Mungkin sebagian besar dari kita merasakan kalau banyak tuntutan hidup yang mesti harus dipenuhi, apalagi di zaman sekarang. Harus memenuhi berbagai standart sosial di masyarakat seperti mempunyai pencapaian karir yang hebat, pendidikan tinggi dan materi yang melimpah.
Lulus kuliah harus tepat waktu dan bisa langsung dapat kerja. Kerjanya harus di perusahaan besar dengan gaji dua digit. Setelah itu menikah, punya rumah dan mobil. Kalau bisa memiliki investasi supaya ada passive income buat pensiun besok.
Belum lagi melihat teman-teman yang sudah sukses atau sosok publik figur yang berhasil mencapai semua dengan sangat sempurna. Kita jadi mulai overthinking, susah untuk merasa bahagia dan menikmati hidup.Â
Jadi, bagaimana caranya untuk mencapai kebahagiaan meskipun kita menjalani ordinary life atau hidup yang biasa-biasa saja?
Penyebab Tidak Bisa Bahagia Menurut Alain de BottonÂ
Alain de Botton, seorang filsuf dan penulis kontemporer asal Inggris sekaligus pendiri The School of Life. Sebuah organisasi yang berfokus pada panduan tentang cara bagaimana menjalani kehidupan yang lebih bermakna.
Buku-buku karyanya sering membahas tema-tema kontemporer seperti cinta, pekerjaan, kebahagiaan, seni, perjalanan hidup dan menjadi best seller. Misalnya Essays in Love, The Consolations of Philosophy, The Art of Travel, dan Status Anxiety.
Ia mengungkapkan bahwa seseorang seringkali menghadapi berbagai tekanan dan masalah yang menyebabkan krisis dalam kehidupan mereka dan tidak bisa menjalani hidup seutuhnya. Merasa tertekan karena tuntutan karir yang tinggi demi memenuhi ekspektasi orang lain. Akibatnya pikiran tidak tenang dan khawatir tentang bagaimana mereka terlihat di mata orang lain.
Tekanan dari masyarakat kadang cenderung menghakimi dan cepat menilai. Pertanyaan seperti "kerja di mana?" atau "kerja sebagai apa?" bisa menjadi beban karena merasa pekerjaannya tidak sesuai dengan ekspektasi sosial. Ketika jawabannya dianggap tidak bergengsi seseorang bisa dikritik atau dianggap tidak sukses, meskipun mereka telah berjuang keras.
Apalagi kita hidup di era yang sering menilai kebahagiaan dari segi materi, sehingga banyak orang merasa harus memiliki kekayaan untuk diakui. Akhirnya tercipta standart kolektif di masyarakat bahwa kekayaan adalah kunci untuk mendapatkan atensi dan penerimaan.