Mohon tunggu...
Rani elisa purba
Rani elisa purba Mohon Tunggu... Guru - Seorang guru yang belajar dan mengajar

Sibuk untuk hidup atau sibuk untuk mati. Menulislah selagi hidup, karena hidup bukan soal durasi tapi kontribusi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gaya Hidup Manusia Cerdas dan Manusia Adaptif di Kala Pandemi Covid-19

13 Mei 2020   18:06 Diperbarui: 13 Mei 2020   17:55 985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://finance.detik.com/ 

Manusia sebagai makhluk yang paling adaptif diantara makhluk lainnya tidak perlu lagi dipertanyakan. Kemampuan adaptasi ini memang sangat menentukan kemampuan bertahan hidup. Kemampuan adaptasi untuk bertahan hidup semakin teruji dimasa pandemi Covid-19 ini, seolah kita bisa mengatakan yang "kuat" akan bertahan sementara yang "lemah" akan musnah. Kata kuat yang saya pakai pada bagian tersebut, dapat memiliki berbagai makna. Orang yang akan bertahan di masa pandemi ini adalah mereka yang kuat artinya kuat secara fisik karena daya imun atau bahkan kuat secara finansial karena mempermudah untuk akses banyak hal seperti dunia medis ataupun akses berbagai kebutuhan pangan.   

Masa pandemi ini mengkondisikan kita untuk  hidup dalam ketidakpastian yang sesungguhnya membawa kita semakin dekat dengan satu hal yang pasti. Berada dikondisi saat ini, mendengar pertambahan angka  positif  yang terus digaungkan lewat media membuat kita merasa kematian itu sangat dekat atau bahkan di depan mata. Hal unik tentang manusia saya pelajari dari hal ini yaitu ketidaksiapan menghadapi ketidakpastian namun juga mengelak sesuatu yang pasti dengan melakukan berbagai upaya pencegahan agar tidak terjadi. Beberapa minggu-minggu awal covid-19 dinyatakan sebagai masalah global, kita melihat realita banyaknya rak-rak swalayan yang kosong, masker menjadi langka dan pembelian produk bahan pangan yang tiba-tiba meningkat, penarikan besar-besaran simpanan di bank dan banyak tindakan lain yang berakibat buruk pada aspek perekonomian global. Tidak dapat dipungkiri bahwa respon-respon tersebut mengalir secara natural dari dalam diri manusia sebagai upaya bertahan hidup.

Di akhir tahun 2019 lampau, pertama kali Covid-19 ditemukan di Wuhan. Saya dan mungkin beberapa dari pembaca sekalian merasa bahwa hal itu masih jauh bahkan tak jarang menemukan di media sosial hal tersebut dijadikan sebagai bahan lelucon. "Ahh.. tidak mungkinlah sampai di Indonesia"  begitu kira-kira kalimat yang kita ucapkan. Apakah pada saat ini kita masih punya kebernaian untuk berkata "ahh,, tidak mungkin saya akan terinfeksi". Hmmm saya rasa, tidak seorangpun berani menjamin hal itu sebab Covid-19 ini tidak mengenal diskriminasi. Saya tinggal di kepulauan Nias yang sampai saat ini secara data dapat dipastikan bahwa tak seorangpun yang terinfeksi Covid-19. Sekalipun demikian, upaya bertahan hidup yang dilakukan masyarakat disini tidak berbeda dengan mereka yang berada di zona merah. Suatu ketika saya pergi ke kota hendak membeli beras untuk persiapan di rumah. Saya menyempatkan diri untuk mendengarkan celotehan pemilik toko yang mengatakan bahwa harga beras naik dan hanya diizinkan membeli setengah dari jumlah biasanya.

Masa-masa pandemi Covid-19 ini sesungguhnya menguji nilai persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam menjaga stabilitas ekonomi. Pudarnya nilai ini, akan menonjolkan keegoisan yang menjadikan orang "kuat" akan bertahan sementara orang "lemah" akan musnah.  Apakah ini merupakan cara seorang manusia cerdas yang adapatif dalam meresponi pandemi ini? Bagaimana jika kondisinya dibalik? Bukankah sebagai manusia adaptif kita bisa segera menyesuaikan? Bagaimana jika kondisi ini kita arahkan sebagai pendorong nilai persatuan dalam menjaga stabilitas ekonomi terjaga? Jika hal ini terjadi maka kita akan melihat bahwa orang "kuat" menopang orang "lemah" sehingga setiap lapisan masyarakat mampu mengikuti dinamika perekonomian.

Manusia yang memiliki kecerdasan dapat dilihat dari kemampuan berpikir dan berperilakunya yang fleksibel sehingga memperlihatkan sikap yang berempati dan simpati (Sendari, 2020). Jika hal ini dimiliki oleh seorang manusia, maka respon yang ditunjukkan ketika menghadapi kondisi pandemi Covid-19 adalah respon yang cerdas. Sikap empati dan simpati diperlihatkan dengan pengendalian diri dan emosi. Salah satu contoh tindakkan nyata perilaku cerdas yaitu membeli kebutuhan pangan dengan menggunakan pertimbangan skala prioritas. Skala prioritas yang digunakan dapat dilihat berikut ini:

Sumber: https://nusacaraka.com/2019/04/15/skala-prioritas-kebutuhan/
Sumber: https://nusacaraka.com/2019/04/15/skala-prioritas-kebutuhan/
Tabel di atas akan menolong dalam pengambilan keputusan dan tindakan dengan cara mempertanyakan asas penting dan mendesaknya sesuatu. Jika jawaban yang ditemukan adalah sangat penting dan sangat mendesak maka hal tersebut haruslah dilakukan namun jika sebaliknya jawaban yang ditemukan adalah kurang penting dan kurang mendesak, maka sesungguhnya tindakan cerdasnya adalah tidak melakukan hal tersebut. Jika skala prioritas di atas digunakan untuk mengambil sebuah keputusan dan tindakan sebagai bentuk upaya bertahan hidup ditengah ketidakpastian perekonomian akibat  pandemi Covid-19 ini, maka stabilitas keungan akan terjaga.

Ciri lain manusia cerdas adalah sikap yang tidak mudah percaya. Sikap ini bukan berarti seseorang yang selalu penuh kecurigaan terhadap orang lain, melainkan orang demikian adalah orang yang tidak mudah dipengaruhi. Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya literasi masyarakat Indonesia sangatlah rendah sehingga hal ini memberi peluang berita dan isu hoax dengan mudah meracuni pemikiran. Racun inilah yang dapat menjadi pemicu kepanikan manusia sehingga tidak bisa berpikir tenang untuk menggunakan skala prioritas. Orang cerdas selalu mempertimbangkan informasi yang diperolehnya maupun informasi yang ingin dibagikannya. Orang cerdas dapat menggunakan konsep "THINK" before you speak or before you act.

Sumber:Amazon.com
Sumber:Amazon.com
Makna dari slogan tersebut adalah sebelum mempercayai suatu informasi atau mengambil tindaan untuk membagikannya, maka pikirkanlah apakah hal tersebut benar adanya? Apakah akan membantu orang lain? Apakah akan menginspirasi orang lain? Apakah itu penting? dan apakah itu baik? Setelah pertimbangan hal tersebut dan ternyata jawaban dari semuanya adalah "YA" maka informasi itu dapat dipercaya dan dibagikan. Berbanding terbalik jika kenyataannya salah satu dari pertanyaan itu memiliki jawaban "TIDAK" maka informasi yang diperoleh tidak layak dipercayai atau dibagikan. Kemampuan berpikir dengan cara ini akan meminimalisir munculnya informasi-informasi yang dapat memicu kepanikan global ditengah ketidakpastian perekonomian saat ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun