Mohon tunggu...
Rania Wahyono
Rania Wahyono Mohon Tunggu... Wiraswasta - Freelancer

Mencari guru sejati

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kemenkes Akan Menangani Calon Dokter Spesialis yang Mengalami Depresi

20 April 2024   16:53 Diperbarui: 21 April 2024   12:28 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokter yang mengalami depresi. Foto: pexels.com/Cedric Fauntleroy

Data mengejutkan baru-baru ini diungkap oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Hasil skrining kesehatan jiwa calon dokter spesialis pada Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) oleh Kementerian Kesehatan RI pada Maret 2024, menunjukkan bahwa 2.716 calon dokter spesialis mengalami gejala depresi dan mirisnya 3,3 persen atau 399 mahasiswa diantaranya, mengaku merasa lebih baik mengakhiri hidup atau ingin melukai diri sendiri.

Sumber Foto :Kemenkes
Sumber Foto :Kemenkes

Skrining yang baru pertama kali diadakan oleh Kementerian Kesehatan RI dilakukan kepada total 12.121 calon dokter spesialis yang dilakukan di 28 rumah sakit vertikal (rumah sakit yang berada di bawah pengelolaan Kemenkes) menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9 atau PHQ-9.

Dari total peserta PPDS yang mengalami gejala depresi paling tinggi ditemukan pada peserta yang berasal dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta sebanyak 22,4%, Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung 12,9% dan Rumah Sakit Sarjito Yogyakarta 12%, Rumah Sakit Ngurah Rai Bali 10,5% dan Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar 8,8%. 

Beberapa Faktor Penyebab Depresi

Ada berbagai faktor penyebab depresi calon dokter spesialis. Yang pertama adalah calon dokter PPDS harus mengemban pendidikan bersamaan dengan pelayanan rumah sakit. Selain belajar, calon dokter spesialis juga harus memberikan pelayanan di rumah sakit vertikal serta merawat pasien di bawah bimbingan supervisornya. 

Seperti yang sudah kita ketahui Rumah Sakit Vertikal memiliki jumlah pasien yang banyak dan tingkat okupasi tinggi, sehingga para PPDS harus membagi waktu antara pendidikan dan pelayanan rumah sakit seperti jaga malam, melayani keluhan pasien, laporan pasien, presentasi kasus, membuat jurnal dan lain sebagainya. Beberapa mahasiswa mungkin ada yang keteteran mengikuti ritme pendidikan seperti ini. 

Yang kedua adalah faktor ekonomi karena praktis pada saat pendidikan para PPDS tidak bisa bekerja dan memperoleh penghasilan. Sedangkan sebagian besar mahasiswa PPDS sudah berkeluarga dan memiliki anak. Jadi harus menanggung kebutuhan keluarga dan juga biaya-biaya diluar biaya pendidikan dokter spesialis.

Yang terakhir dan faktor yang menjadi isu terbesar penyebab depresi dan pencetus gangguan kesehatan mental adalah adanya perundungan dari para senior yang di justifikasi atas nama pendidikan mental yang pada akhirnya menjadi tradisi dan hal yang lumrah terjadi.

Sudah menjadi rahasia umum dan nyata terjadi adanya perundungan para senior kepada para mahasiswa PPDS yang kadang diluar batas kemanusiaan. Dari beberapa kasus dan perbincangan di kalangan para PPDS bahwa para senior memberi penugasan yang bukan merupakan bagian daripada tugas pendidikan dan lebih ditujukan untuk kepentingan pribadi seperti mengantar makanan, minta dibelikan pulsa hingga minta dibelikan barang-barang pribadi dan sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun