Mohon tunggu...
Rani Febrina Putri
Rani Febrina Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Fresh Graduate, Bachelor of Food Technology | Fiction Enthusiast |

Penyuka fiksi dalam puisi, cerpen, dan novel. Hobi belajar dari buku-buku yang dibaca, orang-orang yang ditemui, lagu-lagu yang didengar, dan tempat-tempat yang dikunjungi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Dialog di Gerbong Kereta

21 Agustus 2023   11:59 Diperbarui: 31 Agustus 2023   21:05 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesampainya di stasiun, pengumuman keberangkatan kereta kami sudah terdengar. Kami berlari, bahkan Ayah sambil menarik koper besarnya yang berat. Dia akan ikut aku ke Yogyakarta karena ada diklat tiga hari di sana. Tepat kami memasuki gerbong, kereta mulai bergerak. Lalu Ayah segera mengajakku menuju kursi kami. Aku di dekat jendela dan ayah di pinggir.

Saat berhenti di stasiun Kebumen, kulihat sosok yang tidak asing datang dan duduk di kursi yang ada di hadapanku, bersama seorang laki-laki seumuran Ayah. Ternyata, dia mengenaliku lebih dulu.

"Kakak bakpia?"

Aku agak terkejut karena dia memanggilku dengan sebutan itu. Kulirik Ayah yang juga tertegun dengan sapaan itu. Lalu kami saling melempar tawa renyah sambil berjabat tangan. 

Ya, dia Tama, laki-laki yang saat itu sedang menelepon ibunya dan aku tidak sengaja mengupingnya. Aku masih mengenalinya karena penampilannya tidak jauh beda, bahkan dia memakai kaos abu-abu berkerah dengan celana jeans agak longgar, pakaian yang sama ketika kami bertemu pertama kali.

"Maaf, Kak, waktu itu tidak pamitan karena Kakak tertidur, tapi aku membawa bakpianya. Terima kasih banyak, Kak." ujar Tama saat kereta mulai melaju kembali.

"Ah, santai saja. Apakah ibumu menyukainya? Dia pasti segera sembuh setelah mencicipi bakpia itu." balasku sambil tersenyum.

"Iya, ibu menyukainya dan menitipkan salam, juga ucapan terima kasih untuk Kakak."

Aku tersenyum lega. Namun kudapati raut wajah Tama tidak menggambarkan kebahagiaan. Aku seperti tak asing dengan ekspresi seperti itu, ada pilu yang membiru di balik bening matanya.

"Mbak, terima kasih banyak ya atas bakpianya. Ibu senang sekali saat itu." celutuk laki-laki di sebelah Tama, yang kuduga adalah ayahnya. Ternyata dia ikut bersama Tama untuk sekadar menemani perjalanan putranya itu kembali ke tanah perantauan.

Aku mengangguk dan tersenyum lagi. Ayahku dan ayah Tama kembali mengobrol. Aku mendapati tatapan kosong Tama ke jendela.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun