[caption id="attachment_260104" align="alignnone" width="300" caption="foto: guetau.com"][/caption] Sudah sering terdengar istilah bagus yang berhubungan dengan anak, seperti kota ramah anak. Salah satunya adalah kota Surakarta, tempat saat ini Saya mengenyam pendidikan. Beberapa waktu yang lalu saya begitu miris, di tengah suasana maghrib ketika berhenti di trafic light melihat pengamen kecil diperas oleh preman atau pengamen yang lebih dewasa untuk setor uang ngamen selama sehari. Betapa kejam kehidupan jika kita kita yang hidup serba kecukupan ini bila merasakan hal itu. suatu tindakan yang benar benar tidak bisa dibenarkan, di tengah tengah negara Indonesia yang selalu mendengung ndengungkan bahwa indonesia adalah negara hukum, sesuai dengan bunyi pada UUD 1945 pasal 3. kaidah kaidah dalam Undang Undang dan peraturan hukum indonesia yang lain pun begitu indah indah berbeda dengan apa yang ada di kenyataan seperti:
- Dalam Undang Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1) yang berbunyi Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara.
- dalam Perwali No. 6 tahun 2008 Kota Surakarta, Kota layak anak diartikan sebagai Kota yang menjamin hak setiap anak sebagai warga kota.
- hak hak anak sendiri diatur di pasal 4 Undang Undang No. 23 tahun 2002 yang disebutkan sebagai berikut " setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan hakrat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi
Hal yang saya lihat tadi adalah 1 peristiwa di satu titik kota, di antara 506 Kabupaten dan Kota di Seluruh Indonesia. padahal begitu banyak peristiwa lain seperti eksploitasi anak untuk bekerja kasar dengan alasan membantu orang tua. Belum lagi menjadi korban pelecehan seksual seperti yang berulang kali terjadi di Indonesia sebagai contoh: pembunuhan berantai Babeh terhadap belasan anak jalanan. kemudian kasus Robot Gedek yang juga melakukan sodomi dan pembunuhan berantai terhadap anak jalanan Menurut saya, pada prinsipnya kaidah kaidah hukum dalam peraturan peraturan hukum di Indonesia sangat bagus malah saking bagusnya bahasanya kadang menjadi tidak bisa diterapkan, layaknya mimpi seperti bunyi bunyi pasal yang saya kutip tadi. Dengan berpikir positif, mungkin memang terlalu banyak yang harus diurusi pemerintah dan aparatur aparaturnya sehingga apa apa yang di depan mata sendiri justru terlewatkan seperti masih banyaknya kekerasan terhadap anak ini. Seperti kesimpulan dari teori penegakan hukum Soerjono Soekanto, hukum hanya bisa tegak selain dari peraturan hukumnya baik, penegakan hukumnya baik, budaya hukum masyarakat juga harus mendukung. saat ini masyarakat Indonesia kurang greget dalam memahami hukum, sehingga acuh tak acuh terhadap apa yang terjadi. Menurut saya, Kita harusnya bersyukur hidup di Negara yang religius yang mengenal dasar dasar infak, sodaqoh, zakat. Jika saja Negara Indonesia yang mayoritas muslim ini taat pada aturan aturan agama, dana yang terkumpul tentu bisa digunakan untuk "menyelamatkan" keaadaaan hidup sekaligus masa depan anak anak yang terlantar pada khususnya dan pada fakir miskin di Indonesia pada umumnya. Apakah tidak miris? melihat berita koruptor sepanjang hari, dengan gelimang harta, dan wanita yang tidak henti temuannya oleh KPK, padahal diluar gedung gedung kantor mereka banyak orang yang terlantar dan hidup susah? Sebagai simpulan pada intinya adalah ada 3 jalan untuk menyelesaikan ini: 1. Greget, semangat untuk menaati hukum, menegakkan hukum, membimbing dan melindungi rakyat. 2. Revitalisasi pengumpulan dana dana keagamaan seperti zakat, infaq dan sodaqoh. 3. Pengawasan oleh semua pihak terhadap pelaksanaan pemberdayaan dan perlindungan anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H