Mohon tunggu...
Rangga Umara
Rangga Umara Mohon Tunggu... -

kosong

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nginap di Stasiun Karena Tak Bisa Beli Tiket

4 Juni 2011   14:02 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:52 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Ternyata bahagia bisa datang dari mana saja. Bukan hanya adanya harta, tahta, atau wanita saja. Dari rentetan cerita kecil pun terkadang kerab menciptakan senyum cukup manis di bibir kita.

Bandung kota kembang. Bandung lautan api. Dua nama lain yang di sandang Bandung ini sangat seksi namun kadang bikin njlimet pikiran kanak-kanakku. Dasar anak kecil!  :) Gimana tidak! Kembang, kan symbol dari sebuah keindahan, kok mesti ada lautan api? husst!! jangan bilang lautan asmara!! Ya sudahlah, kata Bondan. Aku tak berusaha menanyakan pada siapa pun tentang filosofi dari dua nama lain kota Bandung tersebut. Biar saja ini jadi pertanyaan terpendam di benakku. Namun aku ingat kisah “lautan api” dari pelajaran sejarah SD-ku, yaitu, suatu hari di Bulan Maret 1946, dalam waktu tujuh jam, sekitar 200ribu penduduk mengukir sejarah dengan membakar rumah dan harta benda mereka, meninggalkan kota Bandung menuju pegunungan di selatan. Beberapa tahun kemudian, lagu "Halo-Halo Bandung" ditulis untuk melambangkan emosi mereka, seiring janji akan kembali ke kota tercinta, yang telah menjadi lautan api. [cut cerita].

“Kota kembang”. aku mendeskripsikan kata ini dalam imaji kecilku: sebuah kota yang di sana-sini bercokol gedung tinggi manantang langit, dengan bentangan2 jalan yang berderet bunga-bunga indah di kanan-kiri, juga alun-alun yang di tengah-tengahnya ada lapangan bola sekelas old traford dan seluruh tepi berhiaskan bunga-bunga indah pula [dasar hoby najong bola hehe] hingga menciptakan pemandangan yang super eksotik. Nyam nyamm… seneng bangettt mungkin kalau bisa menikmati beberapa malam saja di kota itu, pikirku yang saat itu masih duduk di kelas 6 SD.

Dasar Innamal a’malu binniat, kata ustadz Sholeh, sepupuku yang sering gonjang-ganjing Bangkalan, Surabaya, dan Bandung, mengajakku ikut ke Bandung. Asikkkkkk…! Yess yes yess! Kataku sambil menirukan gaya Ruud Gullit saat berhasil menyarangkan si kulit bundar ke jaring lawan. Aku bahagia. Menjelang keberangkatan, semalam sebelumnya, aku nyaris tidak bisa memejamkan mata barang sedetik karena replika kecil Bandung yang selama ini menganak di kepalaku sebentar lagi akan lahir menjadi kenyataan.

Hari itu hari kamis. Aku dan Raju sepupuku tlah terguncang-guncang di atas mobil pic up, kol buntung, biasa orang bandung menyebutnya. Aku duduk di belakang bersama penumpang lain. Sinar mentari pagi sepanjang perjalanan terus menyirami tubuh kami yang ada di bak belakang pic up. Saat itu alat transportasi di kampung kami hanya pic up dengan bak terbuka di belakangnya. maklum, desooo... yang penting rizki kuto. *Tukul.com*. tapi aku sangat mencintai kampung naturalku itu; negara kelahiranku.

Kendaraan itu terus melaju melalui jalan berbatu. Tak jauh di kanan kiri embong, orang-orang kampung sedang sibuk membajak ladang yang dibantu dua sapi sebagai penarik nanggala dari depan. Di sela-sela deru kendaraan yang kutumpangi, terdengar berkali-kali bunyi lecutan sang pembajak. Dari mulutnya berloncatan triakan-triakan, “ hay, gure gure gure. Li lii dieeuu..” ntah apa artinya, sampai saat ini, walau aku berasal dari kampung itu tak pernah berhasil menemukan translate-nya. Mungkin itu bahasa isyarat bermetapora, kata sang penyair. Atau rambu-rambu lalulintas, kata pengemudi. Atau… ntahlah, interpretasi aja sendiri! kataku hehe. Aku paling bahagia saat ini, daripada pembajak-pembajak[bukan pembajak laut lho!] itu. Orang lain jalan-jalan, mereka malah membajak ladang!, pikirku sok gaya sendiri.

Sampai di stasiun semut, ternyata aku dan Raju harus mendelay keberangkatan, karena aku sampai di ST Semut pukul 03:30, sedang Kreta yang ada sore itu hanya Mutiara Selatan dan Turangga, yang harga tiketnya bernilai lebih dari quota bekal kami. Dan Kreta Pasundan, yang menjadi favorit kaum ber budget pas-pasan itu jadawlnya pukul 05:30 pagi. Akhirnya kami memutuskan untuk bermalam di ST Semut, menunggu jadwal Kreta ekonomi itu tiba. Haahhh nasibb nasib!.”Inilah hidup. Untuk hidup, kita hanya mengenal koma, bukan titik. Jangan pernah berhenti hanya karena kakimu tertusuk duri, kalau tidak kamu akan didahului si pincang dengan satu tongkat, untuk mencapai sebuah tujuan”. Kata-kata pak Hannan ini, guru SD-ku, terekam selalu di otakku, hingga aku tetap tersenyum walau harus bermanja-manja dengan nyamuk, dan dinginnya angin malam memelukku sepanjang malam di ST Semut.

Bersambung…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun