Sedari kecil hingga beranjak dewasa, aku selalu bertanya-tanya, kenapa orang tuaku seringkali marah, bahkan membentak dan tidak jarang membuat hati dan pikiranku menjadi kacau hanya karena masalah kecil yang aku perbuat.Â
Hal hal baru yang akan aku lakukan pun juga selalu diinterogasi untuk apa tujuannya. Aku pikir orang tuaku tidak sayang atau malah membenciku, bahkan sempat terbesit dalam benak, mungkin aku bukan anak kandungnya atau sebatas anak pungut yang menumpang hidup dirumahnya, pemikiran remaja labil, he.
Seiring berjalannya waktu, setelah lulus kuliah akhirnya aku bekerja di salah satu perusahaan, jauh meninggalkan orang tua dan keluarga besar, aku di Lombok, mereka di Jawa. Tidak mudah seorang gadis sendiri merantau jauh tanpa seorangpun kerabat atau sanak saudara menemani.Â
Namun tidak lama, aku ternyata dapat beradaptasi dengan mudah, karena banyak teman sekantor yang juga berasal dari Jawa. Hingga akhirnya 2,5 tahun bekerja, aku menikah dengan seorang laki-laki yang sekarang menjadi imamku.
Aku resign/keluar dari pekerjaan bergengsi itu, pekerjaan  yang masih diperebutkan oleh puluhan ribu orang, pekerjaan yang memberikan aku kemapanan dan segala kecukupan,  demi bisa menjadi sekolah pertama anakku, merawat, mendidik dan mengajarinya hal baru.Â
Satu tahun pernikahan, lahirlah anak pertamaku, laki-laki, alhamdulillah sempurna secara fisik tanpa kurang satupun. Semasa mengandung, aku selalu berusaha merawatnya, makan makanan yang sehat, juga rajin ke dokter kandungan untuk melihat tumbuh kembangnya selama di dalam perut, karena seperti kita ketahui, tumbuh kembang anak dimulai sejak dalam kandungan.
Dari rejeki air susu yang Allah SWT berikan melalui diriku untuk  anakku sehingga dia dapat tumbuh besar, aktif dan cukup cerdas. Setiap momen perkembangannya mulai saat belajar makan, belajar merangkak, berjalan hingga berbicara aku selalu menemani dan tak pernah melewatkannya sedikitpun, karena hampir disetiap aktifitasnya selalu ada aku disisinya, menjaga dan mendampinginya.
Menjadi ibu muda yang baru memiliki anak, aku benar-benar belajar semuanya otodidak melalui  media sosial, mulai dari cara menyusui, cara memandikan, cara membedong bayi dan lain-lain tanpa bantuan siapapun, bahkan orang tua juga tidak ikut campur, karena kondisi kami yang berjauhan dan mereka sibuk bekerja di Jawa, sementara aku di Lombok hanya bersama suami dan anak pertamaku.
Hari demi hari kami lalui, kini anakku sudah bisa berjalan dan mulai sedikit berbicara. Sebagai seorang ibu yang beragama islam, selain mengajarkannya cara memanggil Ayah dan Ibu, Â aku juga mengajarkan anakku menyebut kata Allah dan kalimat-kalimat pujian terhadap Allah, La illaha illallah, Subhanallah, MasyaAllah dan lain-lain, meskipun belum dapat terucap dengan baik, tanpa lelah aku terus mengajari.Â
Di usianya menginjak 1,5 tahun sebagai sekolah pertama anakku, aku juga mengajarinya belajar huruf-huruf hijaiyah, mengajarinya macam-macam warna, angka, bahasa dan nama nama benda disekitar. Tidak perlu memaksanya untuk menghafal seketika itu juga, cukup diajari serta diulang setiap hari dan MasyaAllah, tidak disangka-sangka, tau-tau anak dapat menghafal dengan sendirinya dan cepat.
Aku ingin menjadikan diriku sebagai sekolah pertama anakku. Bertambah usia anakku, bertambah pula hal baru yang ingin ku ajarkan padanya. Di usia 2 tahun, aku mulai  mengajari dan menunjukkan pada anak bagaimana cara beribadah dan bacaan sholat, juga membantunya menghafal kitab suci Al Quran dimulai dengan surat Al fatihah dan surat surat pendek lainnya.Â