Mohon tunggu...
Sebastian Ranla
Sebastian Ranla Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang guru pada sebuah sekolah swasta.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Jangan Harap Aku MAu Selingkuh Denganmu!

8 Desember 2009   10:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:01 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Masih ingat kan pertama kali kita berjumpa? Di panas teriknya sebuah pasar rakyat di kota ini. Kita berjumpa di tempat penjualan pakaian rombengan. Ketika itu aku hendak membeli sebuah celana blue jeans. Kata kawanku, blue jeans itu tidak cocok untuk daerah panas seperti daerah kita ini. Keseringan memakai blue jeans akan mengakibatkan impotensi, katanya. Ngeri! Dan lagi, di Negara asalnya, blue jeans itu dipakai oleh para pekerja kasar di pabrik-pabrik.

Tetapi tentu saja aku tidak sepaham dengannya seperti biasanya. Pertama, ini soal mode, Bung. Ini jamannya kapitalisme. Tahukah Anda bahwa kapitalisme menjadikan "mode" apa saja yang dianggap miring oleh kebanyakan orang? Lihat saja anak-anak muda beranting sekarang ini. Dulu dianggap banci. Namun kemudian kapitalisme menjadikannya komoditas dan membuat para pemuda beranting itu sebagai symbol "macho". Demikian pula dengan jeans. Dulu memang untuk para buruh kasar, tetapi sekarang sudah menjadi symbol "kejantanan". Lihat saja para perempuan pengguna jeans sekarang... Tampak jantan, bukan? Dan yang terakhir ini: brekele! Jelek sekali model rambut itu. Tetapi orang-orang muda rela mengeritingkan rambutnya demi mode tersebut. Kedua, belum ada penelitian di daerah ini yang mengklaim bahwa satu dari sepuluh pria pengguna jeans menderita impotensi. Ketiga, kepraktisan. Bisa dipakai ke mana saja dan terlebih tak perlu dicuci terlalu sering. Makin lusuh malah makin asyik saja. Dan hemat sabun cuci. Satu-satunya alasan bagiku untuk tidak memiliki sepotong celana blue jeans adalah susah waktu mencucinya. Itu saja. Dan karena itu, aku ingin membeli satu, bahkan mungkin dua atau tiga kalau aku sudah cukup punya uang.

Dan akhirnya kita bertemu di tempat penjualan pakaian itu. Aku untuk blue jeans dan kamu entah untuk apa. Kita tak saling menegur. Tersenyum pun tidak. Masing-masing dengan urusannya sendiri. Untuk kamu ketahui saja, aku tipe orang yang paling cuek pada orang-orang yang belum pernah kukenal. Sah-sah saja kalau kamu menilai aku sebagai orang yang sombong. Tapi jangan katakana hal itu di depanku. Sungguh, aku akan cueki sebab aku selalu hangat pada mereka yang sudah aku kenal. Banyak orang sudah marah-marah karena sikapku ini. Tapi jangan harap aku mau merubahnya. Setiap orang kan punya sikap tersendiri berhadapan dengan orang lain. Bukankah manusia itu individu yang unik? Dan... kita tak mungkin hidup berdasarkan penilaian orang lain. Be yourself!

Nah, segalanya berubah ketika kamu, entah sengaja atau tidak, menjatuhkan bra yang sedang kamu tawari untuk beli, di hadapan saya. Kamu tersipu malu-malu mengangkatnya sembari melirik kepadaku. Sebetulnya aku cuek saja. Malah dalam hati, aku menganggapmu ketinggalan jaman sebab di jaman ini sudah semakin banyak perempuan yang tidak suka lagi pakai bra. Katanya biar angin lebih leluasa menyejukkan tempat bergantung. Hehehe...

Asal kamu tahu saja. Bra itu fungsinya melindungi payudara dan menonjolkannya. Tetapi kini banyak perempuan yang memakainya untuk fungsi yang kedua itu. Baju yang dipakai harus seketat mungkin agar bisa menonjolkan apa yang membuat mata para lelaki menatap lupa berkedip. Aku tidak setuju dengan pandangan seperti ini. Konservatif? Tidak! Aku hanya mengasihani para wanita yang tak mau lepas dari budaya patriarchal. Mengapa? Para lelaki menciptakan image wanita menarik seperti itu. Dan kaum perempuan, seperti biasanya kaum lemah, menuruti gambaran tersebut, malah mengagung-agungkannya. Kasihan!!! Perjuangan kesamaan gender berujung pada pemujaan patriarchal.

Yang membuatku terpesona pada siang itu adalah lirikan matamu. Begitu mempesona, menembusi jiwa. Kutemukan kedamaian maha agung dalam tatapanmu. Dan aku tak dapat melepaskan diri darinya sejak saat itu hingga sekarang dan mungkin selamanya. Sensasi yang timbul dari tatapanmu terlalu mengagumkan untuk dilupakan begitu saja. Aku menemukan keluasan semesta. Bebintang beterbangan seperti ribuan lampu merkuri di sebuah kota yang paras.

Dan kini... Entah sudah berapa lama aku menemukan diriku dalam tatapanmu. Dan entah berapa kali kuucapkan kata cinta kepadamu tanpa peduli kamu menerima atau menolaknya karena kamu hanya diam membisu. Diam yang bisa berarti setuju, tetapi juga bermakna perlawanan diam.

Tetapi tiba-tiba hari ini kamu datang dan mengajakku untuk selingkuh. Gila! Aku tak pernah membayangkan permintaan itu datang dari seorang gadis baik-baik seperti kamu. Kamu terlalu lugu dan tak punya bakat untuk selingkuh. Keluargamu adalah keluarga baik-baik dan ayah-ibumu adalah model kesetiaan bagi pasangan-pasangan muda dan idola bagi muda-mudi yang lagi jatuh cinta, sehingga tak mungkin kamu hendak balas dendam pada ayah-ibumu.

Darimana kamu jumpai ide gila ini? Terobsesikah kamu pada kisah selingkuh kawan-kawan dan tetangga-tetanggamu? Ataukah sebagai bentuk protes kepada ayah-bundamu yang tak pernah mengajari kamu berselingkuh? Atau... Sudah jatuh cintakah kamu pada pria lain sehingga kamu mencari selingan? Mungkin yang terakhir ini benar. Dan aku? Kaujadikan aku pemuas obsesimu. Terlalu!!!

Jangan harap aku mau selingkuh denganmu! Persetan dengan sensasi selingkuh yang pernah kudengar dari teman-temanku. Persetan dengan selingan percintaan yang telah menawan dan menggoda begitu banyak pasangan. Aku tak peduli!!! Karena kamu tahu bahwa aku mencintaimu!!! Inilah alasanku. Perselingkuhan tidak berdasar pada cinta, tetapi semata-mata pada hawa napsu!!! Karena itu, jangan harap aku mau selingkuh denganmu!!! Ganti berselingkuh, ajaklah aku bercinta denganmu. Percayalah!!! Kamu tak akan kecewa. Sunggguh!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun