Tulisan ini terinspirasi dari seorang teman yang iseng-iseng curcol kepada saya. Dia bertanya, apakah dia adalah anak yang durhaka jika menolak keingininan orang tua untuk masuk ke jurusan yang dipilih orang tuanya. Jurusan yang 180 derajat berbanding terbalik dengan keinginannya.
Saya pun bingung menjawabnya, tetapi saya hanya bisa berkata " Pilihlah pilihan yang mendekatkanmu dengan Allah, yang membuatmu bahagia, dan berguna bagi orang-orang di sekitarmu." Entah, mungkin memang tidak menyelesaikan masalah. Tetapi pada kenyataanya memang baru sampai di situ kemampuan saya untuk membantu teman saya.
Bicara tentang durhaka, seringkali begitu mudah durhaka itu dilabelkan kepada seorang anak yang tidak menuruti mau orang tuanya. Dengan tameng bahwa " seorang orang tua itu pasti ingin yang terbaik bagi anaknya" lalu seringkali kita temukan seakan orang tualah yang berhak mengatur dan menentukan jalan bagi anakknya.
Pada akhirnya sikap yang memaksakan kehendak tersebut berakhir bukan untuk yang terbaik bagi anaknya, tetapi yang terbaik bagi orang tuanya. Nah, jika ada keluarga, orang tua atau saudara Anda yang mempunyai sikap seperti itu. Janganlah langsung bersikap kontra, memberontak, dan menyanggahnya. Tetapi ada baiknya jika dilihat dan digali lebih lanjut tentang mengapa mereka bersikap demikian.
Kebanyakan dari orang tua yang bersikap demikian dikarenakan terjebak pada masa lalunya. Ada yang diperlakukan buruk karena tidak kaya, lalu pada akhirnya menjadi seseorang yang menomor satukan materi. Mengabaikan segalanya agar kaya, dan bahkan pula menuntut anaknya demikian. Atau karena orang tua yang demi gengsi, cita-cita belum tercapai, lalu memaksa anaknya mengikuti apa maunya.
Sayangnya, hal ini terjadi turun temurun. Seorang anak yang menggerutu tentang orang tuanya, secara tidak sadar dia akan meniru orang tuanya, sehingga seakan menjadi kebiasaan turun temurun. Lihat saja, semisal seorang orang tua yang bermind set bahwa sukses itu adalah "kekayaan materi". Maka dia akan menanamkan kepada anaknya untuk menjadi kaya raya, dan anaknya mau tak mau juga termind set demikian, untuk menjadi seseorang yang menurutnya " berbakti" dan membuat senang orang tua mau tidak mau dia bekerja dan menghalalkan segala cara demi materi. Walaupun pada awalnya dia mengeluh, tetapi secara tidak sadar pola pikir itu yang juga ditanamkan ke anaknya.
Sudah sering saya mendapatkan curhatan dari teman, yang kadang tidak realistis, mengorbankan dirinya sendiri demi memenuhi tuntutan orang tuanya. Dan hasilnya tanpa disadari dia melakukan hal yang sama kepada anaknya. Miris memang.
Kembali kepada masalah durhaka. Masing-masing orang tua punya parameter sendiri untuk mengatakan anaknya adalah anak yang durhaka. Pernah saya menemui orang tua yang mengata-ngatai anaknya durhaka hanya karena tidak bisa meminjaminya uang, karena kondisi keluarga anaknya sendiri sedang dalam kesulitan. Hingga pada akhirnya batasan "durhaka" itu menjadi bias.
Kembali, saya hanya mengatakan kepada teman saya itu" Selama itu tidak bertentangan dengan agama, hukum, dan moral.Lakukan apa yang menjadi pilihanmu. Maafkan masa lalu agar nantinya didikan itu tidak mengakar kepada anak cucunya. Mungkin akan ada suatu bentrokan kecil, label " durhaka" yang diucapkan dari orang tua yang menyebabkan sakit hati yang luar biasa. Tetapi lebih baik memotong jalur yang salah, dan mengembalikan ke jalan yang benar meski dengan susah payah daripada membiarkannya berjalan dengan tenang tetapi semakin terjerumus ke arah yang salah.
Berani membuka lembar baru, berani memaafkan masa lalu. Salam semangat :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H