Jujur, saya tidak suka politik. Bagi saya politik itu kejam. Saat di SMU, saya belajar mata pelajaran Tata Negara dan melakukan diskusi kelas. Salah satu teman saya, Gery mengatakan bahwa politik itu kejam dan jahat. Kami sekelas pun mengamini pernyataannya.
Saat ini, pers pun semakin bebas memberitakan masalah politik dengan terbuka. Masyarakat awam seperti saya pun diberi tontonan gratis pertunjukkan di panggung politik. Sungguh pertunjukkan yang tidak selalu enak untuk ditonton. Pada pertunjukkan tersebut ada adegan berkelahi baik secara diplomatis maupun secara fisik dari para politikus. Ada adegan penuh drama dari para pelaku politik. Semua hal tersebut membuat saya menjadi seorang yang apatis. Jika ada pemberitaan mengenai gonjang-ganjing di panggung politik, saya merespon dengan respon biasa aja sepertinya hal tersebut lumrah adanya.
Sudah menjadi hal biasa jika di panggung politik semuanya bisa dibolak-balik, yang benar bisa menjadi salah dan yang salah bisa menjadi benar. Oleh karena itu, saya sebagai warga biasa tidak boleh menelan begitu saja pemberitaan yang ada. Apa yang dikatakan oleh media belum tentu benar, apa yang menjadi pemberitaan belum tentu sesuai dengan fakta yang ada. Hal itulah yang membuat saya yang tadinya apatis dengan masalah politik tba-tiba ingin menelusuri lorong labirin seputar kasus Jero Wacik. Kenapa saya jadi tertarik dengan kasus Jero Wacik? Karena sebelum dituduh melakukan korupsi, saya melihat Jero Wacik adalah seorang menteri yang berdedikasi tinggi. Walaupun, wajahnya tidak terlalu sering muncul di televise namun prestasinya selama menjabat sebagai Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, jero Wacik sudah banyak menorehkan prestasi. Salah satu prestasi beliau yang saya ingat adalah menghidupkan kembali Festival Film Indonesia yang sudah mati suri selama bertahun-tahun.
Benarkah semua tuduhan yang dilayangkan kepada beliau? Lalu, saya pun mulai mengikuti kasusnya dengan membaca pemberitaan seputar kasus tersebut. Apa yang saya dapatkan setelah mengikuti kasus Jero Wacik? Saya hanya bisa mengurut dada mencoba melepaskan sesak yang tiba-tiba datang. Kenapa? Karena selama persidangan, tuduhan-tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan. Tuduhan-tuduhan yang dilayangkan kepadanya seakan-akan mengada-ada.
Mulai dari tuduhan melanggar Pasal 3 untuk di Kementerian Budpar, penyalahgunaan DOM yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 8,4 Milyar, lalu tuduhan pelanggaran Pasal 12 di Kementerian ESDM, Pemerasaan, Memaksa Bawahan, dan merugikan keuangan negara Rp 10,3 Milyar, dan tuduhan melanggar Pasal 11 yaitu menerima gratifikasi. Jika melihat tuntutan-tuntutan tersebut secara sekilas, tentu siapa pun akan merasa geram karena ada seorang pejabat negara yang melakukan korupsi uang sebesar itu untuk kepentingan pribadi, sementara masih banyak rakyat yang kelaparan. Namun, benarkah semua tuduhan tersebut? Apakah semua tuduhan itu terbukti?
Selama persidangan, tuduhan pertama tidak pernah terbukti. Saksi-saksi yang dipanggil selama persidangan menyebutkan bahwa memang setiap Kementerian diberikan Dana Operasional Menteri melalui DIPA/APBN untuk kelancaran tugas-tugas Menteri sesuai dengan target pekerjaannya. Bahkan, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun menjelaskan hal tersebut bahwa DOM itu disediakan untuk Operasional Menteri dalam menjalankan tugas-tugasmya. DOM tersebut diberikan berupa lumpsum, sesuai Diskresi Mentri masing-masing, cukup kuitansi tidak perlu bon-bon pendukung.
Lalu, DOM digunakan itu apa saja? Di Kementrian Kebudayaan dan Pariwisata, DOM digunakan untuk kegiatan-kegiatan kementerian selama masa jabatan Jero Wacik, dana tersebut digunakan untuk kegiatan-kegiatan seperti menghidupkan Festival Film Indonesia (FFI), Visit Indonesia Year 2008, Visit Museum Year 2010, Membuka Pusat Studi Kebudayaan 2008 di UI, UNUD, UNHAS, dan UGM, mengurus pendaftaran karya-karya Budaya Indonesia ke UNESCO, seperti keris, wayang, batik, angklung, subak,tari saman, tari bali, geopark, dan lain-lain. Semua kegiatan di Kementerian Budpar berhasil dan sukses karena didukung oleh DOM yang digunakan sesuai Diskresi Mentri.
Selain tuduhan penyalahgunaan DOM saat menjadi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik pun dituduh memaksa dan memeras bawahan saat menjabat sebagai Menteri ESDM. Selama masa persidangan, tuduhan itu tidak terbukti sama sekali karena berdasarkan kesaksian-kesaksian, kickback kepada rekana sudah dilakukan mulai awal tahun 2010, sementara saat itu Jero Wacik belum menjadi Menteri ESDM. Jero Wacik sendiri dilantik menjadi Menteri ESDM pada 19 Oktober 2011. Lalu, bagaimana caranya seseorang yang belum diangkat menjadi Menteri bisa memaksa bawahannya melakukan kickback pada rekanan? Sesuatu yang mustahil dan mengada-ada, bukan?
Jika semua tuduhan tidak terbukti kebenarannya, seharusnya Jero Wacik dibebaskan dari semua tuduhan dan dibersihkan nama baiknya? Namun, kenyataannya, Jero Wacik tetap divonis hukuman 4 tahun penjara dan denda 150 juta subsidair 4 bulan kurungan. Jero Wacik dianggap lalai menjalankan tugasnya.Menurut Hakim, tinfak korupsi yang dilakukan Jero Wacik bukan murni kesalahannya “Tapi juga kurang kontrol terhadap bawahannya.” Lho, jadi yang melakukan tindak korupsi itu bawahannya, Jero Wacik sebagai rasa tanggung jawab sebagai atasan menerima keputusan hakim tersebut? Pantaskah orang yang tidak bersalah dijatuhi hukuman seperti itu? Nama baik yang sudah tercemar tentunya sudah sangat berat ditambah hukuman penjara dan denda yang nilainya tidak sedikit.
Jero Wacik menerima putusan tersebut dengan hati ikhlas karena Jero Wacik percaya Tuhan itu tidak tidur. Seharunya Jero Wacik melakukan banding jika merasa keputusan pengadilan masih terasa berat. Namun, Jero Wacik tidak melakukan hal tersebut. Malahan yang melakukan banding adalah Jaksa Penuntut yang menganggap vonis yang dijatuhkan jauh dari tuntutan. Ada apakah ini sebenarnya? Seseorang yang tidak terbukti bersalah tetap divonis hukuman. Setelah divonis tetap diajukan banding untuk dinaikkan hukumannya. Jika seseorang tidak terbukti bersalah sudah selayaknyalah dibebaskan dari semua tuntutan dan dibersikan namanya.
Ah, benar kata teman saya, politik itu memang kejam. Namun, politik tetap diperlukan dalam kehidupan bernegara, tinggal bagaimana kita menyikapi dengan bijak setiap kasus politik yang ada. Tidak semua yang dikatakan benar itu adalah benar, tidak semua yang dikatakan salah adalah salah. Kembali kepada diri kita untuk bisa memfilter segala informasi dengna hati dan pikiran yang jernih. Semoga Jero Wacik segera mendapat keadilan yang sebenar-benarnya.