Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate, Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dialog di Gerbong Kereta

21 Agustus 2023   11:59 Diperbarui: 31 Agustus 2023   21:05 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kota Yogyakarta disiram bintang di langit malam ini. Setelah menemukan kursiku, aku menaruh ransel di penyimpanan atas kursi, kemudian duduk sambil mengatur napas yang agak tersengal. Kubuka botol minum berwarna biru muda berisi air putih. Baru seteguk aku meminumnya, kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun dengan segala hiruk pikuknya. Kulihat ibu paruh baya di sampingku sedang asyik dengan ponselnya. 

Kursi di hadapanku kosong. Aku kembali lega karena meskipun memilih gerbong ekonomi, aku bisa sedikit leluasa karena tidak ada penumpang di hadapanku, setidaknya sampai stasiun berikutnya.

Namun, tiba-tiba seorang laki-laki remaja yang terlihat seumuran denganku duduk di kursi yang ada di hadapanku. Ia meletakkan ranselnya yang tidak begitu besar di pahanya. Aku membetulkan posisi duduk agar kami sama-sama nyaman. Lalu aku memperbaiki kunciran rambut sambil menyembunyikan kekesalan karena ruang gerakku jadi sempit. Kudengar dering telepon di ponsel laki-laki tadi, lalu dia mengangkatnya sambil bergeser ke kursi dekat jendela, tidak lagi di hadapanku.

"Maaf, Bu, Tama belum bisa beli bakpianya." kata laki-laki itu di telepon yang terdengar olehku karena jarak kita yang dekat.

"Bukan, Bu. Tama masih punya uang, tapi ini untuk ditabung supaya Tama bisa balik lagi ke Jogja. Nanti kapan-kapan Tama belikan ya, Bu." ujarnya lagi agak pelan karena menyadari bahwa aku memperhatikannya.

"Iya, Ibu cepat sembuh ya." Kali ini dia menjawab telepon sambil melirikku. Aku salah tingkah dan segera mengalihkan pandangan ke ponselku. Aku merasa bersalah karena tidak sengaja mendengarnya dan refleks memperhatikan pembicaraannya di telepon. Setelah kulihat dia sudah menutup telepon, aku segera menegurnya dan meminta maaf. Ibu di sampingku tidak mengetahui karena kulihat dia tertidur.

"Aku tidak bermaksud menguping, maaf."

"Tidak apa-apa, Kak." ujarnya sambil memasukkan ponsel ke ranselnya. Kulihat tertempel stiker logo universitasku di casing ponselnya.

"Wah, satu kampus ternyata." gumamku dalam hati.

Aku tersenyum, kemudian terlintas di pikiranku untuk memberinya bakpia, kebetulan aku membeli dua kotak. Aku menduga ibunya sedang sakit dan laki-laki bernama Tama itu ingin membelikan bakpia namun dia belum punya uang yang cukup.

Melamun sebentar membuatku tak sadar bahwa laki-laki itu pergi.

"Ke mana dia?" gumamku dalam hati. Kulihat ibu paruh baya di sampingku masih tertidur menghadap jendela.

Aku memutuskan menyiapkan satu kotak bakpia dalam kantung plastik terpisah, kemudian menulis pesan di kertas kecil untuk kutaruh di kotak tersebut. Pesan itu berisi permintaan maaf dan perkenalan singkat bahwa kami satu universitas. 30 menit berlalu namun dia tak kunjung kembali. Aku menaruh bakpia itu di kursinya. Ah, aku baru ingat, dia mungkin sedang ke toilet. Tapi mengapa lama sekali? Aku mencoba tidur karena perjalanan masih cukup lama.

"Semoga saja Tama segera kembali dan dia mau menerima bakpianya." gumamku lirih.

Aku tertidur cukup lama hingga hampir tiba. Untung saja Ayah menelepon, menanyai posisiku di mana dan memastikanku untuk tidak tertidur. Aku turun di Stasiun Purwokerto, perkiraan tinggal 30 menit lagi akan sampai. Ibu paruh baya di sampingku sudah bangun, namun Tama tetap tidak kulihat batang hidungnya, sepertinya dia sudah kembali, membawa bakpianya, dan turun di stasiun tujuannya.

Aku bersiap karena sebentar lagi akan tiba di stasiun. Kuikat tali sepatuku yang terlepas, namun ketika akan mengikat tali sepatu sebelah kananku, itu masih terikat dengan rapi dan kudapati kertas kecil berwarna kuning cerah menempel di situ.

"Terima kasih banyak, Kak. Akan kusampaikan pada Ibu bahwa Kakak adalah orang baik dan tidak suka menguping. Nomorku ada di balik kertas ini, jika Kakak berkenan, hubungilah aku."

Aku tertawa kecil saat membacanya dan segera menyimpan nomor itu, lalu bergegas mengambil ransel dan mengecek barang-barangku.

***

Weekend berlalu, hari Sabtu dan Minggu bersama Ayah di kampung halaman sudah kulalui dengan penuh cerita. Kuberitahukan juga soal bakpia di kereta kala itu dan Ayah pun mengapresiasinya. 

Siang ini, hari Senin, lalu lintas sedang sibuk-sibuknya. Deru kendaraan menemaniku dan Ayah dalam perjalanan menuju stasiun. Mendung tampak menggelayut. Awannya memayungi kotaku, siap menurunkan hujan lebat.

Sesampainya di stasiun, pengumuman keberangkatan kereta kami sudah terdengar. Kami berlari, bahkan Ayah sambil menarik koper besarnya yang berat. Dia akan ikut aku ke Yogyakarta karena ada diklat tiga hari di sana. Tepat kami memasuki gerbong, kereta mulai bergerak. Lalu Ayah segera mengajakku menuju kursi kami. Aku di dekat jendela dan ayah di pinggir.

Saat berhenti di stasiun Kebumen, kulihat sosok yang tidak asing datang dan duduk di kursi yang ada di hadapanku, bersama seorang laki-laki seumuran Ayah. Ternyata, dia mengenaliku lebih dulu.

"Kakak bakpia?"

Aku agak terkejut karena dia memanggilku dengan sebutan itu. Kulirik Ayah yang juga tertegun dengan sapaan itu. Lalu kami saling melempar tawa renyah sambil berjabat tangan. 

Ya, dia Tama, laki-laki yang saat itu sedang menelepon ibunya dan aku tidak sengaja mengupingnya. Aku masih mengenalinya karena penampilannya tidak jauh beda, bahkan dia memakai kaos abu-abu berkerah dengan celana jeans agak longgar, pakaian yang sama ketika kami bertemu pertama kali.

"Maaf, Kak, waktu itu tidak pamitan karena Kakak tertidur, tapi aku membawa bakpianya. Terima kasih banyak, Kak." ujar Tama saat kereta mulai melaju kembali.

"Ah, santai saja. Apakah ibumu menyukainya? Dia pasti segera sembuh setelah mencicipi bakpia itu." balasku sambil tersenyum.

"Iya, ibu menyukainya dan menitipkan salam, juga ucapan terima kasih untuk Kakak."

Aku tersenyum lega. Namun kudapati raut wajah Tama tidak menggambarkan kebahagiaan. Aku seperti tak asing dengan ekspresi seperti itu, ada pilu yang membiru di balik bening matanya.

"Mbak, terima kasih banyak ya atas bakpianya. Ibu senang sekali saat itu." celutuk laki-laki di sebelah Tama, yang kuduga adalah ayahnya. Ternyata dia ikut bersama Tama untuk sekadar menemani perjalanan putranya itu kembali ke tanah perantauan.

Aku mengangguk dan tersenyum lagi. Ayahku dan ayah Tama kembali mengobrol. Aku mendapati tatapan kosong Tama ke jendela.

"Ibu sudah meninggal, Kak." kata Tama tiba-tiba tanpa mengalihkan perhatiannya dari jendela.

Aku terkejut, namun separuh pikiranku seperti sudah menduga hal tersebut karena melihat raut wajah dan tatapan Tama.

"Ibu meninggal sesaat setelah kami bicara di telepon. Mendengar kabar itu, aku langsung ke toilet dan menangis di sana. Aku tidak percaya aku bisa menangis. Oh ya, aku yakin, Ibu suka sekali bakpia yang kakak berikan, bahkan sebelum ia mencicipinya." tambahnya.

Akhirnya aku tahu alasan dia ke toilet dan tak kunjung kembali hingga aku tertidur. Aku memberanikan diri menepuk pundaknya pelan, "Yang kuat, ya. Kamu pasti bisa melaluinya, walau nggak akan mudah untuk terbiasa merangkak di dunia yang keras ini tanpa kehadiran wanita paling berharga di dunia."

Aku ikut menatap jendela sambil menopang dagu.

"Kakak juga harus lebih kuat karena tidak sedang berada di posisiku." balasnya.

Aku diam sejenak, "Tentu saja," jawabku sambil tersenyum pada jendela dan panorama malam di baliknya.

Kudengar Ayahku dan Ayah Tama tertawa dengan guyonan mereka sendiri. Detik demi detik meloncat pasti dalam ruang waktu. Membawa kami pada dialog-dialog ringan. Tama ternyata mahasiswa baru, satu tingkat di bawahku yang mengenaliku karena aku pernah menjadi panitia ospek. Namun dia tidak tahu namaku, dan kubiarkan saja dia memanggilku Kakak Bakpia.

"Tapi kenapa Kakak tidak menghubungiku?"

"Oh bukan apa-apa. Aku hanya gengsi menghubungi duluan. Tapi nomormu sudah kusimpan." jawabku sambil tertawa.

Tidak terasa dialog-dialog ringan kami di dalam gerbong kereta ini ikut mengantarkan kami ke kota tujuan, Yogyakarta. Saat kereta berhenti, Ayahku dan Ayah Tama jalan lebih dulu. Aku dan Tama berhenti sejenak di samping gerbong saat kami sudah turun dari kereta. Orang-orang masih sibuk berjejalan menuju pintu keluar.

"Ada apa Kak?" tanya Tama karena melihatku berhenti.

Aku menatap gerbong kereta dan lalu lalang orang-orang yang terlihat berdialog dengan dirinya sendiri. Kutarik napas dalam-dalam.

"Ibuku juga sudah tenang di sana, Tam."

Memandang gerbong kereta dan suasana stasiun seperti ini selalu mengingatkanku pada Ibu. Andai bisa kuputar waktu, aku takkan mau ada perpisahan di momen seperti ini, aku takkan melepaskan Ibu pergi jika aku tahu di sana Ibu akan celaka dan tiada. Aku hanya bisa mengumpat keadaan dan memarahi gerbong kereta yang tak pernah berhenti mengingatkanku pada memori menyakitkan itu.

Aku menghela napas, menatap Tama yang juga menatap gerbong kereta. Aku merasakan bebanku berkurang. Aku merasa ada orang yang juga merasakan keadaanku dan tanpa kusadari kami saling berbagi luka untuk kemudian saling menutupnya.

"Maaf, Kak, ternyata kita berada di satu fase kehilangan yang sama."

"Itu sebabnya kita harus saling menguatkan. Hanya kita yang tahu seberapa kuat kita di luar untuk menutupi seberapa lemah kita di baliknya." kataku setengah berbisik sambil merangkulkan tanganku di bahunya yang lebar, lalu kami segera menuju pintu keluar di mana Ayah sudah menunggu dan sedikit kebingungan mencariku.

Aku tidak menyangka akan sedekat ini dengan Tama yang bahkan baru dua kali kami bertemu dan berbincang. Dialog tentang ibu justru merekatkan kami pada perasaan saling menopang satu sama lain dan berbagi cerita dan kesedihan.

Banyak perbincangan ringan namun bermakna di perjalananku kali ini. Termasuk hatiku yang terus berdialog dengan Tuhan. Kukirimkan doa untuk kebahagiaan Ibu di sana. 

Bertemu Tama membuatku sadar bahwa aku tidak sendirian. Bahkan ku yakin banyak anak di dunia ini yang detik ini sedang berjalan dan merangkak di segmen kehidupan tanpa sosok ibu. Fase kehilangan seperti ini bukan akhir dari segalanya, justru terselip banyak hikmah di proses pengikhlasannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun