Mereka yang tak diragukan lagi
Di keheningan malam yang amat teduh di sebuah mesjid, mereka berkejar-kejaran dalam bertaqarrub kepada Allah. Sebagian mendirikan shalat, melantunkan ayat demi ayat Al-qur’an dan sebagian lagi membasahi bibirnya dari berdzikir kepada Allah SWT.Mereka mencoba mengejar apa yang Allah SWT janjikan di 10 malam terakhir Ramadhan. Namun ada yang menarik disana, seorang laki-laki duduk dengan khusyuk seraya melafadzkan Ayat-ayat Al-quran. Ia melafadzkannya dengan nada yang tersendak-sendak, tangisnya sampai menembus dinding-dinding masjid. Kala itu, sebagian besar dari murid-muridnya kaget mendengarnya dan sontak mereka ikut tersedu-sedu mendengar tangisan tersebut.Beliau adalah seorang hamba Allah SWT yang mengkhatamkan Al-quran sebanyak 60 kali selama ramadhan, lebih banyak dari bulan lainnya yaitu satu kali dalam satu hari. Beliau adalah seseorang yang teguh dalam memegang sunnah Rasulullah SAW, Ahli fiqh dan termasuk yang paling besar dari empat yang lainnya, Ialah Al-Imam Asy-Syafi’I Rahimahullah.
Para sahabat kala itu mempunyai cara tersendiri untuk meraih pahala dalam 10 malam terakhir. setelah shalat Isya Umar bin Khattab pulang ke rumahnya dan mengerjakan shalat sepanjang malam hingga terdengar azan Subuh. Lalu, Usman bin Affan menyambut tamu agung itu dengan ibadah sepanjang malam. Setelah puasa pada siang harinya, Usman menghabiskan malam dengan shalat. Ia tidur sebentar yaitu pada sebagian awal malam. Di setiap rakaatnya, Usman mengkhatamkan seluruh Alquran.
Mereka adalah orang-orang yang mulia dan masih banyak lagi kisah dari orang-orang mulia lainnya yang mencerminkan ketinggian derajat melebihi manusia pada umumnya. Ketinggian derajat karena Akhlak mereka yang mulia, ketinggian derajat karena ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Mereka bersifat waspada. Waspada dari kesia-siaan yang mereka lakukan di bulan Ramadhan sehingga mereka mengalami kerugian yang besar. Waspada dari penggolongan dirinya sendiri kedalam apa yang Rasulullah SAW Aminkan dalam doa yang dipanjatkan oleh malaikat jibril dalam suatu hadist yaitu “Celakalah orang yang menjumpai Ramadhan lalu tidak diampuni”. Maka aku menjawab: “Amîn”.
Kita adalah pengharap yang tinggi tetapi miskin usaha
Waktu telah berputar cepat, seribu tahun berlalu begitu saja. Tatkala manusia masih berada dalam kegelapan, hingga Allah SWT turunkan Sang Rahmat seluruh Alam lalu menyebarkan Islam hingga jauh menyebar dari penghujung timur sampai barat melalui para sahabat, tabi’in, tabi’ tabi’in hingga para ulama terdahulu dan sampai saat ini jumlah umat islam seperti buih dilautan. Namun dari banyaknya umat islam hanya sedikit yang memilih untuk beriman.
Ramadhan adalah kesempatan untuk mendapatkan rahmat, ampunan dari Allah dan pembebasan dari api neraka. Akan tetapi banyak diantara kita yang cuek akan hal tersebut, sehingga yang terjadi adalah lebih banyak dari kita yang memenuhi tempat-tempat makan pada saat buka puasa daripada masjid dan musholla yang menggelar sholat berjamaah, lebih banyak dari kita yang berbaring bermalas-malasan di siang hari dari pada disibukkan dengan Al-quran, lebih banyak dari kita yang terjaga saat malam hari di jalanan bersama teman-teman daripada terjaga di masjid saat malam hari bersama tempat sujud dan mushaf kita di saat-saat terakhir ramadhan. Dan saat Lebaran tiba, kita dengan amal yang sedikit merasa bahagia, merasa suci kembali dari dosa-dosa tanpa ada penyesalan “mengapa saya tidak beramal sholeh lebih banyak lagi di bulan ramadhan?”. Padahal belum tentu kawan, belum tentu. Bisa jadi kita hanya bisa berharap sesuatu yang tinggi namun kenyataannya usaha kita sedikit.
Bagaimanapun juga, usaha-usaha kita tidak sebanding dengan Mereka-mereka yang dijamin oleh Allah SWT untuk masuk surga, sangat jauh dibandingkan dengan Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Imam Syafi’i. Namun setidaknya kita dapat memetik hikmah dari setiap kisah yang ada di lembar-lembar sejarah peradaban manusia yang dimuliakan. Bahwasanya fitrah manusia adalah tidak pernah puas dari apa yang Ia sudah raih, bukan hanya untuk dunia namun juga untuk akhiratnya. Perasaan itu tumbuh dari iman yang kokoh yang menghuni hati nurani kita dan mengalir ke seluruh peredaran darah hingga mendarah daging. Jika kita dapat mengambil pelajaran darinya, maka niscaya kita tidak akan pernah puas dengan amal yang sedikit, kita akan terus waspada, terus merasa kurang hingga kita memenuhi hari-hari kita dengan beribadah kepada Allah SWT sehingga saat ramadhan berakhir, tanpa kita menerka-nerka kesucian diri kita dari dosa, insya allah kita sudah meraih apa yang disebut kemenangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H