Mohon tunggu...
Rani Veliana
Rani Veliana Mohon Tunggu... -

aku berpikir, aku ada

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Jokowi Tidak Salah

16 Januari 2015   02:07 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:03 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sampe hari ni, Rani masih bingung sama cercaan dan cemooh orang yang bilang “Jokowi salah”. Secara mencalonkan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Salahnya dimana, ngga jelas, sis ! Ngga ada argumentasi yang dijadikan dasar tudingan. Selain cemooh.Dasar hukum apa yang dipake buwat nyatakan “Jokowi salah”, sama sekali tidak ditampakan dasarnya. Selain cemooh. Meski begitu, ada juga sih yang berikan argumentasinya, walau lemah selemah-lemahnya. Coba deh kita lihat satu per satu.

Jokowi dianggap salah karena ngga libatkan KPK dan PPATK. Dasarnya apa libatin KPK and PPATK? Coba baca UU No.2 Tahun 2002 dan Perpres No.17 Tahun 2011,ngga ada tuh pasal dan ayat yang mewajibkan presiden sewaktu mengangkat calon Kapolri libatin KPK dan PPATK. Jelas, bukan ? Kalo kurang jelas, baca aja ndiri tuh undang-undang.

Terus bilang, “waktu zaman SBY, KPK dan PPATK dilibatkan kho”. Ngarang, hayal dan ilusi. Calon Kapolri mana di zaman SBY, Presiden meminta pendapat KPK dan PPATK. Yang benar tuh, waktu Presidennya SBY, calon Kapolri mengantar LHKPN ke KPK. Itu saja. Bukan meminta pendapat KPK atau PPATK. Jelas, bukan? Cuman ngantar LHKPN doang !. Ngga ada meminta pendapat KPK atawa PPATK.

Masih kurang, dilanjutin. “Lalu kenapa waktu pencalonan menteri, KPK dilibatkan”. Terang aja dilibatin, coy.Semua calon menteri meski ikutin fit and proper test oleh Presiden. Dengan cara wawancara langsung. Bukan cuman Presien aja, Panitia Seleksi calon hakim MK juga meminta pendapat KPK untuk mengetahui rekam jejak calon hakim MK. Hampir semua proses fit and proper test calon pejabat negara libatinKPK dan PPATK. Meski ketentuan ini hanya diskresi tapi sudah jadi tradisi. Nah, untuk calon Kapolri, siapa yang melakukan fit and proper test? Presiden ? ya ngga lah yau. Komisi III DPR yang melakukannya. Sejak dulu proses fit and proper test di Komisi III DPR, melibatkan KPK dan PPATK. Kalau mau disalahkan, ya DPR itu. Kenapa sekarang proses fit and proper test untuk BG, DPR tidak libatin KPK dan PPATK. Kecuali Presiden yang melakukan fit and proper test, boleh lah kita salahkan Presiden yang tidak libatkan KPK dan PPATK. Lucu aja, waktu mau mengusulkan calon, Presiden libatin KPK. Terus, waktu DPR mau buat fit and proper test, KPK dilibatin lagi.

Karena ngototnya mawu nyalahin Jokowi, terus bilang begini lagi: KPK sudah peringatkan Jokowi, kalau BG itu bermasalah. Ada red notice. Lalu, apa bedanya dengan Setya Novanto, ketua DPR yang hebat itu. Bukankah KPK sudah memberi peringatan ama DPR waktu itu, kalau sang ketua itu bermasalah. Tetap aja dipilih jadi ketua DPR. Jika sekedar peringatan dan dugaan, tidak ada yang bisa dijadikan pegangan. Pegangan Jokowi jelas, surat Bareskrim Mabes Polri bilang, BG itu clear. Ini surat lho, bukan omongan. Surat yang disertakan dalam usulan Kompolnas. Masa Presiden lebih ngutamain omongan timbang surat resmi. Bukankah KPK dan Polri, sama-sama aparat penegak hukum yang berwenang. Bedanya satu pake omongan, yang laen pake surat resmi.

Tetap ngga mau kalah, dilanjut lagi “BG sudah jadi tersangka, napa Jokowi ngga nariknya sebagai calon”.Kata Yusril, ngurus negara itu bukan seperti ngurus warung. Melakukan sesuka hati aja. Semua ada aturannya. Surat Presiden ke DPR dibuat tanggal 9 Januari 2015. Diterima DPR tanggal 12 Januari 2015. Hari itu juga DPR udah jadwalin proses fit and proper test dilakukan tanggal 14 Januari 2015. Lalu tanggal 13 Januari, keluar pengumuman KPK, yang bilang BG dalam status tersangka. Apanya yang mau ditarik? Sedangkan DPR sudah menjadwalkan rapat fit and proper test. Sejak tanggal 12 Januari 2015, kewenangan itu sudah ada di DPR.

Bila sudah ada pengumuman dari KPK itu, Komisi III DPR gambang aja kerjanya. Tolak aja usul dari Presiden itu. Selesai perkara. Terus minta Presiden mengajukan calon lain. Napa rumit-rumit amat. Bukankah pengalaman sebelumnya, sebelum fit and proper test, DPR meminta pendapat KPK terlebih dahulu. Nah, sekarang KPK tidak diminta sudah mengumumkan duluan. Cukup alasan bagi Komisi III untuk menolak BG sebagai calon Kapolri. Sudah ada pengumuman dari KPK, DPR tetap saja bilang BG itu “perwira yang bagus”. Bagus dari hongkong !

Kebiasaan sebelumnya, DPR ngga pernah menolak usulan calon Kapolri dari Presiden. Siapa yang bilang? Sejarah kho ditutup-tutupin buwat pembenaran. Coba deh liat lagi, waktu pencalonan Kapolri pengganti Bambang Hendarso Danuri. DPR menolak calon tunggal yang diusulin Presiden. DPR minta Presiden untuk memberikan dua nama, bukan calon tunggal.

Sebagai catatan, setiap calon Kapolri pasti ada aja masalahnya. Bukan hanya kali ini saja. Conthnya Timur Pradopo. Bayangin aja, bro… Presiden SBY gusulin nama Timur Pradopo yang ngga ada dalam daftar usulan Kompolnas. Saat itu Kompolnas mengusulkan Nanan Sukarna dan Imam Sudjarwo. Lha, tiba-tiba SBY ajukan nama lain diluar usulan Kompolnas. Terus tambah gelo, pangkat Timur Pradopo yang waktu itu masih Irjen, dinaikan tiba-tiba jadi Komjen. Sampai muncul ungkapan “Pagi bintang dua, sore bintang tiga dan esoknya bintang empat” . Timur Pradopo berpangkat Komjen hanya 11 hari. Hebat bukan? Hanya 11 hari !. Sangking dipaksaiin ama SBY.

Nah, kalau sekarang BG sudah disetujui DPR jadi Kapolri, apakah bisa Presiden melantiknya? Pake ukuran apa dulu. Kalau pakai dasar hukum pasal 11 ayat 6 UU No.2 Tahun 2002, ya bisa lah. Meskipun statusnya sudah jadi tersangka. Kecuali Mabes Polri, mengeluarkan surat keputusan menonaktifkan BG sebagai polisi karena sudah jadi tersangka. Itu baru bisa. Secara pasal itu bilang “ Calon Kapolri adalah Perwira Tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karier”.

Rani bilang semua calon Kapolri pasti ada masalahnya. Anggap aja, Jokowi mengganti BG dengan calon lain. Siapa, misalnya? BadrodinHaiti. Wadauuuww, ni orang sama aja dengan BG. Dalam investigasi Tempo doi termasuk perwira polisi yang punya celengan babi endut. Siapa lagi? PututBayuseno. Kalau nama ini diajuiin, nanti dibilang Jokowi ada deal-dealan sama SBY. Doi kan bekas ajudan SBY. Siapa lagi? Oegroseno. Lha, doi kan ngga masuk dalam usulan Kompolnas. Masa Jokowi mau ngikutin jejak SBY ngusulin calon Kapolri diluar daftar usulan Kompolnas. Siapa lagi hayoo? Syafruddin. Pangkatnya belum cukup, bro. Masih Irjen belum Komjen. Kecuali mau seperti Timur Pradopo, dinaikan pangkatnya jadi Komjen cuma 11 hari.

Udah ah gitu aja.. Rani mo belajar lagi.

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun