Mohon tunggu...
Rania Wahyono
Rania Wahyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

Mencari guru sejati

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Terlalu Banyak Makan Fake Food?Ini Alasan Mengapa Real Food Harus Jadi Pilihan

4 Oktober 2024   10:03 Diperbarui: 4 Oktober 2024   10:39 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Istilah real food dan fake food mungkin baru dikenal beberapa waktu belakangan ini karena industrialisasi makanan yang berkembang pesat. Dimana di jaman orangtua kita dulu, tiga puluh sampai empat puluh  tahun yang lalu tidak ada istilah tersebut karena belum banyak makanan-makanan olahan seperti sekarang. 

Tetapi apa sebenarnya perbedaan antara keduanya, dan mengapa penting bagi kita untuk lebih memahami makanan yang kita konsumsi setiap hari? Mari kita kupas tuntas makna dari kedua istilah ini serta alasan mengapa real food lebih baik untuk kesehatan dan kualitas hidup kita.

Apa itu Real Food dan Fake Food?

Real food adalah makanan natural alami dengan sedikit pemrosesan atau tidak diproses sama sekali. Jadi bentuk aslinya dengan bentuk yang akan kita makan hampir sama dan tidak banyak berubah. Jika kita mengkonsumsi berlebihpun tidak akan ada masalah.

Proses memasaknya juga tidak terlalu lama dan tidak ada penambahan zat adiktif seperti pewarna, perasa buatan dan bahan pengawet kimia. Contohnya buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan dan biji-bijian utuh. Lalu daging, ayam, ikan, telur dan produk susu tanpa pengawet yang tidak diproses berlebihan

Untuk sayuran kalau mau dimasak paling hanya direbus, dikukus atau ditumis. Karbohidrat dan proteinnya pun sama prosesnya bisa direbus, dikukus, dipanggang atau dibakar dengan meminimalisir bumbu yang ditambahkan.

Sedangkan fake food, mengacu pada makanan olahan atau rekayasa industri makanan yang sudah kehilangan sebagian besar nutrisi aslinya akibat proses kimia dan penambahan bahan buatan.

Fake food seringkali mengandung pengawet, pewarna, perasa, pemanis buatan, dan bahan kimia lainnya yang bertujuan untuk memperpanjang umur simpan atau meningkatkan rasa. Oleh karena itu fake food lebih rendah nilai gizinya dan bisa berdampak negatif pada kesehatan jika dikonsumsi secara berlebihan.

Misalnya makanan cepat saji, snack kemasan seperti keripik atau biskuit yang penuh dengan bahan pengawet. Minuman soda atau jus kemasan yang tinggi gula tambahan serta makanan instan yang tinggi garam dan MSG.

Sering Dianggap Real Food tapi Sebenarnya Fake Food

Beberapa jenis makanan sering kali dianggap sebagai real food, padahal sebenarnya tidak sepenuhnya memenuhi kriteria real food. Hal ini biasanya terjadi karena teknik pemasaran atau misinformasi yang membuat makanan tersebut terlihat sehat atau alami, padahal sudah mengalami pemrosesan tambahan yang mengurangi kualitas nutrisinya. Beberapa diantaranya  sebagai berikut,

1. Yogurt Aneka Rasa

Yogurt dikenal sebagai sumber probiotik dan protein yang baik. Namun, yogurt yang diberi rasa seperti vanilla atau buah biasanya mengandung banyak gula tambahan, perasa buatan, dan pewarna. Pilihlah yogurt plain asli tanpa tambahan pemanis. Tambahkan buah segar untuk rasa manis alami.

2. Granola Kemasan

Granola sering kali dipromosikan sebagai pilihan sarapan sehat karena terbuat dari oat dan kacang-kacangan. Namun, granola kemasan sering kali ditambahkan gula, pemanis buatan, minyak olahan, dan pengawet. Ini menjadikan granola lebih mirip makanan olahan yang tinggi kalori, lemak, dan gula, yang tidak sesuai dengan prinsip real food. Buat granola sendiri dari bahan-bahan alami seperti oat, kacang, dan buah kering tanpa tambahan gula atau minyak.

3. Keripik Sayur atau Buah

Keripik sayur atau buah terdengar sehat, tetapi prosesnya digoreng lalu ditambahkan garam, dan diolah sehingga kandungan nutrisi asli sayur atau buah tersebut berkurang drastis. Proses penggorengan juga meningkatkan jumlah lemak tidak sehat dalam makanan ini. Lebih baik konsumsi sayur atau buah segar, atau buat sendiri keripik buah sayur dengan metode pengeringan atau dipanggang.

4. Jus Buah Kemasan

Jus buah kemasan sering dianggap sebagai alternatif sehat untuk minuman ringan. Namun, jus ini mengandung gula tambahan, pengawet dan telah diproses sedemikian rupa sehingga banyak nutrisi dan serat alaminya hilang. Jus buah kemasan biasanya memiliki kadar gula yang hampir sama dengan minuman manis lainnya. Sebaiknya konsumsi buah segar utuh untuk mendapatkan serat dan nutrisi penuh, atau buat jus segar sendiri tanpa gula tambahan.

5. Sereal dengan Varian Rasa

Sereal yang biasa untuk sarapan sering kali diberi label sebagai pilihan sehat karena kaya serat atau diperkaya vitamin. Namun, banyak jenis sereal yang mengandung gula tambahan, perasa buatan, dan bahan pengawet, menjadikannya lebih mirip makanan olahan daripada makanan alami. Pilih sereal utuh seperti oatmeal tanpa tambahan pemanis atau perasa, dan tambahkan sendiri bahan alami seperti buah atau kacang.

6. Daging dan Ayam Olahan

Daging dan ayam olahan seperti kornet, nugget ayam, smoked beef, pepperoni dan sosis biasanya mengandung banyak garam, pengawet dan bahan kimia lainnya. Meskipun berasal dari ayam atau daging yang kaya protein, pemrosesan ini menjadikan daging dan ayam olahan jenis makanan yang lebih berisiko untuk kesehatan jika dikonsumsi dalam jumlah banyak. Pilih ayam atau daging tanpa pengawet atau  yang belum diproses.

Alasan Lebih Memilih Real Food Dibandingkan Fake Food

Real food mengandung lebih banyak nutrisi alami yang dibutuhkan tubuh, seperti vitamin, mineral, antioksidan, serat, dan lemak sehat. Karena tidak melalui proses pengolahan yang rumit dan lama sehingga mempertahankan kesegaran serta kualitas nutrisinya.

Kita ambil contoh masakan Jepang, rata-rata tidak melalui proses masak yang lama atau dimakan mentah. Sushi, sashimi yang dimakan mentah dan olahan hidangan lautnya yang lebih sering direbus atau setengah matang. Tidak diberi banyak bumbu dan perasa, lebih mempertahankan rasa asli dan tinggal diberi soy saus terpisah jika dirasa kurang rasa.

Itulah mengapa orang Jepang jarang yang obesitas dan berumur panjang. Makanan jadul Indonesia banyak yang real food contohnya lalapan, pecel, gudangan atau karedok yang bahan sayurannya masih mentah.

Sedangkan fake food sudah pasti mengandung bahan kimia seperti pengawet, pewarna, perasa buatan, gula dan garam tinggi. Fake food sering kali dikaitkan dengan gangguan kesehatan seperti alergi, gangguan hormon, hingga risiko berbagai penyakit kronis seperti diabetes, jantung, obesitas hingga kanker.

Mengonsumsi real food mengandung serat yang tinggi seperti sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian sehingga mendukung sistem pencernaan yang sehat yang memberikan rasa kenyang lebih lama. Hal ini dapat mencegah makan berlebihan, mencegah obesitas dan cocok sebagai menu diet.

Fake food sering kali penuh dengan kalori kosong atau kalori yang tidak memberikan nutrisi penting bagi tubuh. Banyak fake food dirancang untuk membuat kita ketagihan. Kombinasi gula, garam, dan lemak dalam makanan olahan dapat merangsang otak untuk terus menginginkannya, bahkan saat tubuh sebenarnya tidak membutuhkannya.

*****

Memilih antara real food dan fake food bukan hanya soal gaya hidup, tetapi tentang kesehatan dan kualitas hidup jangka panjang. Real food memberikan manfaat yang jauh lebih besar untuk kesehatan. Sementara fake food mungkin terlihat praktis dan enak, tetapi konsekuensi jangka panjangnya bisa merugikan kesehatan kita.

Dengan beralih ke makanan yang alami dan lebih sedikit olahan, kita dapat mendapatkan manfaat nyata berupa tubuh yang lebih sehat, energi yang lebih baik, dan risiko penyakit yang lebih rendah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun