari dengan warna-warnanya. Kupu-kupu mengisap madu, kumbang menari menggoda, angin berembus menjodohkan putik dan serbuk sari, semua lantaran cinta. Cinta, katanya, adalah ludah bidadari yang mengaduk laut dan menjadikannya semanis gula. Belum rampung juga kabar tentangnya. Konon, yang direguk Romeo hingga ia meregang nyawa dan terpisah dari Juliet, pun cinta. Wajah yang dipandang Qais hingga ia berubah Majnun, katanya juga cinta.
Daripada dicengkeram aneka kabar tentang cinta, aku putuskan bertanya langsung pada Cinta. Rupanya, wajah cinta tak secemerlang yang dikabarkan para pujangga. Ia begitu dingin. Senyumnya teramat mahal. Atau, apakah sikapnya ini lantaran kekurangajaranku yang berani menghampirinya? Ah, mungkin aku salah terka.
Cinta masih bersikap dingin. Ia belum menunjukkan minat menerima kehadiranku. Aku tidak menyerah. Dengan lekas kurebut perhatiannya.
“Apa yang ingin kau ketahui tentangku?”
Aku terkejut. Cinta kini dengan cepat berubah sikapnya. Semula dingin, kini hangat bak terbitnya matahari di pagi hari. Kegembiraan akan hal ini membuatku kelu. Anekatanya yang kubawa, tumpukan kabar yang kucerna, sirna semua.
Cinta tersenyum. Segera ia berikan keseluruhan perhatiannya kepadaku.
“Bagaimanakah rasanya menjadi dirimu, Cinta?” ini pertanyaan yang tiba-tiba. Tidak terencana.
Cinta mengerling jenaka. Kesan dingin dan tak bersahabat yang sempat singgah, sirna sudah. Aku merasa lebih nyaman berdekatan dengan Cinta.
“Bukankah terasa menyenangkan menjadi dirimu, Cinta? Engkau menjadi lantaran manusia berbahagia. Meski engkau juga yang menumpahkan air mata, bukankah engkau pula yang menghapusnya?”
Cinta tersenyum lagi. Tapi kali ini, senyumnya demikian cepat reda. Kemudian, dalam durasi yang tidak terlampau lama, ia mulai berbicara.
“Menjadi diriku begitu sederhana, Zam. Engkau hanya cukup menambahkan beberapa hal saja.”
Menambahkan beberapa hal?
“Mencintailah, atau dicintai, maka engkau telah sampai pada dimensiku. Engkau cukup menambahkan beberapa imbuhan saja, kan, Zam?” Cinta seperti sedang mengajariku dasar-dasar Bahasa Indonesia. Ah....
Aku mengangguk pelan.
“Cinta adalah satu hal, sedangkan mencintai maupun dicintai, sudah lain perkara.”
“Lalu siapakah engkau sebenarnya, Cinta? Nyata atau ilusi?” pelan aku bertanya.
“Sebenarnya aku adalah ketiadaan, Zam. Namun, lantaran mencintai dan dicintailah aku menjadi ada. Cinta adalah ketiadaan yang engkau usahakan untuk ada.”
“Lalu bagaimana membuatmu tetap ada?”
“Mencintailah, Zam. Kala engkau mencintai, engkau tak hanya melihatnya, tetapi juga telah menjadi cinta itu sendiri...."
*diambil dari www.ranting-basah.blogspot.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H