Mohon tunggu...
Nono Purnomo
Nono Purnomo Mohon Tunggu... Guru - mandiri

Belajar memahami dan merasakan ....

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Laron saja Bahagia, Mengapa Anda Tidak?

29 April 2015   23:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:32 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“ Kehidupan sosial anda kurang nyaman, dan anda ingin bahagia? Belajarlah dari rayap dan laron”

Saya percaya bahwa kehidupan bersama antara manusia dan makhluk hidup di sekitarnya memberikan pengaruh terhadap pola pikir dan bertindak. Tidak sedikit kita diberi contoh konkret tentang fenomena alam untuk dijadikan bahan perenungan dan direplikasi dalam kehidupan sehari- hari. Tulisan saya ini masih meneruskan berguru pada fenomena alam yang menurut saya masih begitu banyak terpendam dan perlu terus digali bersama-sama.

Dibalik kehidupan sosial rayap

Saya yakin semua tidak asing tentang hewan yang bernama rayap, bahkan banyak yang membencinya karena menjadi perusak bahan bangunan dengan memakan kayu-kayu yang ada di bangunan itu. Sebagai serangga yang memiliki kehidupan sosial mereka memiliki pembagian kasta yang jelas, antara rayap pekerja, rayap prajurit dan rayap reproduksi. Kitapun paham dengan posisi mereka masing-masing yang taat azas, di mana rayap pekerja dengan setianya mencari makanan guna melayani rayap prajurit dan rayap ratu, merawat telur, serta membuat dan merawat sarang. Demikian pula rayap prajurit selalu sigap dengan posisinya sebagai pelindung koloni dari serangan organisme lain. Adapun rayap ratu tentunya masih fokus dengan kelangsungan reproduksi bagi generasi penerus rayap.

Peran masing-masing strata sosial ini sudah direplikasi dalam kehidupan bermasyarakat kita. Namun ada  beberapa hal menarik yang luput dari pantauan. Pertama, kehidupan rayap yang baik secara sosial ini tidak mungkin bisa berlangsung dengan baik tanpa adanya hubungan spesial antara rayap dengan makhluk bernama flagellata. Organisme ini hidup pada usus rayap dengan konsep simbiosis mutualisme. Keuntungan utama yang diperoleh rayap adalah perolehan enzim selulase, keberadaan enzim inilah yang digunakan untuk mencerna kayu yang secara umum mengandung selulosa. Dapat dibayangkan sebaik apapun bangunan sistem strata sosial yang sudah tertata rapi dan begitu sempurna dan peranan yang sudah dijalankan masing-masing, tapi bila mereka semua para rayap dari tiap-tiap kasta tidak memiliki enzim selulase guna mencerna selulosa??? Dapatkah mereka bekerja optimal dalam sistem bila tidak memiliki energi untuk bekerja? Suatu keniscayaan bangunan sosial itu akan hancur dan tidak dapat berjalan, sebab masing-masing individu rayap dari tiap-tiap kasta hanya disibukkan sendiri dengan urusan perutnya masing-masing. Sungguh kehadiran flagellata bagai lem  perekat yang mampu memperkuat sistem sosial yang dimiliki rayap.

Demikian pentingnya peranan flagellata hingga kehadiran anak-anak rayap baru yang muncul dimuka bumi ini, rela melakukan “ritual” yang tidak enak dipandang mata yaitu dengan menjilati dubur induknya. Itu dilakukan demi mendapatkan flagellata. Sebuah ritual yang tidak mungkin kita lakukan sebagai umat manusia.  Kenyataanya, simbiosis yang terjalin terus menerus antara individu rayap dengan flagellata akan terus berlangsung, bersama dengan kehidupan sosial yang mereka jalani bersama.

Gambaran simbiosis mutualisme antara rayap dan flagellata ini, dapat dipakai sebagai petunjuk dalam kehidupan sosial di masyarakat kita, bahwa bangunan sosial yang sudah terjalin selama ini ternyata masih memerlukan kehadiran individu-individu lain yang akan tergabung dalam kehidupan sosial yang kita jalani untuk memberi “warna lain” yang lebih menghidupkan hubungan sosial yang ada. Itulah mengapa, kita tidak bisa menutup diri dari kehadiran individu-individu baru guna memberi pencerahan pada keadaan sosial yang sudah kita anggap sebagai “zona nyaman”. Tentunya seleksi dalam kehidupan sosial patut terjadi terhadap bergabungnya individu-individu baru dalam ikatan sosial yang ada. Harapannya zona nyaman yang ada bukan untuk dipertahankan kedudukannya tetapi digeser untuk mendapatkan posisi zona nyaman baru yang lebih baik.

Munculnya laron dari tanah

Pantauan kedua yang saya lihat adalah kemunculan laron, bentukan rayap yang sudah melalui tahapan metamorfosis. Laron merupakan rayap dewasa yang muncul di malam hari, kecenderungannya mencari cahaya berbanding terbalik dengan kebiasaan hidupnya selama ini di dalam tanah yang gelap. Munculnya laron dengan terbang keluar dari sarangnya adalah bukti nyata bagaimana laron meninggalkan zona nyaman yang selama ini mereka rasakan. Laron tidak takut dengan para predator yang siap memangsanya karena laron punya keyakinan. Keyakinan yang dipegangnya adalah dia harus menemukan pasangan hidup, guna meneruskan koloni baru yang mungkin saja sudah menjadi amanah bagi masing-masing individu rayap dewasa. Apakah  yang di cita-citakan untuk mendapatkan pasangan pasti berhasil? Tentunya tidak, karena kita bisa melihat ada laron-laron yang kehilangan sayapnya yang ringkih, kembali menjadi bentuk seperti rayap sebelumnya dan terkadang berakhir di usus cicak, di tembolok ayam atau menjadi rempeyek laron. Laron-laron yang tidak mendapatkan pasangan hidup itulah yang banyak kita temukan mati di pagi hari. Namun kematian yang dia terima bukanlah kematian yang sia-sia, karena kita lihat betapa bahagianya sepanjang malam laron-laron terbang terus kesana kemari guna memperjuangkan cita-cita barunya itu. Kebahagian laron-laron dalam BERPROSES inilah yang harus kita ambil dan replikasi dalam kehidupan kita. Saat memperjuangkan cita-cita yang kita yakini. Sering kali kita merasakan tidak begitu bahagia dan justru merasa tersiksa dalam berproses, sehingga ketika hasil yang kita peroleh tidak sesuai dengan yang kita harapkan kekecewaan semakin mendalam yang dirasakan. Harusnya kita mencontoh laron, tetap berbahagia dalam berproses meskipun proses yang dilakukan begitu berat dan menyiksa, andai kata hasil yang kita peroleh tidak sesuai dengan harapan, toh kita sudah menjalaninya dengan bahagia, terlebih apabila hasil yang diperoleh sesuai harapan menjadi sempurnalah kebagiaan yang kita rasakan.

“Belajarlah dari laron bahwa bahagia itu proses, bahagia  bukan hanya dari hasil”

Nono Purnomo

Rabu, 29 April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun