Ketersediaan energi di Indonesia selalu terancam, menjelang hari besar keagamaan atau moment etrtentu Bahan Bakar Minyak (BBM) selalu menjadi kendala. Antrian panjang menjadi pemandangan yang umum. Seperti saat jelang bulan puasa, jelang idul fitri, dan perayaan lainnya. Baik dari ibu kota, sampai ke pelosok hal ini menjadi ‘rahasia ilahi’.
Sesungguhnya, ibu pertiwi ini bukan kurang sumber energi. Dimana masyarakat Sumut sampai saat ini harus jadi korban isu politik pemerintah pusat melalui ketersediaan energi listrik. Pemadaman bergilir menjadi momentum bagi para pejabat dan politikus memamerkan dirinya melalui komentar-komentar yang memberikan sekedar angin segar bagi warga Sumut.
Fenomena krisis energi ini, ternyata saling berkaitan. Pemerintah harusnya berani mengambil tindakan, untuk kepentingan bangsa ini. Bukan hanya memikirkan pribadinya saja. Dengan mempertahankan impor minyak, dan juga menggunakan minyak fosil untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik.
Kenapa demikian, karena ternyata, limbah di negara ini saja berpotensi menghasilakn 32.000 MW energi listrik. Seperti disampaikan Kasubdit Keteknikan dan Lingkungan Bioenergi, Direktorat Bioenergi Kementerian ESDM, Edi Wibowo mengatakan, limbah bisa menjadi sumber energi biomassa. Limbah ini berasal dari sisa proses pengolahan dari perkebunan, pertanian, kehutanan, industri, sampah perkotaan dan limbah produk kelapa sawit (dikutip dari detikfinance, 28/2).
Dari potensi yang ada itu, hanya segelintir yang dimanfaatkan. Bahkan, bukan pemerintah yang melakukannya. Masih di bawah 10 MW, dan itu terbesar di Sumatera dan Kalimantan. Yaitu PTPN dari limbah sawit sebesar 5 MW, Belitung 1,2 MW, dan di Kaltim 2 MW.
Selain itu, negara yang mengikrarkan dirinya sebagai negara agraris sejak kemerdekaan RI tahun 1945, tak kunjung berbenah. Buktinya, mulai dari peralatan pertanian yang sangat sederhana harus diimport dari negara lain. Seperti baru-baru ini, cangkul diimpor, dan tak lama lagi cabe rawit pun akan diimpor secara tersbuka.
Meski pemerintah Indonesia masih malu-malu untuk menyatakannya secara atransfaran. Impor cabe rawit dalam waktu dekat akan diumumkan secara terbuka. Sayangnya, pemerintah selalu membuat alasan tingginya harga bahan seperti cabai rawit yang mencapai Rp 73.000-75.000/kg (detikfinance) di pasar tradisional akan menjadi momok dan alasan untuk mencari alibi.
Upaya pemerintah untuk mengantisipasi ketersediaan bahan pangan dan kedaulatan pangan di negara ini belum terlihat jelas.
Tidak Percaya Diri
Bangsa ini terbukti sangat tidak percaya diri. Kenapa demikian? Pernyataan Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Alex SW Retraubun bisa dikatakan mengaduk-aduk rasa percaya diri SDM bangsa ini. Termasuk merendahkan, kemampuan diri bangsa sendiri. Hal ini terkait tutupnya pabrik-pabrik mobil di Australia. Dan menurutnya, hal itu menjadi ancaman bagi SDM bangsa ini.
Pemerintah seharusnya bukan merendahkan SDM yang ada, melainkan melakukan perlindungan dan pembinaan untuk SDM. Terutama untuk membuat batasan-batasan tenaga kerja asing yang bisa bekerja di negara ini. Hal ini juga sesuai dengan amanat UUD 1945, demi menjamin kesejahteraan bagi seluruh dakyat Indonesia terutama dalam pengelolaan bumi pertiwi.
Lemahnya pengelolaan pemerintahan saat ini, juga terbukti dengan adanya informasi tentang impor kayu Indonesia dari negara luar mencapai Rp 33 triliun di tahun 2013. Bagaimana mungkin, negara tropis dengan hutan yang berlimpah harus meng-impor kayu? Nampaknya, belum ada upaya melakukan pemanfaatan potensi yang ada. Justru pemerintah lebih gemar menggali potensi dari negara seberang.(##)
NB: Tulisan ini seharunya sudah di muat jauh hari, tapi karena berbagai hal. baru bisa dipublish. Tks
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H