Brukk..
Tiba-tiba ingatanku membuyar kala sebuah buku biru tiba-tiba terjatuh dari meja. Buku biru usang yang pernah menjadi coretan sejarah semasa kuliah. Dia, sebut saja Amik (bukan nama sebenarnya) sebenarnya bukan teman kuliahku melainkan teman SMA. Bahkan kampusnya pun beda kota dengan tempatku kuliah.
Sedangkan buku biru itu, berisi puisi-puisi yang dia kirimkan untukku.
Tidak sepenuhnya puisi, tapi kebanyakan tentang hal-hal yang aku kagumi darinya. Amik sering memanggilku Adek. Jadi, aku hanya membayangkan hubungan kami bagai kakak adik ketemu gedhe. Saat dia jatuh cinta, patah hati, lalu kembali jomlo. Rasanya tidak ada yang terlewatkan dariku.
Hubungan yang aneh. Sebab, jika hanya sebatas itu, mengapa setiap hari kami selalu berkirim kabar. Menanyakan apakah sudah makan atau belum. Bahkan saat aku memutuskan untuk menerima perasaan orang lain, dia terus mencibir orang itu.
Hingga hari yang dinantikannya (mungkin) tiba. Aku putus juga dengan teman kuliahku.
Perhatiannya padaku semakin besar.
Sebuah puisi ditulis dengan kode morse dikirimkan melalui sms. Untunglah, saat itu aku memiliki mbak kost yang pengetahuannya soal kode-kode morse yahud banget. Tak butuh waktu lama, kami akhirnya berhasil memecahkan kode morse itu juga.Â
Tak hanya ditulis dengan kode morse. Tapi kami juga ganti harus menerjemahkan puisi yang dia kirim. Lagi-lagi, untunglah mbak kostku ini penyuka puisi. Akhirnya kami mengambil intisari dari puisi tersebut, dia ingin aku menunggunya karena dia akan meminangku suatu hari nanti.
Pernyataan itu semakin diperkuat kala kami sedang berada di pantai Samas. Sebuah cincin perak yang diperoleh di Kota Gede disematkan di jariku.
Sayang, perjalanan kami memang tidak semulus pantat bayi.