Mohon tunggu...
Mirna Aulia
Mirna Aulia Mohon Tunggu... profesional -

Hanya seorang musafir. Generasi anak SD era 80-an. BUKAN pengguna Facebook. BUKAN pengguna Twitter. BUKAN pengguna Linkedin. BUKAN pengguna Path. BUKAN pengguna Instagram. Hanya memiliki empat akun Sosmed: kompasiana.com/raniazahra, mirnaaulia.com, Indonesiana (Mirna Aulia), dan CNN iReport (Mirna Aulia) . Banyak orang memiliki nama yang sama dengan nama musafir (baik di media-media sosial maupun di search engine). Sehingga, selain keempat akun di atas, kalau pembaca menjumpai nama-nama yang sama, itu BUKAN AKUN musafir. Untuk hasil pencarian melalui search engine: musafir BUKAN berlatar belakang dan TIDAK berkecimpung di bidang Kedokteran Gigi, Farmasi, Psikologi, Biologi, MIPA, Kepartaian, Kehutanan, Lembaga-lembaga Kehutanan, maupun Pertanian. Selamat membaca dan semoga artikel yang musafir tulis dapat bermanfaat bagi para pembaca semua. Terima kasih.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kampanye dengan Penghinaan dan Perendahan terhadap Kemuliaan Guru (Pahlawan Tanpa Tanda Jasa)

28 Juni 2014   01:25 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:31 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Baru-baru ini media cetak, elektronik, dan internet ramai memberitakan bahwa salah satu pihak calon presiden (untuk menghindari kesalahpahaman dan pemelintiran oleh pihak-pihak tertentu maka penulis harus menyebutkan siapa sang calon yang diberitakan, paling tidak nomornya saja, yaitu calon presiden Nomor urut 1(satu)) telah membagikan surat edaran dalam amplop bergambar sang calon presiden kepada para guru di beberapa daerah. Surat edaran tersebut dikirim ke instansi sekolah lengkap dengan menyebutkan nama setiap guru yang bertugas di sekolah yang dituju. Dalam surat tersebut sang calon presiden memaparkan visi dan misinya terkait bidang pendidikan dan meminta dukungan para guru untuk memilihnya. Tak lupa di dalam amplop tersebut juga diselipkan uang dengan jumlah antara Rp. 5.000 (lima ribu rupiah) sampai Rp. 50.000 (lima puluh ribu rupiah).

Penulis tidak akan membahas bagaimana pribadi sang calon presiden tersebut, karena hal tersebut bersifat subyektif dan relatif. Penulis hanya akan membahas mengenai perbuatan bagi-bagi amplop surat edaran berisi uang seperti yang ramai diberitakan. Esensi dari tulisan ini juga tidak membahas masalah isi surat edaran tersebut. Sebab menurut sudut pandang penulis, sah-sah saja para pihak yang sedang berkampanye untuk mensosialisasikan visi dan misinya kemudian meminta dukungan kepada rakyat. Karena pada akhirnya tetap rakyat pemilih itu sendiri yang memutuskan apakah akan memilih sang calon atau tidak.

Esensi dari tulisan ini adalah pada lampiran alias selipan dalam amplop surat edaran tersebut, yaitu uang. Dalam aturan berkampanye yang sehat dan benar, jelas hal seperti itu merupakan politik uang secara terang-terangan (baca: memberi uang sogokan agar dipilih) yang jelas-jelas melanggar aturan kampanye.

Hal yang membuat miris adalah secara tidak disadari oleh para tim pelaku bagi-bagi surat edaran berisi uang tersebut, alam bawah sadar mereka berarti  sangat merendahkan luhurnya profesi guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Bagaimana orang-orang itu menganggap guru itu begitu miskin dan kekurangannya, sehingga demi uang senilai  5.000 rupiah atau 50.000 rupiah itu diharapkan para guru bersedia mengikuti himbauan orang-orang itu untuk memilih sang calon yang diusungnya. Analoginya, seandainya yang diberi surat edaran terlampiri uang tersebut adalah para pengusaha atau para pejabat, berapakah nominal uang yang akan orang-orang itu lampirkan? 5.000, 50.000, atau 100.000? Tentunya, bila demikian, maka para pengusaha atau para pejabat tersebut akan merasa sangat direndahkan, tidak dihormati, tidak di-orangkan, dianggap bodoh, dan hanya diperlakukan sebagai obyek penghasil suara saja. Tentu saja orang-orang itu tidak akan berani bersikap demikian kepada para pengusaha dan pejabat karena menganggap mereka tidak gampang dibodohi, tidak mudah dimanipulasi, cerdik, mempunyai kekuatan, dan harus mereka hormati. Artinya apa, orang-orang itu menganggap para guru itu mudah dimanipulasi, lemah, dan bisa diakali. Sungguh memprihatinkan. Masih berkampanye saja mereka sudah berani merendahkan para pahlawan tanpa tanda jasa.

Dan seandainya pun orang-orang itu melampirkan uang dalam jumlah fantastis, artinya mereka juga merendahkan keluhuran profesi guru. Orang-orang itu secara tidak disadari berasumsi bahwa mental para guru itu sama dengan mereka, yaitu menjadi hamba uang yang bersedia mengabaikan hati nuraninya untuk memilih seorang calon yang sudah jelas-jelas sangat merendahkan dan menganggap buruk para guru, yaitu dianggap akan mau-mau saja mengubah pilihan demi uang. Intinya di sini adalah politik uang seperti itu akan mencederai perasaan para pahlawan tanpa jasa yang masih memiliki integritas dan hati nurani yang baik.

Padahal, kalau orang-orang itu bersedia merenung, mereka itu bisa memiliki otak dan pikiran yang cerdas karena ada bangku sekolah yang memberikan ilmu kepada mereka. Dari tidak tahu apa-apa, kemudian tahu a-b-c-d-e dst., kemudian bisa membaca dan menulis, sehingga akhirnya mampu menyerap banyak ilmu dan pengetahuan karena bisa membaca dan menulis adalah berkat jasa guru, seorang pahlawan tanpa jasa. Sayang, kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki belum mampu untuk mempertajam perasaan dan hati nuraninya agar menghormati dan menghargai para guru yang telah mencerdaskan mereka. Mereka justru menumpulkan kepekaan hati nurani dan empatinya karena silau akan bayangan terhadap hal-hal yang belum pasti akan mereka peroleh di depan sana. Ibarat air susu dibalas dengan air tuba, begitulah realitanya. Semoga orang-orang yang berbuat demikian segera menyadari bahwa yang mereka perbuat itu bukan hanya melibatkan masalah nominal uang semata, melainkan melibatkan sesuatu yang sangat memprihatinkan, yaitu menyakiti perasaan para pahlawan tanpa tanda jasa, dengan merendahkan dan menganggap mental para guru bisa dibeli dengan uang senilai itu. Pada akhirnya, hal tersebut bisa menjadi bumerang bagi sang calon yang diusungnya. Ingatlah kata pepatah, apa yang kau lakukan itu seperti bumerang, akan kembali kepada dirimu sendiri. Apa yang kau tanam itulah yang akan kau tuai. Semoga bisa menjadi bahan cerminan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun