Menurut berita yang diunggah di Media Alkhairaat (Kamis, 15 September 2022), Keluarga pasien di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Anuntaloko Parigi mengeluhkan pelayanan petugas RS. “Keluarga saya kemarin menjalani pemeriksanaan oleh dokter dan perawat.
Katanya kondisi keluarga baik-baik saja, padahal pasien merasakan kondisi kesehatannya belum baik, tapi dokter sudah mempersilahkan pasien untuk pulang dan mencabut infus,” keluh Keluarga Pasien, Kofifah, ditemui, Kamis (15/09). Kofifah mengaku telah mengabaikan anjuran dokter dan memilih untuk bertahan di RS. Namun, sejak Selasa siang pihak rumah sakit tidak lagi memberikan pelayanan meski pasien terus meringis kesakitan, karena penyakitnya kambuh. Sehingga, pihak keluarga terpaksa harus membeli obat sendiri di apotek di luar RS.
“Saya dapat informasi bahwa dokter memang sudah menyuruh pasien pulang. Tapi perawat juga menyampaikan, jika masih ada keluhan tinggal saja dulu di sini nanti disampaikan kembali ke dokter,” jelasnya. Menurutnya pihak dari Rumah Sakit, hal itu hanya masalah miskomunikasi.
Oleh karena itu, rencananya pihaknya akan memberikan pelatihan kepada perawat terkait service excellent, agar petugas kesehatan mampu memberikan layanan di atas harapan yang diinginkan.
Kasus diatas merujuk pada permasalahan komunikasi yang kurang efektif diantara tenaga kesehatan dan pasien di pelayanan kesehatan. Interprofessional Communication (IPC) adalah komunikasi antar profesional kesehatan seperti dokter, perawat, ahli gizi, dan lainnya dengan tujuan bekerja sama dalam pengobatan dan pemulihan pasien.
Pada saat mengidentifikasi pasien, diperlukan keterampilan komunikasi untuk mencapai hasil perawatan yang optimal dan mengurangi kesalahan medis yang disebabkan oleh kegagalan komunikasi antara petugas kesehatan. Menurut Permenkes RI 1691/MENKES/PER/VII/2011 disebutkan bahwa salah satu dari sasaran keselamatan pasien di rumah sakit adalah komunikasi yang efektif.
Selain dari komunikasi yang efektif diperlukan juga kolaborasi interprofesional atau kerja sama antar tenaga medis dalam perawatan pasien. Dua hal ini sangat erat hubungannya dalam meningkatkan tangkat kepuasan dan keselamatan pasien.
Namun beberapa penelitian mengungkapkan bahwa persepsi petugas kesehatan terhadap komunikasi interproffesional cenderung dipengaruhi oleh faktor peran masing-masing profesi, misalnya pemahaman bahwa dokter pemegang kekuasaan tertinggi dari tenaga kesehatan yang lain sehingga menyebabkan komunikasi antara tenaga kesehatan terhambat.
Salah satu faktor penghambat komunikasi interprofessional adalah keterbatasan waktu untuk berkumpul dan berinteraksi antar profesi, jadwal visit yang berbeda masing-masing profesi dan jadwal kerja yang berbeda atau asinkron, dimana hal tersebut menyebabkan perbedaan persepsi antara tenaga kesehatan dengan pasien dalam mutu pelayanan kesehatan.
Padahal pada kenyataannya komunikasi interprofessional memiliki beberapa jenis yaitu komunikasi verbal, non verbal, dan tertulis. Komunikasi verbal merupakan komunikasi melalui kata-kata yang diucapkan, dapat berupa visit bersama, diskusi bedah kasus, dan pre and post conference.
Komunikasi non verbal merupakan komunikasi melalui ekspresi wajah, kontak mata, gestur, dan gerakan tubuh. Sedangkan komunikasi tertulis merupakan komunikasi melalui kata-kata tertulis, simbol, gambar, dan diagram. Komunikasi interprofessional juga dapat terjadi dalam beberapa lingkup, seperti :
- Komunikasi antar manajer fasilitas kesehatan dengan petugas kesehatan
- Komunikasi antara dokter dengan perawat/bidan
- Komunikasi antara dokter spesialis dengan DPJP
- Komunikasi antara dokter/perawat/bidan dengan apoteker
- Komunikasi antara dokter/perawat/bidan dengan petugas pemeriksaan penunjang