Mohon tunggu...
Rani Yanti
Rani Yanti Mohon Tunggu... -

Penimba Ilmu

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebait Catatan dari Perempatan

4 Mei 2012   08:46 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:44 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Siang itu panas sekali, matahari tidak bosan-bosannya menghujamkan panasnya ke tiap sudut bumi. Dengan enggan kupacu sepeda motor bututku menuju stasiun Balapan, mau tidak mau aku harus menjemput saudaraku yang datang dari Yogyakarta.

Pukul 13.15, suasana perempatan dekat rumah sakit tempat aku magang ini jauh dari kata lenggang, bunyi-bunyi klakson yang saling bersahutan, asap-asap yang mengepul dari knalpot-knalpot usang, dan kendaraan-kendaraan yang saling berdesakan, tak sabar dengan angka 73 berwarna merah di sudut atas jalan.

Aku mendengus, semakin malas rasanya keluar rumah di siang terik seperti ini. Entah hanya halusinasi atau memang terjadi, aku mencium bau-bau gosong kulit yang terbakar bercampur bau-bau keringat yang menyengat. Ah, menyebalkan, aku mengumpat.

Mataku tiba-tiba tertumbuk kepada seorang lelaki setengah baya dengan kursi roda yang menghampiriku.

” Ah, sial, mana tidak ada receh lagi..” batinku.

” Koran mbak?..” ujarnya sembari menyodorkan sebuah koran ke arahku. Aku menggeleng. Mood membacaku sedang tidak mengunjungiku hari itu. Dia tersenyum kemudian mulai menuju ke motor lain di sebelahku.

Entah darimana asalanya, tiba-tiba hatiku merasa iba. Kubuka tasku dan kukeluarkan selembar uang 5 ribu.

” Mas..mas...” panggilku.

Dia menoleh dan mendekatiku sembari tersenyum.

” Ini buat mas..”ujarku menyodorkan selembar uang 5 ribuan yang kusiapkan.

Tiba-tiba kulihat rasa kecewa yang kulihat dari raut mukanya, tetapi dengan secepat mungkin dia berusaha menutupi dengan senyumnya. Dia menggeleng.

” Saya tidak mau dikasihani mbak..” ujarnya sembari tersenyum.

Deg. Baru kali ini aku ketemu dengan seseorang yang mempunyai semangat luar biasa. Tetap semangat meskipun cacat. Dan yang luar biasa dia tidak ingin hidup dari belas kasihan orang-orang disekitarnya. Aku tersenyum.

” Ya sudah mas, korannya saya beli saja.”

Dia mengangguk. Sembari menyerahkan korannya kepadaku. ” Dua ribu mbak..” ujarnya.

Aku menyerahkan uang 5 ribuan yang gagal kuberikan. Diterimanya uang itu dan dengan sigap diulurkannya kembalian kepadaku.

” Tidak usah mas, untuk mas saja..” ujarku.

Lagi-lagi dia tersenyum seraya berkata. ” Maaf mbak, terimakasih sebelumnya. Tetapi, saya tidak ingin dikasihani,”.

Aku tercengang memegangi kembalian yang baru saja dia serahkan. Benar-benar semangat yang luar biasa. Aku masih memandanginya yang menawarkan korang dengan  senyum yang bersahaja dan tawa ceria dari satu motor ke motor lainnya .

Bunyi klakson itu saling bersahutan memekakkan telinga. Aku tergagap, kulirik lampu di sudut perempatan. Hijau. Dengan terburu, aku pun melaju bersama motor bututku. Siang itu memberi warna tersendiri dalam hidupku.

Muslim sejati tidak akan bangga, mempertahankan hidupnya dari belas kasihan manusia

Surakarta, 4 Mei 2012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun