Unyu, yah itulah namanya, nama panggilan yang kuberikan untuk kelinci kesayanganku yang telah pergi meninggalkanku.
Empat tahun yang lalu, disaat ramai-ramainya para lelaki bermain atau menerbangkan merpati, kalau di daerahku namanya itu "gabur doro". Banyak sekali merpati yang singgah di rumahku, mungkin ada sekitar lima puluh ekor. Bisa dikatakan adikku melakukan jual beli merpati.Â
Kala itu, ada yang datang ke rumah, anak kecil bersama orangtua nya (ayahnya). Si anak sangat ingin memiliki merpati. Namun, mungkin tak ada uang untuk membeli. Dikarenakan mereka memiliki kelinci yang lumayan banyak, maka ditukarlah satu pasang kelinci dengan satu pasang merpati. Sejak saat itu, kami mulai memelihara kelinci.
Kelinci ini sebenarnya adalah milik adikku. Namun, ia tak mau merawatnya. Sehingga aku yang harus merawatnya.
Setiap pagi dan sore aku mencari rumput, terkadang sampai ditertawakan orang. Jelas mereka tertawa, aku membawa sebuah sabit dengan sebuah ember. Â Bisa bayangin kan, nyari rumput tapi wadahnya pakai ember.
Walau nyamuk meminta paksa diriku untuk mendonorkan darah kepadanya, berkali-kali sabit melukai tangan ini mungkin karena kesalahanku sendiri yang tidak berhati-hati, kerap kali darah mengucur, rasa gatal yang teramat menyengat. Â Namun, aku tetap semangat demi kelinci tersebut.
Suatu ketika, kira-kira satu bulan lamanya setelah kelinci tiba di rumah. Tiba-tiba ia melahirkan empat ekor anak kelinci berwarna merah sebab bulu belum menumbuhi badannya. Rupanya seperti anak tikus yang baru lahir. Sungguh menggelikan.
Kemudian bulu mulai tumbuh, dan nampak begitu unyu hingga pandangan netraku enggan terlepas darinya. Sejak saat itu, ia kuberi nama unyu, semuanya bernama unyu.
Aku semakin bersemangat mencari makanan untuk si unyu. Jikalau lelah, aku membeli makanan dari warung, Â seikat bayam atau kangkung pun terkadang wortel jika memiliki uang sisa.
Mereka sangat kusayangi hingga suatu hari, di desa kami mengalami kekeringan, rumput-rumput sulit ditemukan. Aku mulai kebingungan mencari makanan. Â Ku beri seikat daun ubi, lalu kangkung berkali-kali.Â