Mahasiswa merupakan salah satu aset bangsa yang sangat berharga, karena di tangan merekalah masa depan bangsa di pertaruhkan, banyak masyarakat memandang sinis terhadap mahasiswa. Pandangan sinis ini dikarenan mahasiswa yang sering demo, tidak menunjukkan sikapnnya selayaknya mahasiswa, berpakaian urak-urakan dan masih banyak lagi keluhan lainnnya yang terus dilontorkan untuk mahasiswa. Sehingga menimbulkan rasa pesimis generasi tua kepada generasi muda, mereka khawatirakan masa depan yang bangsa ini, ditambah  lagi dengan IPK mahasiswa yang sangat mudah mendapatkan IPK tinggi akan tetapi tak sesuai dengan kepintarannya menimbulkan tanda tanya bagi masyarakat.
Kebanyakan dari sarjana, khususnya fkip memiliki IPK yang cukup tinggi akan tetapi ketika diwawancarai untuk pekerjaan kebanyakan dari mereka tak bisa menjawab, seperti pernyataan salah satu dosen yang pernah bercerita kepada kami seorang mahasiswa alumni Perguruan Tinggi Negeri  melamar pekerjaan di PTN tersebut sebagai dosen dan ipknya sangat tinggi karena ia  termaksud mahasiswa cumloude, akan tetapi dia ditolak kareana ketika diwawncarai ia tak bisa menjawab. PTN  itu saja meragukan IPK yang didapatkan oleh mahasiswanya, bagaimana dengan lembaga lain?
IPK merupakan tolak ukur kemampuan mahasiswa dalam menerima mata kuliah yang diberikan oleh dosen, jika IPK yang didapatkan tinggi bisa kita simpulkan mahasaiswa tersebut pintar, dan sebaliknya jika IPK yang didapatkan rendah maka bisa kita simpulkan mahasiswa tersebut kurang pintar. Akan tetapi kodrat seperti itu telah berubah seiring jalannya waktu, karena tidak semua mahasiswa yang mendapatkan IPK tinggi itu dikategorikan pintar, dan sebaliknya.Â
Hal ini dikarenakan peraturan universitas yang mengambil nilai 50% dari Ujian akhir, padahal jawaban ujian sesungguhnya bukanlah murni dari pemikiran mahasiswa karena kebanyakan dari mereka mengambil jawaban dari internet. Kurang ketatnya pengawasan ketika ujian berlangsung membuat mahasiswa tidak membuang kesempatan tersebut. Factor lainnya adalah dosen memberikan nilai dengan  rasa kasihan dan berdasarkan kedekatannya dengan mahasiswa, ada pula dosen yang memberikan nilai kepada mahasiwanya sama semua satu kelas baik yang aktif, ataupun yang jarang masuk kuliah dan tak pernah mengumpulkan tugas, lalu apa sebenarnya yang dinilai oleh dosen, inilah yang sulit dimengerti oleh kami.
Jika hal ini terus terjadi, lalu bagaimana nasib pendidikan kita ? mengingat guru menjadi factor penting pendidikan, namun sikap calon guru yang tidak mencerminkan sikap guru yang kita lihat sedikit menghawatirkan, pasalnya jika kualitas guru hanya diukur denga IPK yang belum tentu kemampuannya, maka akan sangat memalukan. Banyak mahasiswa PPL FKIP yang ditarik kembali oleh unirvesitas lantaran belum siap turun lapangan, dan banyak sekolah yang ragu akan kualitas guru sekarang, karena terlihat jelas dengan sekolah-sekolah yang tidak ingin menerima mahasiswa PPL, tentu saja ini menghawatirkan.
Memiliki IPK tinggi sah-sah saja bagi mahasiswa apalagi itu dibarengi dengan kemampuannya. Hal lain yang membuat mahasiswa mengejar IPK bukan ilmu karena tuntutan zaman, sekarang standar menjadi seorang pekerja harus memilki IP minimal 3,00. Jalan pintarpun dilakukan mahasiswa untuk meraih IP ini. Segala cara dihalalkan yang terpenting disini adalah IPK-nya tinggi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H