Mohon tunggu...
Ranna Babel
Ranna Babel Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Hy

Anak Pend. IT yang merangkap suka Sastra, Seni dan Nicholas Saputra.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Kenapa Tolok Ukur Hebat Itu Selalu Berkiblat ke Luar Negeri?

18 Agustus 2022   23:16 Diperbarui: 18 Agustus 2022   23:25 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya sering melihat ini, anjuran untuk bisa bahasa inggris, untuk rutin mengikuti isu internasional, meneladani tokoh pemimpin dunia dan itu jelas baik. Tetapi masifnya anjuran dan saran tersebut melahirkan masalah baru, dimana sebagian besar calon generasi bangsa fokus pada hal-hal yang jangkauannya skala global, tetapi pengetahuan akan permasalahan di daerah juga nihil. Permasalahan yang jelas-jelas nyata tidak terselesaikan.

Saya sering melihat influencer menyarankan mengikuti permasalahan-permasalahan di negara Amerika dan negara luar lainnya, bacaan luar, gaya hidup orang luar, misalnya saja kini anak muda khususnya di perkotaan lebih banyak tau urusan peran Rusia dan Ukraina dari pada isu pertahanan dalam negeri, kualitas pendidik dalam negeri, atau anak-anak yang mengucilkan bahasa daerah dan memper-Tuhankan bahasa asing. Sekali lagi menguasai dan memahami hal tersebut bukan sesuatu yang salah,  tetapi terkucilkannya isu-isu dalam negeri itu jelas masalah besar.

Saya jadi mikir, kenapa tolak ukur hebat itu selalu berkiblat ke luar negeri? kenapa bisa berbahasa asing dianggap menjadi syarat utama untuk berkembang? bukankah kebiasan mereplikasi negara lain akan membuat kita selalu berada di belakang? saya selalu mendengar kritikan teman seperti "di negara sana ada ini ada itu, di negara ini sudah buat ini dan itu, orang negara ini fokus membahas ini ", sesederhana kenapa kita harus sama seperti mereka? kenapa pembahasan kita mesti selaras dengan mereka? padahal kita juga bisa membuat kajian tersendiri, cuma mutunya saja yang perlu ditingkatkan. Bukan lagi isu lucinta luna, tetapi kualitas infrastruktur, kesemena-menaan penguasa, kita bisa kompak membuat perubahan dengan mengangkat isu dalam negeri. Ketertarikan kita mengikuti perkembangan luar negerti, akan semudah itu juga pemikiran kita akan disetir oleh mereka.    Lihat saja negara-negara yang berhasil punya ekosistem sendiri, hal itu dikarenakan terlalu fokusnya pada permasalahan dalam negaranya sendiri dan membuat selusi sendiri.

Contohnya saja, saya melihat negara Jepang yang masuk GDP  tertinggi, tetapi saya juga menemukan data (entah benar atau tidak) bahwa katanya rata-rata masyarakat disana kesulitan berbahasa inggris, dan juga bukan menjadi skill yang begitu penting. Tetapi, faktanya mereka tetap jauh berkembang kan, jelas ini karena mereka terlalu fokus bersama-sama kompak mejaga identitas bangsa dan pelestarian budaya.

Sedangkan kita, bagaimana mau terselesaikan masalah-masalah di pelosok negeri ini, kalau kita selalu diukur kualitas dirinya melalui sejauh mana dia mengenal budaya dan berbagai permasalahan di luar negeri. Coba anak-anak yang sekolah internasional itu ditanya terkait permasalahan di daerah, apakah mereka bisa paham? dan coba bandingkan pengetahuan mereka dengan hal-hal yang berhubungan luar negeri, dijamin menggebu-gebu mereka menjelaskan.

Terakhir, bagaimana kita mengatasi ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun