Tidak semua korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan atau pemulihan dari berbagai dampak kekerasan seksual. Banyak kendala berkelindan, mulai dari peraturan perundang-undangan, cara kerja dan cara pandang aparat penegak hukum, tidak terintegrasinya sistem peradilan pidana dengan sistem pemulihan, hingga budaya menyalahkan korban.Â
Banyak korban kekerasan seksual tidak mau melaporkannya karena adanya ancaman dari pelaku dan budaya menyalahkan korban. Sikap menyalahkan korban menganggap bahwa kekerasan seksual tidak terjadi sepenuhnya karena kesalahan pelaku. Negara ini memerlukan optimalisasi pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
KUHP saat ini hanya mengatur perkosaan dan pencabulan, sedangkan Komnas Perempuan membagi kekerasan seksual menjadi 15 kategori [1]. KUHP dan peraturan yang ada saat ini hanya mencakup kekerasan fisik dan seksual, meskipun pelecehan seksual sekarang juga dilakukan secara non-fisik.Â
Dalam hal ini terlihat adanya kekosongan hukum terhadap kekerasan seksual yang terjadi dan adanya budaya patriarki yang mengakar, sehingga banyak kasus tidak dapat dicegah, ditangani, bahkan terus berkembang. Jelas bahwa keberadaan perangkat hukum berupa peraturan yang dapat memberikan payung bagi kekerasan seksual itu sendiri sangat penting.
Sebagai respon progresif, pemerintah telah mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) pada Selasa (12/04/2022) di Sidang Paripurna DPR RI menjadi Undang-Undang (UU). UU ini memang harus hadir untuk menjawab pertanyaan kekerasan seksual yang belum terjawab oleh KUHP yang cakupannya sangat sempit. Kelemahan hukum terlihat dengan tidak tercakupnya perspektif yang memandang bahwa adanya relasi kuasa antara pelaku dan korban.Â
Kasus Baiq Nuril menjadi contoh jelas akibat kosongnya definisi hukum sebelum UU TPKS hadir. Pelecehan seksual baik fisik maupun verbal tidak dikenali dengan jelas pemisahannya sebelumnya, sehingga menyulitkan korban untuk melaporkan kasusnya, dan sangat rentan terhadap kriminalisasi.
Pengesahan UU ini merupakan hal yang mendesak agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan perlindungan kekerasan seksual. UU TPKS saat ini mengatur sembilan bentuk baru kekerasan seksual dalam hal jumlah aparat penegak hukum [2].Â
Akibatnya, akan ada peningkatan signifikan dalam jumlah aparat penegak hukum dan pendukung yang menangani berbagai kasus. Institusi seperti Kepolisian juga tidak dapat dihindari dalam menyelesaikan kasus-kasus non hukum yang bersifat Restorative Justice. Meski terdengar meyakinkan, Kementerian PPPA harus mengembangkan standar yang jelas tentang kasus-kasus yang dapat diselesaikan melalui Restorative Justice, dengan tetap berpihak pada korban.
Di Indonesia, korban dan pelaku belum mendapatkan keadilan yang memadai. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, hukum nasional sudah lama vakum terhadap aturan yang komprehensif di ruang lingkup tindak pidana kekerasan seksual, termasuk pencegahan, pengobatan, perlindungan, dan pemulihan korban.Â
Korban kekerasan seksual, di sisi lain, membutuhkan perlindungan. Definisi kekerasan seksual UU TPKS yang lebih luas diharapkan dapat menjangkau pelaku yang sebelumnya lolos dari jeratan hukum hanya karena perbuatannya tidak memenuhi unsur legalitas sebagai tindak pidana. Perluasan kategori kekerasan seksual kekerasan diharapkan dapat mengatur secara lebih komprehensif dan menjangkau segala bentuk kekerasan seksual yang terjadi guna mencapai keadilan.
Penyempurnaan pelaksanaan UU TPKS setelah disahkan ini diharapkan dapat terus dikawal, sehingga tidak akan ada lagi kecacatan. Dalam ketentuan umum UU TPKS, telah diatur secara khusus ketentuan tentang hak atas pengobatan, hak atas perlindungan dan pemulihan, hingga hak atas memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan sosial untuk melanjutkan hidupnya sebagai hak korban.Â