Kerukunan dan ketenteraman di tengah-tengah kami, baik di pinggiran danau toba, di tengah danau toba, maupun di dalam danau toba, selalu tercipta sejak dahulu kala. Orang asing bukanlah asing bagi kami, terlebih kami sadar akan keberadaan tanah Batak dan Bangso Batak itu adalah bagian dari NKRI. Maka, jangan ajari kami bagaimana menghormati dan menghargai orang lain.
Jika akhir-akhir ini dengan alasan pengembangan kawasan Danau Toba menjadi tujuan wisata internasional atau internasomal, kami sangat menyambutnya dengan lapang dada. Namun, jangan sampai kami tidak nyaman tinggal di tempat dimana kami dilahirkan dan dibesarkan dan akan dimakamkan nantinya.
Kenapa? Kami tidak pernah risih dengan kedatangan orang lain, menikmati alam kami dan menyaksikan bagaimana kami hidup (walau itu disebut peta kemiskinan), kami bangga dengan diri kami.
Satu hal lain yang mengusik penulis, bagaimana ada statemen dari seorang pemimpin di Sumut selalu mendiskritkan keberadaan masyarakat pinggiran danau toba dan tapanuli secara umum. Selalu beralaskan ajaran agama yang dianutnya.
Eits, jangan coba-coba kawan. Perlu semua tahu, silahkan sebut kami tidak beragama, tapi jangan coba-coba sebut kami tidak beradat! Adat istiadat dan tatanan kehidupan kami dari turun temurun, mengenal tarombo, tatacara budaya/adat dan wilayah kami adalah kehidupan kami.
Sekarang media sosisial akhirnya bak kandang Babi hanya gara-gara ucapan wacana dari bapak Gubernur yang terhormat.
Perlu kita ingat ya, Jangan Ajari kami bagaimana cara menghormati orang lain. Pernahkah kalian berkca? Bagaimana kami hidup berdampingan dengan tentram selama ini? Kami tidak persoalkan apa agama saudara kami, namun kami harap mereka beradat dan beradap. Agama adalah ajaran yang datang di tengah-tengah kami, namun adat dan budaya kami adalah kami.
Jika wisatawan mu itu mencoba untuk menghapuskan peradaban kami, jangan bawa itu bagi kami. Tapi ingat! Wisata mana yang berlabelkan halal bisa sukses di dunia ini? Karena jika perlu kalian tahu, jika halal mu itu digunakan, maka orang yang berkunjung juga harus orang-orang tertentu. Tidak lagi bebas berpakaian dan lain sebagainya. Kalian lah yang tahu itu.
Sejarah dan perkembangan danau toba dan kami yang tinggal disini, bukan bangsa Indonesia yang lebih tahu. Sejarah kami justru lebih banyak di eropa sana tercatat, ingat itu. Jadi jangan lah sok tahu dengan kami.
Banyak yang berkata, kenapa kami menolak saat gubernur yang berwacana, ya karena selama setahun Sumut dipimpin, kami selalu didiskritkan. Kami seolah dipandang kerdil, sehingga saudara kami di pemerintahan (Pemprovsu) seolah dianggap tidak mampu dan dibuang. Kenapa sebelumnya bisa? Apa karena mereka Batak dan Kristen? Miris.
Atau mungkin ini yang disebut istilahnya, "Menguasai belum tentu bisa mengemudikan". Memang ada saat ini yang berkuasa, tapi sayangnya sepertinya tidak bisa mengenali Sumatera Utara ini. Hanya bermodalkan bentak dan bentak setiap orang yang mencoba memberikan saran.