Ketika aku masih duduk di Sekolah Dasar, aku sering sekali menangis akibat ulah kakak kelasku yanng suka mengolok-olok aku. Aku tak terima perlakukan buruknya yang suka menghina keluargaku. Laki-laki itu gendut dan besar serta besar suaranya tapi begitupun aku selalu beradu mulut denganya di akhir cerita aku yang menangis sebabnya karena aku sangat menyayangi keluargaku dan tak punya senjata yang tangguh untuk melawannya. Aku benar-benar benci laki-laki itu.
Pulang kerumah bertemu ayah dan langsung bercerita: Aku tak terima bapak dinamai oleh laki-laki itu kataku keras. Ayahku hanya tertawa dan bilang buat apa kamu marah? Nama itu kan memang untuk dinamai dengan tawa yang masih tersisa. Anehnya aku mulai memahami tentang benarnya hal itu. Benar nama memang untuk dinamai. Esoknya aku hanya diam saja ketika lelaki itu menghina dan menamai ayahku. Sampai mulutnya robek pun aku hanya akan diam, janjiku.
Mungkin aku menjadi bagian satu-satunya murid yang tak pernah ikut pramuka di sekolahku. Asal kutanya pada ibu, pasti jawabanya tidak boleh ikut. Hatiku sungguh kesal sekali dan mengutuki diriku yang lahir dari keluarga yang tradisional. Suatu kali aku dan teman-temanku akan pergi ke kolam berenag dewi di kabanjahe. Aku sangat ingin ikut karena aku tak pernah bertamasya dengan keluargaku sejak kecil. Persisi seperti tebakan ku, jawaban tidak selalu saja keluar dari mulut ibuku.
Mandek dari tugas mencuci piring hingga kabur dari rumah adalah satu-satunya hal yang terpikirkanku saat itu. Berharap tindakanku akan berbuah manis dan aku bisa pergi bersama teman-temanku. Faktanya aku dijemput oleh ibu, dipaksa pulang dan tak ada perubahan atas permintaanku. Sampai tangisanku terdengar oleh ayahku, si penguasa di rumahku. Ibukupun menceritakan keinginanku dan menceritakan tingkah mandek dan kaburku. Terbalik, ayah marah mennyalahkan ibuku dan mengata-ngatai ibu bukan ibu yang baik. Permasalahan menjadi ramai hanya karena kekanak-kanakanku dan inginku saja. Biarkan dia bersama teman-temannya, itulah kata ayahku menutup akrobat mulut diantara mereka sambil pergi keluar rumah. Aku sungguh menyesal dengan semua yang terjadi termasuk dengan keinginanku itu. Aku tak akan pergi, walau sudah diijin ayah.
Akhirnya ibu memberikan aku ijin untuk pergi. Tidak hanya itu saja, juga membekaliku banyak uang dan makanan sebagai bekal. Bahagia sekali hatiku bisa tertawa lepas bersama teman-temanku. Ibarat baru keluar kandang, ibarat merdeka. Aku pergi ke Swalayan dan membeli coklat Silverquein yang selama ini hanya kulihat di tivi saja. Aku juga membeli ice cream dan banyak makanan lain yang sering kulihat dari televisi. Sampai-sampai aku muntah karena kebanyakan makan coklat dan sadar bahwa makanan kota tidak cocok dengan lidah desaku. Sampai dirumah ibuku tertawa melihat aku yang mual-mual tanpa mengingat dia dan ayahku belum baikan hari itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H