Dalam budaya Indonesia, keluarga memiliki peran penting dalam merawat anggota keluarga yang lanjut usia. Kebiasaan ini berakar dari nilai-nilai kekeluargaan yang kuat, di mana anak-anak diharapkan untuk menjaga orang tua saat mereka menua.
Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan sosial, panti jompo mulai muncul sebagai alternatif untuk merawat orangtua yang telah lanjut usia. Namun sayangnya panti jompo masih memiliki stigma negatif di mata masyarakat Indonesia hingga saat ini. Kultur budaya di Indonesia masih menganggap anak yang menitipkan orangtuanya ke panti jompo adalah anak durhaka.
Panti jompo dianggap sebagai bentuk pengabaian dan kurangnya rasa tanggungjawab keluarga. Atau bahasa kasarnya, tempat orangtua yang sudah menua dibuang oleh anaknya. Hal Ini lantas memicu perdebatan, pro dan kontra. Apakah benar panti jompo bukan bagian dari budaya kita?
Pergeseran Nilai dan Realitas Sosial
Meskipun tradisi kekeluargaan kuat, realitas sosial saat ini memaksa kita untuk mengevaluasi kembali bagaimana cara yang terbaik untuk merawat lansia. Di era modern yang dinamis, perubahan gaya hidup, urbanisasi, dan dinamika kerja mengakibatkan tantangan baru dalam menjalankan nilai-nilai tersebut.Â
Banyak suami istri yang keduanya harus bekerja mencari nafkah, memiliki keterbatasan waktu, ada tanggung jawab lain yang harus dilakukan seperti harus merawat anak-anak sehingga tidak memungkinkan mereka untuk memberikan perawatan sepenuhnya kepada orangtua.Â
Merawat lansia bisa menjadi tugas yang sangat menantang dan melelahkan, baik secara fisik maupun emosional apalagi bila mengidap penyakit stroke atau demensia yang butuh perawatan khusus. Keluarga yang merawat lansia di rumah mungkin mengalami stres, kelelahan setelah bekerja seharian dan bahkan masalah kesehatan mental akibat tanggung jawab yang berat.
Tidak semua keluarga memiliki pengetahuan atau sumber daya untuk memberikan perawatan medis yang memadai. Dalam kasus ini, panti jompo dengan fasilitas dan staf medis terlatih dapat menjadi solusi yang lebih baik dibanding perawatan di rumah tanpa dukungan yang memadai
Seperti Nabila teman saya menitipkan ayahnya yang kena stroke di panti, dikarenakan ibunya sudah meninggal dan dia adalah single parents yang juga harus bekerja sekaligus mengurus kedua anaknya yang masih kecil.Â
Lain halnya dengan Agus yang merupakan anak tunggal, pekerjaannya di pengeboran lepas pantai tiga bulan baru bisa pulang ke daratan, ibunya sendiri yang meminta untuk dititipkan di panti jompo agar ada yang merawat dan menjaganya.