Melintas jarak dan waktu, perjalananku selama tahun 2017 begitu berbeda dengan tahun sebelumnya. Mulai dari kejadian yang tak di inginkan hinga kejutan datang mengisi dan menjadi bumbu perjalanan yang ingin menyusuri Nusantara. Kali ini aku mencoba merangkai dan menyatukan keseluruhan cerita yang menurutku penting. Kemudian cerita ini aku bungkus dengan sebuah tittle Memoar menolak lupa ranselusang 2017.
Awal Januari 2017 Beradu Keyakinan Di Gunung Binaiya
Dimulai dari akhir Desember 2016 aku, Sena, dan Muklas yang tak sengaja menuju Ambon tanpa tau siapa yang akan kami tuju. Berbekal niat untuk mendaki Gunung Binaiya di Seram, Maluku. Beberapa keberuntungan terjadi hingga kami bisa mengikuti kegiatan tanam pohon dan penyaluran buku ke desa -- desa pelosok di Seram bagian Tengah. Puncaknya, 8hari pertempuran raga, batin, dan jiwa di Binaiya. Bisa dibayangkan selama 8 hari berturut-turut selalu hujan badai.
Selain itu diterpa badai beberapa kali selama pendakian, hingga hampir tersesat 2 kali membuat putut asa. Belum lagi kejadian mistis seperti di ganggu makhluk gaib yang menimpa teman teman perempuan menjadi pelengkap cerita. Selain itu mengalami kekurangan logistik akibat terlalu banyak menyimpan logistic di jalur pulang, menyebabkan beberapa hari mengatur makan tanpa ada nasi.
Kecap pun jadi penyelamat saat menghadapi hari -- hari yang berat itu. Tapi semua terbayarkan dengan berhasil turun dengan selamat tanpa ada yang mengalami cidera dan hal yang lainnya. Kisah awal tahun dibuka dengan indah dengan kado Tahun Baru di Puncak Gunung Binaiya
Februari Mengawal Donasi Buku 1 Ton menuju Bima dan Sumba
Beberapa bulan di Ambon, saat Februari aku melanjutkan perjalanan menuju Surabaya untuk menjemput Buku. Hasil bantuan teman -- teman untuk korban Banjir di Bima dan untuk adik -- adik si Sumba. Sebelum aku cerita lagi, ini adalah pengalaman paling menegangkan dan luar biasa.
Sebab sekitar 16 dus buku berukuran besar dengan berat 1 Ton kubawa sendiri melewati jalur laut. Bukan sok kuat atau sombong, melainkan saat itu posisinya hanya aku yang mempunyai waktu kosong dalam menyuplai donasi. Sedangkan teman -- teman yang lain seminggu setelahnya baru bisa.
Kenapa ga di paketin ? Waktu itu kami tidak memiliki biaya, semua berkat sumbangan sukarela dan beberapa kali kami mengumpulkan dana pribadi. Belum lagi saat di pelabuhan mengalami Over Baggage. Bagaimana tidak ? 1 ton masuk dalam bawaan 1 penumpang. Alhasil biaya yang harus kubayar sekitar Rp1.500.000 ah sial!!!. Jelas -- jelas di kantongku hanya tersisa Rp50.000 saja.
Aku mulai memelas dan berorasi, sekitar 30 menit berdebat karena ini bantuan bencana mereka memberi keringanan. Sekitar Rp500.000 yang harus dibayar. Aku segera bernegosiasi dengan teman -- teman. Pas sebelum kapal berangkat dana yang dibutuhkan kami dapatkan. Perjalanan kurang lebih 2 hari hingga aku sampai di Bima. Setengahnya berhasil di distribusikan di Bima, bertepatan teman -- teman berhasil menyusulku. Setelah itu kami membawa sisa donasi buku menuju Sumba menggunakan Kapal Ferry dari Pelabuhan Sape menuju Pelabuhan Waikelo. Cerita bisa kalian baca disini Catatan bulan ke-17,Cerita dari Maluku Menuju Ntt
Melihat Acara Adat Pasola di Sumba untuk Tahun ke - 2 Berturut - Turut
Petualangan di Sumba pun begitu terasa sekali. Sebab saat itu adalah tahun ke-2 berturut -- turut aku bisa menghadiri acara Adat Pasola. Namun di tahun ke 2 saat melihat acara Pasola berbeda cerita dan berbeda orang tentunya.
Bersama Arinta, Noval, Wicak, Hawary, Galuh dan tentunya Bersama om Aswar dan bang Mujis berkesempatan menemani kami. Namun kejadian kali cukup aman dan berbeda dengan tahun yang lalu. Kali ini mendapat pengalaman lain saat melihat acara adat Pasola di Lamboya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H