Suatu sore bersama “Dalang Cenk Blong”, dalang kebanggaan masyarakat Bali.
Pernah nonton wayang kulit Bali? Pasti banyak yg mengatakan belum, karena tidak paham bahasanya! Jangankan orang luar Bali, orang asli Bali sendiri juga sudah banyak yang tak paham bahasa pedalangan karena memang bahasa yang di gunakan kebanyakan bahasa jawa kuno. Tapi jika anda menonton Wayang Cenk Blong, walau anda tidak paham bahasa Bali, anda pasti tertawa terpingkal-pingkal dan memahami pesan moral yg disampaikannya tanpa kehilangan benang merah dari struktur cerita yang disampaikan..
Cenk Blong, bukanlah nama sang dalang melainkan tokoh yang diadaptasinya secara bebas dan selalu di tunggu oleh penonton kemunculannya. Nama aslinya “I Wayan Nardayana” Sarjana Filsafat, lulusan ISI Bali ini, bukan hanya piawai menceritakan kisah Ramayana atau epos pewayangan lainnya. Dia berani menerobos sekat-sekat dalam pakem wayang Bali dan menyebut pertunjukannya dengan wayang inovatif.
Kata inovatif yg menjadi “trademark” nya bukan sekedar jargon, tapi memang dia begitu inovatif memadukan teknologi pertunjukan masa kini dengan gaya wayang kulit Bali -- Seolah ada pertemuan dua sisi, dimana masing-masing sisi memiliki kekuatan yang sama. Layarnya menjadi hidup bukan sekedar menampilkan bayang-bayang karakter tokohnya saja, beragam visual yang memperkuat ekpresi, dan efek cahaya seperti petir, asap-asap, laser dan efek suara yang keluar dari mulutnya serasi memadu. Kedua tangannya begitu trampil hingga gerakan wayang yang dihasilkan sangat alamiah dan menunjukkan gerakan yang kocak sampai akrobatik. Sungguh bukan suatu yang mudah mengkombinasikan ketrampilan tangan, imajinasi dan kecepatan dalam satu ruang waktu. Sehingga karakter tokoh dan peristiwa yang dipaparkan menjadi hidup dan nyata seraya menonton film animasi tiga dimensi. Istimewanya lagi, perpindahan suara dari satu karakter kekarakter lainnya tanpa jeda dan memiliki teknik vokal dan pernapasan tingkat tinggi layaknya diva pop internasional. Kita pun jadi sulit membedakan mana suara dalang yang asli dan suara masing-masing tokoh. Imajinasi kita kerap di ombang – ambing antara menertawakan diri sendiri atau ketimpangan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Kadang kita di bawa haru, optimis juga miris melihat fakta yang ada. Namun yang paling sering kita lakukan memegang perut menahan tawa. Dia cermat memadukan unsur humor dengan pesan moral secara berimbang, tanpa berpihak ke kiri dan kanan, penontonlah yang mengambil kesimpulan dan menentunkan sikap dari pesan yang disampaikan. Jadi bukan hal aneh, ribuan penonton selalu membanjiri pertunjukannya yang tak lebih dari 3 jam itu.
Walau bukan orang Bali dan tak paham bahasa Bali, Aku adalah salah satu penggemar beratnya dan banyak mengoleksi VCD-nya. Dan suatu sore aku berkunjung kerumahnya, di Banjar Batan Nyuh, Desa Belayu, kecamatan Marga, Tabanan – Bali. Sebelum bertemu sang dalang, aku disambut istrinya merangkap manajer yang mengatur jadual dan mencatat permintaan mendalang. Dari buku catatannya kulihat, order mendalang sudah ada yang memesan 6 bulan sebelumnya bahkan ada yang untuk satu tahun kedepan. Memang bukan main padatnya jadual sang dalang.Walau terbilang cukup mahal untuk ukuran masyarakat Bali. dan permintaan mendalang tak pernah sepi, paling sedikit 20 kali dalam 1 bulan, namun tak terlihat mobil mewah terparkir di garasinya. Rumahnya pun sederhana sebagaimana kebanyakan rumah masyarakat Bali.
Tak berapa lama sang dalang pun keluar dan langsung menyapa ramah, sama sekali tidak menciptakan jarak. Baru ketemu sekali, rasanya sudah kenal bertahun-tahun padahal dia begitu diidolakan di Bali.Bukan hanya masyarakat tetapi juga para petinggi di Pemda Bali. Setelah bertukar sapa menggunakan bahasa Bali yang sedikit ku kuasai, sontak aku diajaknya ke padepokan atau workshopnya, sekitar 50 meter dari rumahnya. “ Biar lebih enak ngobrolnya, dan bebas tertawa” ajak sang dalang yang tak merokok dan minum alkohol ini,.
Ternyata bicara dengannya sama mengasyikan dengan menonton dia mendalang. Dibawa diskusi kemana saja “konek” dan pandai mensintesa permasalahan, bukan sekedar mengomentari keadaan dan menyelipkan berbagai teori untuk memperkuat pembicaraan agar kita terlihat pintar dan intelek dinilai oleh lawan bicara.Gaya bahasanya pun sangat sederhana namun khas, sehinga solusi yang dijabarkan begitu hidup sangat dekat dengan kehidupan kita dan mendapat kepuasaan dalam pemahaman.
Entah sudah berapa banyak tawa dan masalah yang kita bahas, mulai dari pertanian, politik, keberagaman Agama, RUU Pornografi hingga hakekat hidup dan kehidupan yang keluar dari mulut kita. Tak sadar empat gelas air meneral dan satu bungkus rokok sudah kuhabiskan. Dan yang membuatku terpaku dan kian memuji kedalaman jiwanya, tak kala dia mengatakan. “ Saat ini kita miskin pemimpin dewasa, pemimpin muda dan tua sangat banyak. Kita akan menjadi Indonesia Raya, jika pemimpinnya dewasa!”
Aku menyela. “Lho...! Bukannya mereka sudah dewasa? “
“ yang terlihat oleh mata kita, namun belum sepenuhnya dalam prilaku dan tindak-tanduknya. Dewasa terdiri dari dua kata, Dewa dan Sa. Dalam kepercayaan Bali, Dewa itu Tuhan dan Sa itu cahaya, orang yang sudah dewasa adalah orang yang hidup dan keinginan hidupnya semata-mata untuk menjadi hambanya. Kita semua berasal dari cahaya dan Tuhan adalah sumber dari semua cahaya yang ada. ”
“ Tapi kita kan manusia... punya nafsu.... punya emosi dan pertama kali manusia turun ke dunia karena lalai akan nafsunya?”
“ Benar! Tapi Tuhan memberi pilihan kita. Jika kamu ingin kembali ketempatmu semula, jadilah Cahayaku, tapi jika kamu mengutamakan nafsumu, bergambunglah dengan mahlukku yang kuciptakan dari Api. Nafsu serakah, nafsu marah adalah ekspresi hidup tapi manusia serakah dan pemarah tidak mensyukuri hidup. Orang dewasa adalah yang senantiasa memberi pencerahan dan manfaat untuk kemaslahatan bukan untuk kepentingannya semata. Dan pemimpin dewasa, dia memiliki kekuatan untuk menyatukan keberagaman menjadi tujuan bersama, seperti kita melihat cahaya purnama dari barat, timur, utara atau selatan. Bulan cuma satu dan kita bisa melihanya dari mana saja dan kita tidak pernah meributkanya dari barat atau utaralah yangg paling indah melihatnya, karena yang kita tuju bukanlah cara melihatnya tapi keindahan bulan itu yang berada di puncak cakrawala. Tuhan juga cuma satu, tapi mengapa kerap meributkan cara kita menuju Tuhan dan kita menyatakan cara kitalah yang paling tepat dan paling benar menuju Tuhan. Api juga punya cahaya, berapi-api akan membakar apa saja, pemimpin dewasa sangat tahu membedakan mana api dan mana cahaya walau keduanya berasal dari sumber yang sama!“
Aku terdiam, dalang Cenk Blong atau I wayan Nardayana pun terpaku. Kubuka lagi bungkus rokok kedua dan menghisapnya.Kami terdiam dalam lamunan entah apa yang terpikir olehnya saat itu. Setelah itu aku pamit dan menjabat erat tangannya dan mengatakan kita akan bertemu lagi di desa Pancasari, Sukasada- Buleleng.
Sudah dewasakah aku dan benarkah Indonesia, negeriku, tumpah darahku minim pemimpin dewasa? Kalimatnya sederhana, tapi buatku menjadi begitu penting. Pemimpin Dewasa tahu membedakan mana api dan mana Cahaya Illahi. Kita semua adalah pemimpin, pemimpin tujuan hidup kita, pemimpin untuk menetapkan pilihan kita. Siapakah contoh pemimpin dewasa selain para Rasul dan Nabi? Raden Sutasoma dan panah saktinyakah? Dimana kesaktian panahnya melebihi kesaktian panah Arjuna, dan panahnya mampu merubah karakter sesorang dengan cepat menemukan hakekat kemanusiaannya dan bergabung dengannya menjadi inti kekuatannya. Panah Sutasoma adalah visi, tujuan dan hakekat hidup itu sendiri, hingga orang merasa nyaman dan menemukan jawab dalam pencarian jati dirinya, karena panahnya berujud kejujuran dan cinta. -- yang dianalogikan dengan simbol Gajah dan Naga. Gajah lambang kebijaksanaan dan Naga keberanian. Kebijaksanaan tanpa cinta hanya akan mementing diri sendiri sedang keberanian tanpa cinta hanya akan merusak.
Benakku terus berfikir mencari jawab... Amerika punya Obama yang dipuja bukan hanya oleh negerinya, Australia punya Kevin Ruud yang berani dan jujur meminta maaf pada rakyatnya pada bangsa Aborigin. Siapakah tokoh di Negeriku....?
“Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya.... !Tiba-tiba mengalun potongan lagu Indonesia Raya di benakku lagu yang kerap membuatku meneteskan airmata setiap menyanyikannya...Aku terhentak...Ya!Sudahkah aku membangun Jiwa Indonesia dalam diriku, badanku memang nyata di Bumi Pertiwi tapi apakah jiwaku juga ada? Hingga Indonesia Raya bukan hanya kata dan alunan nada melainkan ujud nyata Pertiwi Bunda, pemimpin dewasa pasti memahaminya. (Rani Badrie/08)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H