Mohon tunggu...
Sebastian Ranla
Sebastian Ranla Mohon Tunggu... -

Saya adalah seorang guru pada sebuah sekolah swasta.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Sutiyem: Memberi dari Kekurangan

15 Desember 2009   11:31 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:56 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang nenek dengan kendi di tangan berjalan mendatangi beberapa orang untuk menawarkan kendinya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan uang guna mengobati giginya yang sedang sakit.Kendinya hanyalah sebuah kendi tanah sederhana yang bisa digunakan untuk menyimpan air minum. Dari segi harga ekonomisnya sih, kendi itu terlalu mahal bila dijual dengan harga Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) sebagaimana yang ditawarkan sang nenek. Akan tetapi melihat penampilan sang nenek renta, yang kemungkinan untuk mendapatkan uang sebanyak itu denganmengerjakan pekerjaan lain, demi mendapatkan lima puluh ribu rupiah guna biaya pengobatan sakit giginya, harga itu malah terlalu murah.

Hampir satu jam sang nenek berkeliling untuk menjajakan kendinya kepada siapa saja yang dianggap bisa menolongnya. Ada pelajar, ada mahasiswa, ada pegawai, ada buruh, ada penambal ban, ada pemilik warung, dan beberapa orang lain lagi yang didatanginya. Namun hampir setiap orang yang dijajakan kendi tersebut selalu menolak untuk berbuat baik kepada sang nenek dengan beragam alas an, entah itu karena tak punya uang ataupun kendinya kemahalan, padahal nenek sudah mengatakan dengan jelas maksud penjualan kendinya itu yaitu demi biaya pengobatan giginya yang sedang sakit. Kasihan!!! Akan tetapi berhadapan dengan penolakan orang-orang tersebut, sang nenek tak sekalipun mengumpat atau mengutuk. Dia memilih untuk berterimakasih kepada mereka yang tak mau menolongnya. Sebuah pilihan yang mungkin lahir dari kematangan oleh karena telah sekian lama mengalami pahit getirnya kehidupan ini dan bagaimana manusia seharusnya mengambil sikap berhadapan dengannya yaitu dengan cara bersyukur atas segala apa yang dialami.

Setelah sejam berjalan dan kelelahan, titik terang bantuan itu datang dalam diri seorang wanita yang sehari-harinya bekerja sebagai penambal ban di pinggiran jalan. Sutiyem, namanya. Dia seorang ibu yang telah kehilangan suaminya dan bekerja sangat keras untuk membiayai ketiga anaknya yang masih sekolah. Dengan sangat ramah, dia menerima sang nenek dan memberikan bantuan kepada sang nenek dengan sebuah ketulusan yang luar biasa. Lima puluh ribu rupiah bagi seorang penambal bal di pinggiran jalan tentu bukan jumlah yang kecil. Tetapi melihat ketulusanny dalam memberi, dia telah memberi dari kekurangannya. Luar biasa… Tak semua orang bisa melakukan hal seperti ini: Memberi dari kekurangan.

Kisah ini memang sebuah kisah yang ditayangkan oleh sebuah stasiun swasta yang kebetulan saya tonton tadi sore. Mungkin dalam rangka tontonan sehingga dibuat begitu menarik dan menggugah. Tetapi sebagai sebuah reality show, tanggapan seorang Sutiyem kepada sang nenek yang meminta bantuannya adalah sebuah pelajaran kemanusiaan yang luar biasa. Sutiyem menjadi contoh bagi kemanusiaan kita yaitu bahwa kita hidup untuk menjadi saudara bagi yang lainnya dan bahwa kita hidup untuk menjadi penjaga bagi sesama kita. Penjaga di sini berarti pemelihara, penolong, pembantu, pengayom, dan pendamping.

Nah, di tengah situasi kita yang semakin egoistis dan konsumeris ini, mungkinkah kita bisa menjadi penjaga bagi saudara kita? Ataukah kisah Sutiyem ini hanya cocok bagi mereka yang berkekurangan sehingga bisa memberi dari kekurangannya?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun