Dunia pemikiran Islam banyak melahirkan tokoh-tokoh terkemuka di bidangnya, mulai dari pemikiran sosial, politik, ekonomi, agama, filsafat, tasawuf dan lain-lain. Yang menarik adalah banyak dari kalangan ilmuwan Islam yang menjadi pemikir multidisiplin dalam khazanah keilmuan Islam, bahkan tidak jarang dari mereka merubah haluan fokus pemikiran mereka dari satu disiplin ilmu ke disiplin ilmu yang lain sehingga memunculkan berbagai transformasi pemikiran yang beragam.
Salah satu tokoh yang mengalami transformasi pemikiran tersebut adalah seorang pemikir besar Islam, al-Ghazali. Tokoh yang dipandang sebagai prototipe intelektual muslim oleh berbagai kalangan, baik di dunia Islam maupun Barat ini dikenal sebagai seorang filsuf sekaligus tokoh besar pemikir sufisme.
Transformasi pemikirannya dari semula filsafat yang cenderung rasional ke tasawuf dengan kecenderungan mistik dan transenden menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan pengkaji al-Ghazali. Kebesaran nama al-Ghazali yang kemudian memberi pewarna yang unik bagi corak dan tradisi intelektualitas Muslim tidak bisa terlepas dari seting sosio historis yang mengelilinginya.
Al Ghazali memiliki dua sisi sikap yang berbeda terhadap filsafat. Sikap pertama yaitu apresiasi, adopsi, dan adaptasi terhadap filsafat, misalnya, membawa silogisme ke dalam ilmu kalam dan usul fikih, mewajibkan ilmu logika, menggunakan teori emanasi untuk menjelaskan masalah kosmos (alam) dalam Misykat al-Anwar, dan mengutip teori etika (akhlak) Aristoteles dalam Ihya Ulum al-Din.
Sikap kedua dari al Ghazali terhadap filsafat yaitu mengkritik keras para filsuf, terutama gembong Aristotelianisme Neo-Platonik, karena terkadang mengabaikan aspek wahyu. Kritik paling kerasnya hingga menganggap para filsuf telah kafir karena tiga hal: menganggap alam ini qadim, Tuhan tidak tahu hal-hal juziyyat, dan tidak meyakini kebangkitan jasmani pasca alam kubur.
Dalam Tahafut al-Falasifah, al-Ghazali memandang para filosof telah melakukan kerancuan, setidaknya ada 20 masalah yang menyebabkan para filosof ini menjadi ahli ahl al-bid'at dan kafir. Dari 20 persoalan ini, al-Ghazali menegaskan bahwa para filosof menjadi kafir karena tiga masalah :
1. Para filosof yang berpendapat bahwa alam itu qadim (tidak mempunyai permulaan), ini merupakan pendapat Aristoteles dan pengikutnya. Menurut al-Ghazali yang qadim (tidak mempunyai permulaan) hanyalah Tuhan semata. Maka, selain Tuhan haruslah baru (hadits). Karena apabila terdapat sesuatu yang qadim selain Tuhan, maka dapat memunculkan paham : apabila yang qadim banyak, berarti Tuhan banyak, itu adalah paham yang salah dan dapat menjadikan seseorang ateisme.
2. Pendapat filosof yang menyatakan bahwa Tuhan tidak mungkin mengetahui hal-hal yang bersifat partikular. Menurut Al-Ghazali, sebuah perubahan pada obyek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu berubah tidak membawa perubahan pada zat, dalam artian keadaan orang yang mempunyai ilmu tidak berubah. Sebagaimana Allah SWT berfirman :
"Kamu tidak berada dalam suatu keadaan dan tidak membaca suatu ayat dari Al Quran dan kamu tidak mengerjakan suatu pekerjaan, melainkan kami menjadi saksi atasmu di waktu kamu melakukannya. Tidak luput dari pengetahuan Tuhanmu biarpun sebesar zarrah (atom) di bumi ataupun di langit. Tidak ada yang lebih kecil dan tidak (pula) yang lebih besar dari itu, melainkan (semua tercatat) dalam Kitab yang nyata (Lauh mahfuzh)." (Q.S Yunus : 61).
3. Penolakan filosof terhadap kebangkitan jasmani dan mortalitas jiwa individu. Al-Ghazali dalam mengkritik pendapat para filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual Al-Qur'an, yang menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya kebahagiaan atau kesengsaraan (siksaan) fisik dan rohani secara bersamaan. Allah Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan sedikitpun, Allah akan mengembalikan rohani pada jasmani  di akhirat nanti.
Wallahua'llam Bishawwab [ ]