Siang itu panas sekali, matahari tidak bosan-bosannya menghujamkan panasnya ke tiap sudut bumi. Dengan enggan kupacu sepeda motor bututku menuju stasiun Balapan, mau tidak mau aku harus menjemput saudaraku yang datang dari Yogyakarta.
Pukul 13.15, suasana perempatan dekat rumah sakit tempat aku magang ini jauh dari kata lenggang, bunyi-bunyi klakson yang saling bersahutan, asap-asap yang mengepul dari knalpot-knalpot usang, dan kendaraan-kendaraan yang saling berdesakan, tak sabar dengan angka 73 berwarna merah di sudut atas jalan.
Aku mendengus, semakin malas rasanya keluar rumah di siang terik seperti ini. Entah hanya halusinasi atau memang terjadi, aku mencium bau-bau gosong kulit yang terbakar bercampur bau-bau keringat yang menyengat. Ah, menyebalkan, aku mengumpat.
Mataku tiba-tiba tertumbuk kepada seorang lelaki setengah baya dengan kursi roda yang menghampiriku.
” Ah, sial, mana tidak ada receh lagi..” batinku.
” Koran mbak?..” ujarnya sembari menyodorkan sebuah koran ke arahku. Aku menggeleng. Mood membacaku sedang tidak mengunjungiku hari itu. Dia tersenyum kemudian mulai menuju ke motor lain di sebelahku.
Entah darimana asalanya, tiba-tiba hatiku merasa iba. Kubuka tasku dan kukeluarkan selembar uang 5 ribu.
” Mas..mas...” panggilku.
Dia menoleh dan mendekatiku sembari tersenyum.
” Ini buat mas..”ujarku menyodorkan selembar uang 5 ribuan yang kusiapkan.
Tiba-tiba kulihat rasa kecewa yang kulihat dari raut mukanya, tetapi dengan secepat mungkin dia berusaha menutupi dengan senyumnya. Dia menggeleng.
” Saya tidak mau dikasihani mbak..” ujarnya sembari tersenyum.
Deg. Baru kali ini aku ketemu dengan seseorang yang mempunyai semangat luar biasa. Tetap semangat meskipun cacat. Dan yang luar biasa dia tidak ingin hidup dari belas kasihan orang-orang disekitarnya. Aku tersenyum.
” Ya sudah mas, korannya saya beli saja.”
Dia mengangguk. Sembari menyerahkan korannya kepadaku. ” Dua ribu mbak..” ujarnya.
Aku menyerahkan uang 5 ribuan yang gagal kuberikan. Diterimanya uang itu dan dengan sigap diulurkannya kembalian kepadaku.
” Tidak usah mas, untuk mas saja..” ujarku.
Lagi-lagi dia tersenyum seraya berkata. ” Maaf mbak, terimakasih sebelumnya. Tetapi, saya tidak ingin dikasihani,”.
Aku tercengang memegangi kembalian yang baru saja dia serahkan. Benar-benar semangat yang luar biasa. Aku masih memandanginya yang menawarkan korang dengan senyum yang bersahaja dan tawa ceria dari satu motor ke motor lainnya .
Bunyi klakson itu saling bersahutan memekakkan telinga. Aku tergagap, kulirik lampu di sudut perempatan. Hijau. Dengan terburu, aku pun melaju bersama motor bututku. Siang itu memberi warna tersendiri dalam hidupku.
Muslim sejati tidak akan bangga, mempertahankan hidupnya dari belas kasihan manusia
Surakarta, 4 Mei 2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H