Mohon tunggu...
Rangga Umara
Rangga Umara Mohon Tunggu... -

http://tigarindu.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Haruskah Aku Menjadi Copet?

28 Maret 2011   07:01 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:22 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sunting

Haruskah Aku Menjadi Copet?

Waktu dan kejadian seperti reinkarnasi yang tak pernah disadari. Sedih dan bahagia seperti musim-musim di dunia ini; pasti terjadi, walau tibanya tak pernah tepat diperkirakan. Aku lelaki kecil yang berusia duabelas tahun saat itu. seusia itu aku harus lebih dewasa dari umurku. Tak seperti teman-teman yang lain yang menghabiskan waktu kecilnya dengan bermain dan berbahagia dalam pelukan orang tua. Aku harus banyak memangkas waktu bermainku untuk membantu nenek mencari kayu bakar, mencari rumput untuk sepasang sapi, bahkan tak jarang aku ikut nenek berjualan cucur di pasar. karena aktivitas itulah aku sering mendapat teguran dari guru madrasahku karena terlambat datang sekolah. Pak Ustadz memaklumi seusai aku terengah-engah menjelaskan semuanya, kalau toh akhirnya aku tetap harus manjheng, menjalani hukum adat di kelasku; siapa yang terlambat harus di hukum manjheng; berdiri di kelas paling depan menghadap teman-teman sekelas. “mau sekolah apa mau jualan cucur…Hahaha..” ledek Arif, tokoh paling antagonis di kelasku, setengah berteriak. Suara riuh rendah segera berhamburan dari mulut  teman-teman sekelas menyesaki ruangan. Suasana kembali senyap setelah Ustadz Syaiful  berdiri menyuruh mereka diam. Aku tersenyum walau sebenanrnya hati teramat pedih. Dan peristiwa itu sering kualami. Namun, sepahit apa pun cibiran teman-teman, tak menyurutkan aku untuk membantu nenek. Aku ingin hidup lebih baik seperti mereka, tapi nasib baik tak selalu dimiliki setiap orang. Aku harus menjalani apa yang harus kujalani. Sore itu langit cerah sekali. Angin bertiup lembut, gemeretak  berlarian di daun-daun mangga yang tumbuh berjejer memagari rumah mungilku. Aku duduk bersandar di tiang penyangga rumahku yang terbuat dari bambu. “Kakkkk… aku yang ngulur…” triak Karim sambil berlari mendekati kakaknya yang sedang mengambat dan mengulur senar layang-layangnya. Anak berusia tujuh tahun itu terlihat sangat girang. Seperti rutinitas setiap sore, lapangan dekat rumhku selalu dipenuhi orang-orang, mulai dari anak-anak sampai yang berjenggot, untuk menerbangkan layang-layang dengan berbagai jenis. Layang-layang adalah hiburan paling top di kampungku saat itu. Setiap pemilik layang-layang selalu punya orang kedua yaitu penganju; penerbang dari jarak jauh, untuk kemudian ditarik oleh orang pertama sebagai pemegang tali kendali demi memudahkan proses penerbangan. Mataku seolah tanpa kejap mengikuti kemana arah setiap layang-layang terbang. Tiba-tiba aku rindu dua sosok yang sangat kurindukan: Ayah Ibuku. tiga  tahun lalu aku dan Ayah selalu bermain layang-layang di lapangan itu. Jika Ibu memanggil kami untuk makan, maka lekas-lekas kami menambatkan senar layang-layang ke pohon langai kecil yang tumbuh di tepi timur lapangan. Kami makan di satu meja yang sama sambil sesekali mengamati kelembak layang-layang bergerak kesana-kemari di atas sana. Ayah… Ibu… pulanglah, aku rindu kalian. Aku juga ingin seperti mereka, bermain layang-layang, memakai baju baru ketika lebaran, dan tak terlambat sekolah karena harus berlomba dengan waktu-waktu. Tapi semua itu tak mungkin hadir kembali pada kehidupanku sekarang. Ayah Ibuku berpisah dua tahun yang lalu. Ayahku menikah lagi dan tinggal di Jakarta. Sedang Ibuku memilih menetap di Kalimantan. Kini aku tak punya siapa-siapa, selain nenek yang selalu sabar membesarkan aku. Mau tidak mau aku harus bahagia dengan kehidupanku sekarang. Kebahagiaan takpernah dilahirkan, tapi diciptakan, motto hidupku, walau nyatanya harus terus berjuang untuk mengarungi samudera hidup yang setiap waktu menciptakan adrenalin besar bagi pengarungnya. “Fahri, kedelai kita dibeli Pak Ramlan.” Tiba-tiba suara nenek mengagetkanku. Kusapu sesuatu yang menggenang  di sudut mataku dengan punggung tanganku. Untung nenek tak memperhatikan, hingga beliau tidak tahu kalau cucunya sedang sedih. “besok atau lusa, kita kerumah Ustadz Yazid, untuk bikin tasyakuran khataman al-Qur’anmu yang ke tigakalinya.” Aku mengangguk dan tersenyum senang. “terimakasih,nek…” cepatcepat aku beranjak dari dudukku mengkuti langkah nenek menuju serambi rumah. Masa berubah seiring perginya waktu. Usiaku kini tujubelas tahun. Orang-orang di kampungku seperti mengadakan eksodus besar-besaran. Semua telah berubah, ternyata manusia telah termakan oleh  kemilaunya dunia. Orang-orang kampung yang dulunya senang membajak sawah, kini ritul pagi itu mulai punah. Semua mulai merantau. Seperti halanya aku, yang pergi meninggalkan kampung tercinta, juga seorang nenek yang sangat kucintai. Tak apa, asal kemana pun kamu pergi, jangan sampai lupa shalat lima waktu, pesan beliau yang selalu kuingat. Sudah enam bulan aku tinggal di Jakarta. Aku bekerja apasaja untuk mengisi perut. kadang jadi kuli angkut barang di Stasiun, kadang jadi penyortir barang bekas di lapak milik Pak Haji Rohim. terakhir aku ikut mengamen bersama teman-teman yang baru kukenal di terminal. Satu ketika, sehabis shlat dzuhur di musholla, yang berada di sebelah timur terminal Pulogadung, tiba-tiba ada pemuda berambut gondrong (seumur denganku kira-kira)dengan sleyer warna merah terkalung di lehernya--kalau dilihat dari pakaianny  ia seperti penghuni jalanan dan terminanl. dia lari terenggah-engah menuju kearahku yang masih berdiri di antara dua dinding  :musholla dan toilet. Aku panik. Secepat kilat aku mendoyongkan tubuhku ke dinding musholla, membiarkan pemuda itu lewat.  dengan cepat pemuda gondrong itu lenyap di balik pintu bertuliskan, ‘tempat peralatan musholla’,sekitar dua meter dari pintu masuk musholla. Aku mengelus dada dalam  posisi tubuhku masih tersandar , sambil berusaha menebak-nebak berbagai kemunginan apa yang terjadi dengan pemuda tadi. Mungkin  dia dikejar polisi, karena kedapatan menghisap ganja. Atau…  “mas mass! lihat orang berambut gondrong, di lehernya ada slayer merah?” aku bingung! Kalau kujawab terusterang, pemuda itu akan mati sia-sia karena melihat suasana sungguh tidak kondusif. Mereka segrombolan orang seperti demonstran yang geram pada pejabat yang selalu ingkar. Muka mereka garang.  Sebagian membawa balok kayu sebesar betisku, sebagian lagi menggenggam pipa besi sebesar lengan, dan yang lain hanya berbekal kepal an tangannya. Tak bisa dibayangkan, kalau benda-benda tersebut dihantamkan  pada tubuh manusia ,maka tak ayal tubuh itu pasti remuk tanpa bentuk. “hey, kamu lihat gak?” hardik bapak-bapak berkumis tebal dan berpostur tubuh paling besar di antara mereka. Warna kulitnya sawo matang. sempurnalah kegarangan mukanya. “tettt tidak ada.” Jawabku,panik. “Dasar gemblung! kalau ketemu, kubikin pepes dia!” ujar seorang yang menggenggam pipa besi. Lama kemudian, seoarang ibu, berbaju daster ungu mendekati gadis yang sejak tadi terisak-isak. “makanya, kalau di sini hati-hati,neng. Ini terminal, sudah banyak kejadian di sini. Sabar aja ya?” pesannya, kemudian berlalu pergi. Suasana mulai mereda, karena mereka berpikir telah gagal menyergap buruannya. Satu persatu diantara mereka pergi, termasuk orang paling garang tadi. Akhirnya semi demonstrasi itu berakhir. Aku ajak gadis itu duduk di saung kecil bekas warung kopi samping musholla, tempat di mana tukang ojek biasa ongkang-ongkang kaki sambil menunggu penumpang. Sembretan kopaja terdengar berkali-kali.  Sementara gadis di sampingku masih asik bercengkrama dengan kesedihannya. “apa saja yang hilang?” Gadis itu tertunduk, tak menjawab pertanyaanku. Jari kanannya memilir-milir gelang yang melingkari lengan kirinya yang putih bersih. Gelang itu berwarna putih perak. bentuknya seperti tasbih. Indah sekali gelang itu. Ingin rasanya membelinya jika suatu saat kutemukan di toko asesoris. Hhmm… gadis ini cantik sekali. kulitnya putih. rambutnya hitam bergelombang, melengkapi keelokan wajahnya. Ala berpakaiannya seperti orang elit, penampilan anak gedongan, kata orang-orang. Tapi kenapa dia bisa ada di terminal yang sesak dengan sembretan knalpot bus butut ini? Pikirku, sambil memperhatikannya diam-diam. Pemuda gondrong! Yah, hampir aku lupa. “Tunggu di sini ya?” tanpa menunggu jawaban, aku mencilat pergi. Tak butuh waktulama aku sudah berada di depan pintu bertuliskan, ‘tempat peralatan musholla,’ lalu membukanya. kutemukan sesosok manusia sedang merungkut di dalam gudang kecil tempat perkakas musholla disimpan. Sosok itu keluar dari gudang dan meraih tas coklat dari balik jaket dekilnya, kemudian diserahkan padaku. Ia berterimakasih padaku karena telah menyelamatkan nyawanya. Sebelum pergi, pemuda berambut gondrong itu sempat berjanji kalau ia takkan melakukan perbuatan tak terpuji itu lagi, dan memintaku untuk menyampaikan maaf pada pemilik tas itu. “apa ini yang bikin kamu sedih?” tanyaku, sambil menyodorkan tas coklat yang kuperoleh dari pemuda gondrong tadi. Ia menoleh ke arahku, dan kemudian meraih tas itu dari tanganku. “Iya,mas. Tas ini sangat berharga bagiku. Di dalamnya banyak surat-surat penting milik Ayah.” Wajahnya berubah ceria. Senyumnya mengembang indah. “Terimakasih banyak,mas. Dari mana mas menemukan tas ini?” Lalu ku ceritakan dari awal sampai akhir. Gadis itu manggut-manggut bahagia. Hari mulai sore, suara adzan ‘ashar berkumandang dari masjid terdekat. Gadis itu pergi setelah memberikan gelang berwarna perak kepadaku. Aku senang sekali mendapatkan itu. Tapi ada yang lupa! Kenapa aku tidak minta no telponnya, minimal bertanya siapa namanya? Aku menyesal. Tapi penyesalan itu tiada artinya. Dia telah pergi. Jakarta oh Jakarta. Ternyata nama ibu kota yang sering di dengung-dengungkan banyak orang, tak seindah yang kubayangkan. Semuanya yang bernama manusia di kota ini harus berjuang di atas kakinya sendiri. Tak seperti di kampung, yang solidaritas dan jiwa social penduduknya masih terawat dengan baik. Bagiku, hidup di Jakarta, seperti hidup di kandang macan; menyeramkan! Tapi seperti lagu: terlanjur basah ya basah sekalian. Aku tak mungkin pulang sebelum mendapatkan apa pun yang membuat nenekku bangga. Lampu-lampu memancar menerangi segala penjuru. Suara oprator yang memberi tahu jadwal kedatangan dan keberangkatan Kreta api terdengar berkali-kali.Membosankan! Ntah sudah berapa lama aku merenung di antara deretan kursi tunggu Stasiun Bios? tenggelam di antara lalu lalang orang-orang. Tiba-tiba  ada yang melilit di perutku, perih sekali. Aku baru sadar kalau ternyata hari ini perutku belum terisi apa pun. Aku rogoh saku celana, tak ada uang sepeser pun. Akhir-akhir ini aku memang jarang bekerja sebagai kuli angkut di Stasiun, atau menyortir barang bekas, karena tubuhku yang selalu digrogoti demam.Ough! Dengan cara apa aku harus mengisi perutku? Meminta-minta? Tak mungkin. Menjadi copet? Itu lebih tidak mungkin.  Aku hanya merintih tanpa suara di atas kursi tunggu stasiun Bios. “ya Allah, tolonglah hambamu yang dalam ketidakberdayaan ini. Hanya Engkaulah maha penolong, doaku. Akhirnya, Allah menunjukkan kemurahanNya, aku dipertemukan dengan pemuda gondrong yang beberapa waktu lalu selamat dari kejaran warga di terminal Pulogadung. Nugi namanya. Temannya bernama Arther. Dua nama yang aneh! Mereka mengajakku untuk tinggal sementara dengan mereka, setelah mereka tahu aku tak bertempat tinggal tetap. Berhari-hari aku tinggal dengan mereka di kosan lecil dan sederhana.  Pengamen adalah profesi yang mereka sandang saat ini. Daripada nyopet lagi, mending ngamen, jawab mereka jika kutanya. Karena tak ada pilihan lain, akhirnya aku ikut ngamen bersama mereka. “Itulah ceritaku sebelum kembali ketemu kamu, Starla…” “Terus, kenapa Mas Fahri tak pernah mencariku setelah kejadian di terminal Pulogadung itu?” “Mencarimu? Hehe, kemana aku mencarimu, sementara namamu saja aku tidak tahu?” “Hehe, maaf… waktu itu aku lupa memperkenalkan diri, berikut alamatku,” ucap gadis cantik yang sekarang telah memutuskan untuk berjilbab itu. “Boleh gak bertanya sekali lagi?” “Apa?” “Aku dengar dari Nugi dan Arther, katanya Ayahmu adalah salahsatu pengusaha sukses di kota ini, kenapa Mas harus hidup di jalanan?” Aku tertunduk diam. Tak jawaban apa-apa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun