JANGANKAN untuk hutan kota, kawasan eks Bandara Polonia Medan untuk ruang public pun sulit dipercaya akan bisa. Pasalnya, kawasan ini perlahan telah dikepung dengan kebijakan dan keperluan para penguasa. Seperti pertemuan tertutup yang dilakukan oleh sejumlah pejabat terkait di kawasan ini pada 28 desember 2013. Apa yang mereka bahas, tidak bisa diketahui oleh masyarakaty banyak.
Bahkan, muncul banyak pertanyaan, apa yang dibahas dan diputuskan dalam rapat yang dipimpin Menteri Pertahana RI Purnomo Yusgiantoro, juga dihadiri oleh Pelaksana Tugas Wali Kota Medan Dzulmi Eldin MSi. Hanya saja, Eldin yang menjadi orang nomor satu di Kota Medan saat itu tidak berani membuka apa rencana ke depan tentang perencanaan pembangunan eks bandara tersebut.
Kenyataannya, ruang terbuka hijau Kota Medan saat ini sangat minim, tidak sampai 9 persen dari luas wilayah Kota Medan. Sementar dalam perundangan yang berlaku minimal 30 persen ruang terbuka hijau harus tersedia.
Meski Pemko Medan selalu mengumbar janji selalu menganggarkan untuk pembuatan ruang terbuka hijau, ternyata jauh dari harapan. Dimana anggaran yang ditampung dalam prakteknya hanya melakukan renovasi untuk taman-taman di median jalan dan taman kota yang telah ada sejak dahulu.
Saat ini, ada ruang terbuka seperti eks bandara Polonia, apa masih mungkin kepala daerah di Kota Medan mampu mengalihkannya menjadi ruang terbuka hijau atai ruang public?
Kejadian-kejadian yang cukup mengecewakan sucah cukup banyak dipertontonkan para penguasa. Center Point di kawasan Jalan Jawa, Gang Buntu, sampai saat ini berdiri dan etrus berjalan proses pembangunannya. Walau tak mengantongi izin mendirikan bangunan, atau legalitas berioperasinya gedung di kawasan itu.
Semua pejabat di daerah ini “tutup mata” dengan lembaran sumpalan rupiah. Seakan tidak ada sanksi bagi mereka yang telah melanggar peraturan daerah.
Menanggapi pendapat sejumlah pakar yang menyampaikan agar kawasan eks Bandara Polonia menjadi Hutan Kota untuk menghindari banjir, nampaknya tidak akan bisa dijawab oleh pemerintah. Tanggapan para pakar dalam terbitan Harian Umum Sinar Indonesia Baru dengan judul “Antisipasi Banjir seperti Jakarta, Medan Harus Tambah RTH dan Perbanyak Vegetasi. Kawasan Eks Bandara Polonia Harus Jadi Hutan Kota, Bukan Pusat Bisnis dan Hunian Elit” ed Rabu 22 Januari 2013.
Seperti disampaikan pakar geologi Ir Jonathan Ikuten Tarigan dan pemerhati pembangunan Dr Badikenita Putri Sitepu SE MSI dari Ikatan Alumni Magister Ekonomi Pembangunan (IKA-MEP) USU secara terpisah menyebutkan, Kota Medan sekitarnya hingga kini masih tetap rawan terhadap banjir bahkan dengan tingkat yang lebih besar dari biasanya, baik banjir yang bersifat lokal maupun banjir kiriman.
Dimana disampaikan, tindakan pertama yang penting adalah menambah ruang terbuka hijau (RTH) ataumenambah daerah resapan air (DRA) di kawasan inti Kota Medan, dan menambah tumbuhan vegetasi di sekitar hulu atau pinggiran kota. Ini harus diwujudkan sebagai tindak nyata dari pesan-pesan baliho Gubsu & Wagubsu tentang bahaya banjir dan perlunya menanam pohon-pohon di sepanjang tepi sungai.
Bukan tidak pernah Sumut dilanda banjir, seperti banjir bandang yang pernah melanda Sumut seperti di Bohorok dan Madina/Tapsel. Dan di Kota Medan ada sekitar Sembilan lokasi DRA yang kini nyaris hilang. Secara topografis, Medan ini rawan banjir dari tiga aspek, yaitu potensi banjir rob (serangan airlaut dari arus pasang), banjir lokal akibat curah hujan yang tinggi dan banjir kiriman yang melintasi sungai-sungai akibat curahan dari kawasan hulu seperi Karo, Deli Serdang (Sibolangit sekitarnya) dan Langkat.
Mencermati kondisi ini, jelas perhatian terhadap lingkungan di Sumut khususnya ibu kota Provinsi, Medan, sudah menjadi hal yang urgen. Harus dimulai dari perhatian pemerintah, karena mereka yang memiliki kuasa untuk menempatkan sebuah titik ekosistem di kawasan ini.
Warga hanya memiliki sepetak lahan untuk tempat tinggal, yang harus diminta menyisihkan sebahagian untuk ruang lahan terbuka sebagai kawasan resapan air. Apakah pemerintah telah eprnah menyisihkan lahan yang dialihkan peruntukannya untuk penghijauan? Apakah sudah sebanding dengan lahan yang dialihfungsikan?
Kondisi saat ini juga semakin terdesak dengan kenyataan di lapangan. Kompleks yang dibangun ke arah sungai Deli semakin melebar. Keselamatan pinggiran sungai juga semakin terancam. Padahal, pemerintah mencanangkan revitalisasi sungai. Apakah hanya merevitalisasi warga dengan ekonomi lemah? Sementara bangunan bertingkat dan mewah akan dibiarkan di pinggir sungai?
Semua aparat hanya melihat dengan mata kakinya, tidak melihat dengan mata di kepalanya. Sehingga, ketika ada acara digelar di kawasan-kawasan seperti ini justru dihadiri dan mengucapkan terimakasih kepada pemilik atas kemauannya untuk menanamkan saham di daerah ini.
Apakah TNI AU Terbeli?
Melihat kondisi di kawasan CBD Polonia, posisi markas besar TNI AU semakin dijepit. Pintu utama dibuat dengan membelah markas ini. Apakah institusi ini telah dibeli oleh pengusaha?
Jalan Komodor Udara Adisucipto yang sejuk dengan pepohonan di sekitarnya, dimana kawasan ini menjadi kawasan tertib berlalu lintas. Sayangnya, kini truk container pun bisa melintas di kawasan ini. Padahal, angkutan kota dan becak saja tidak dibenarkan masuk kawasan ini.
Saat truk container melaju di kawasan ini, cukup terlihat sesak. Dimana, container yang tinggi menyapu cabang pohon yang rindang di tepi jalan. Bahkan dia harus berjalan perlahan karena dihalau oleh cabang pohon yang akhirnya berpatahan.
Jelas, tanaman dan kawasan yang dipelihara negara ini akan rusak hanya karena kepentingan dan keinginan penguasa.
Apakah kawasan ini sudah tidak menjadi tertib lalu lintas lagi?
(###)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H