Sebenarnya saya tidak terlampau hirau dengan apa yang dilakukan dengan Indonesia Corruption Watch (ICW). Terutama yang berkenaan dengan rilis data 36 anggota DPR yang dianggap komitmen anti korupsinya lemah. Bagi saya, hal ini sudah masuk ke ranah politik. Mengkaitkan rilis tersebut dengan kesadaran pemilih akan Pemilu 2014 yang akan datang. Semua orang atau organisasi (LSM) seperti ICW bebas mengeluarkan pendapat. Namun, menanggapi terlampau berlebihan juga tidak proporsional. Seakan menempatkan ICW seperti lembaga negara yang memiliki kedudukan penting di negri ini. Tanggapan yang berlebihan dari para politisi senayan, justru akan menaikan “level” ICW ke tingkat yang lebih tinggi. Apalagi jika sekedar LSM seperti ICW. Berbeda halnya, jika yang mengeluarkan rilis itu seperti Muhammadiyah (ormas) yang sedikit banyak akan mempengaruhi opini konstituens. Dus, ICW membuat indikator sesuka hatinya sendiri. Dimana indikator itu tidak ada rujukannya secara hukum. Jadi, ini perkara politik belaka.
Namun yang membuat saya tertarik membaca rilis itu tentang isinya dalam kaitan hukum. Sekali lagi, hukum bukan politik. Yakni disebutnya beberapa nama politisi senayan oleh beberapa orang saksi dalam proses pengadilan. Meskipun data itu tidak lengkap secara keseluruhan. Kalau politisi seperti Jhoni Allen Marbun, membantah dan menyatakan data ICW itu bukan fakta. Sungguh pernyataan lucu. Karena beberapa nama politisi yang disebut oleh saksi di persidangan itulah fakta. Fakta hukum. Fakta Persidangan. Bahkan keterangan saksi Abdul Hadi Jamal di muka pengadilan disebut alat bukti. Dan menurut saya, KPK harus segera menindaklanjutinya.
Memang benar untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka dibutuhkan dua alat bukti yang sah. Kita tidak perlu repot-repot lagi mengidentifikasi mana alat bukti itu. Faktanya, sudah ada setidaknya satu alat bukti yang sah dan dapat dipergunakan oleh KPK atau Kejaksaan. Yakni, keterangan saksi di depan pengadilan. Keterangan saksi di depan pengadilan memiliki nilai yang lebih tinggi ketimbang keterangan saksi saat penyidikan. Karena semua saksi di depan pengadilan di bawah sumpah. Bukan itu saja, memberi keterangan palsu atau bohong di depan pengadilan, bisa terkena sanksi pidana.
Meskipun keterangan satu orang saksi saja belum bisa dijadikan sandaran kuat untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka. Tapi setidaknya, publik sudah mengetahui sudah ada satu alat bukti. Tinggal kemudian KPK atau Kejaksaan, melakukan validasi atas keterangan saksi tersebut. Pada konteks ini, keterangan satu orang saksi, sudah bisa dijadikan jalan masuk bagi KPK atau Kejaksaan, untuk menemukan satu alat bukti lagi, hingga para politisi senayan tersebut dijadikan tersangka. Dalam beberapa perkara, hal ini pernah terjadi.
Contohnya keterangan saksi/ terdakwa Agus Tjondro, sebagai justice colloborator dalam kasus suap pemilihan DSGBI. Baik saat penyidikan maupun pemeriksaan di depan pengadilan. Agus menyebut 41 orang politisi senayan ikut terlibat. Diteruskan dengan hasil PPATK adanya transaksi tersebut. Artinya, saat itu sudah ada satu alat bukti (keterangan Agus) dan satu barang bukti (hasil PPATK). Saya tidak mengetahui apa alat bukti lain, sehingga tercukupi dua alat bukti untuk menjadikan beberapa politisi senayan sebagai tersangka. Dari keterangan Agus Tjondro, politisi seperti Dhudie Makmun Murod, Panda Nababan, Hamka Yandu, Max Moein, Emir Moeis. Termasuk Nunun Nurbaeti dan Miranda Goeltom menjadi tersangka dan hingga saat ini sudah menjadi terpidana. Contoh lain. Keterangan Mindo Rosalina yang menyebut nama Angelina Sondakh.
Saya ingin mempertegas rilis ICW dalam kaitan hukum, bukan politik. Bahwa beberapa politisi senayan (tidak semua atau 36 nama seperti ICW buat), harus segera ditindaklanjuti oleh KPK, karena –menurut saya—sudah ditemukan alat bukti yang sah. Politisi senayan itu adalah:
1.Azis Syamsudin. Keterangan saksi Thedy Rusmawan dan keterangan saksi Nazarudin (2 alat bukti) untuk perkara simulator SIM. Serta alat bukti “petunjuk” tentang peristiwa pertemuan yang saling berkaitan dengan perkara.
2.Desmond Junaidi Mahesa. Keterangan saksi Thedy Rusmawan dan keterangan saksi Nazarudin (2 alat bukti) untuk perkara simulator SIM. Serta alat bukti “petunjuk” tentang peristiwa pertemuan yang saling berkaitan dengan perkara.
3.Bambang Soesatyo. Keterangan saksi Thedy Rusmawan dan keterangan saksi Nazarudin (2 alat bukti) untuk perkara simulator SIM. Serta alat bukti “petunjuk” tentang peristiwa pertemuan yang saling berkaitan dengan perkara.
4.Herman Herry. Keterangan saksi Thedy Rusmawan dan keterangan saksi Nazarudin (2 alat bukti) untuk perkara simulator SIM. Serta alat bukti “petunjuk” tentang peristiwa pertemuan yang saling berkaitan dengan perkara. Pada perkara yang berbeda, Herman Herry disebut juga namanya oleh terdakwa Kosasih Abas.
5.Nazarudin. Keterangan saksi Thedy Rusmawan dan keterangan saksi Nazarudin sendiri.
Jika kelima orang ini dijadikan tersangka, maka akan melengkapi atau menambah tedakwa yang sudah ada sebelumnya, yakni: Djoko Susilo, Didik Purnomo dan Susanto dan Sukotjo Bambang.
Beberapa politisi senayan lainnya yang disebut oleh dua orang saksi, seperti:
1.Mahyudin. Disebut dalam keterangan Mindo Rosalina dan keterangan Nazarudin, dalam perkara yang sama (ada 2 alat bukti yang perlu divalidasi KPK).
2.I wayan Koster. Dari keterangan Mindo Rosalina dan keterangan Lutfi Ardiansyah. Jika dibandingkan dengan Angelina Sondakh yang hanya disebut oleh Keterangan Mindo Rosalina dan selanjutnya menjadi terpidana. I Wayan Koster justru disebut oleh dua orang saksi, yang sampai sekarang bersangkutan belum dijadikan tersangka.
3.Mirwan Amir. Mirwan disebut dalam dua perkara yang berbeda. Pertama disebut oleh Wa Ode Nurhayati (PPID) dan kedua oleh Mindo Rosalina (Wisma Atlet). Meskipun satu alat bukti tidak cukup untuk setiap perkara, namun disebutnya nama Mirwan Amir di dua perkara (korupsi) sudah cukup bagi KPK atau Kejaksaan untuk memeriksa lebih dalam lagi. Bahkan Mindo Rosalina menyebut Mirwan (dalam percakapan dengan Angelina Sondakh) sebagai “ketua besar”.
4.Melchiar Marcus Mekeng. Sama seperti Nirwan Amir, kasusnya. Disebut oleh Mindo Rosalina dan Wa Ode Nurhayati.
5.Olly Dondokambey. Disebut dalam keterangan saksi Yulianis dan keterangan Wa Ode Nurhayati.
6.Jhonny Allen Marbun. Dalam perkara yang berbeda disebut dari keterangan saksi / terdakwa Abdul Hadi Jamal dan disebut oleh Mindo Rosalina (2 perkara).
Baik keterangan saksi maupun keterangan terdakwa di depan pengadilan disebut alat bukti. Tinggal kemudian KPK atau Kejaksaan memvalidasi alat bukti tersebut. Yang jadi tekanan saya, bahwa sudah ditemukan alat bukti yang sah (meskipun untuk beberapa politisi senayan baru ditemukan satu alat bukti), tetapi pointnya, sudah ada alat bukti.
Dari fakta-fakta persidangan Tipikor sebelumnya seperti keterangan saksi, keterangan terdakwa, dokumen dan surat, menampilkan barang bukti sudah bisa ditindaklanjuti oleh KPK atau Kejaksaan untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut. Munculnya perkara baru – seperti kesaksian Nazarudin yang menyebut 6 (enam) perkara lain, di luar perkara wisma atlet – yang melibatkan politisi senayan sebagai pelaku atau penerima suap. Atau perkara yang sama, yang belum menjadikan politisi senayan sebagai tersangka baru.
Ayo KPK, tangkap politisi senayan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H