Mohon tunggu...
raniafayyaza
raniafayyaza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa S1 Universitas Airlangga

Mahasiswa Ekonomi Dan Bisnis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cantik di Mata Masyarakat: Beban yang Tidak Adil Bagi Wanita

28 Desember 2024   19:42 Diperbarui: 28 Desember 2024   19:42 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

"Kamu cantik, tapi sayangnya gendut", "pasti lebih cakep kalau hidungnya mancung", "coba pake skincare biar putih". Kata-kata menusuk yang tidak asing didengar oleh wanita di berbagai fase kehidupan. Masyarakat berekspektasi wanita untuk menjadi sosok yang "sempurna". Sering kali "value" atau nilai seorang wanita hanya di lihat dari penampilan luarnya sedangkan nilai-nilai lain terlupakan, hal tersebut terjadi disebabkan pandangan masyarakat yang "toxic" terhadap "the beauty standard" atau standar kecantikan yang berdampak negatif kepada kesehatan mental wanita.

Standar kecantikan yang telah di dorong kepada wanita merupakan salah satu konstruksi masyarakat yang sangat menyakiti dan merusak mental wanita. Di seluruh dunia terdapat ekspektasi yang sangat besar terhadap wanita untuk menyesuaikan diri dengan standar kecantikan, meskipun seringkali standar tersebut mustahil untuk dicapai oleh wanita pada umumnya. Contohnya adalah pada satu tempat wanita diekspektasikan untuk memiliki badan yang kurus dan ramping dan di tempat lain diekspektasikan memiliki tubuh yang "sexy". Misalnya di suatu era, bibir yang tipis dipuji tetapi di era lain wanita diekspektasikan memiliki bibir yang penuh. Perubahan yang terus-menerus ini membuat wanita merasa seolah-olah mereka harus terus-menerus menyesuaikan penampilan mereka agar tetap dapat diterima dan dihargai oleh masyarakat.

"Double standard" adalah ekspektasi berbeda yang diberikan oleh masyarakat terdapat wanita dan pria. Pria dinilai oleh masyarakat  dari segi karir dan persona mereka sedangkan wanita lebih dinilai dari penampilannya, dimana karir dan persona seorang wanita kurang dihargai. Dari segi pandang seorang wanita, masyarakat memperbolehkan pria untuk bertambah umur secara natural, bertambah berat badan, dan memprioritaskan aspek kehidupan yang lain tanpa masyarakat mengurangi nilai mereka. Sedangkan wanita di ekspektasikan untuk terus berpenampilan muda dan menarik meskipun sudah bertambah umur dan bahkan ketika sudah mempunyai riwayat melahirkan, supaya mereka tetap dihargai oleh masyarakat. Selain itu dalam berumah tangga, wanita dibebani untuk selalu berpenampilan muda dan menarik walaupun mempunyai pekerjaan yang banyak seperti mengurus rumah, anak, kerja dan sebagainya. Jika wanita tidak rajin merawat diri walau terkadang kondisi tidak selalu mendukung maka oleh masyarakat dianggap sebagai alasan seorang suami mencari wanita lain. Kesibukan dan keterbatasan seseorang dalam merawat diri tidak boleh dijadikan pembenaran atas perselingkuhan dan tidak menghargai seorang istri. Hal tersebut membuat seolah-olah nilai seorang wanita hanyalah tentang penampilanya dan bukan yang lain, seolah-olah suami hanya menyayangi istrinya jika ia cantik dan bukan karena hal lain.  Pandangan ini sangat salah dan harus diperbaiki.

Wanita merasa tindakan seperti operasi plastik dan perawatan yang lain dibutuhkan supaya lebih dihargai oleh masyarakat. Operasi plastik dan perawatan kecantikan lain tidak ada salahnya untuk dilakukan jika hal tersebut bisa membuat seseorang bahagia dan terasa lebih percaya diri, tetapi masih banyak orang merasa mereka harus melakukan hal tersebut bukan untuk dirinya sendiri tetapi untuk orang lain supaya mereka tetap dihargai. Tidak ada salahnya jika ada seorang wanita ingin menjadi lebih baik, lebih cantik, tetapi hal tersebut seharusnya dilakukan untuk diri sendiri untuk membuat diri sendiri bahagia bukan untuk didedikasikan kepada orang lain. 

"Beauty standard" yang diterapkan masyarakat terhadap wanita adalah konstruksi sosial yang toxic dan sangat merusak kesehatan mental serta rasa percaya diri mereka. Standar ini membebankan wanita dengan ekspektasi yang mustahil, terus-menerus berubah, dan tidak adil, membuat mereka merasa bahwa nilai mereka hanya diukur dari penampilan luar. Penting bagi kita sebagai masyarakat untuk memperbaiki pandangan ini. Kita harus mulai menghargai wanita bukan dari penampilannya semata, melainkan dari kualitas diri, kepribadian, dan kontribusinya kepada masyarakat. Wanita berhak untuk merasa cukup dan dihargai tanpa harus mematuhi standar kecantikan yang tidak realistis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun