Mohon tunggu...
Rangga Setyo
Rangga Setyo Mohon Tunggu... profesional -

simple,confidence,interest in Law,my life just in a circle of music,football and food,agile traveller,professional dreamer,Fidanzata,nikonian, i tweet a lot everyday at @ranggasetyo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Quo Vadis MEA (Masyarakat Ekonomi Asia) 2015,Penjajahan Gaya Baru?

28 Juni 2015   19:51 Diperbarui: 28 Juni 2015   19:57 941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Permasalahan tenaga kerja asing seringkali menjadi pekerjaan rumah yang tak kunjung usai baik bagi Negara “importir” maupun Negara-negara “eksportir” Tenaga Kerja, Indonesia sejak lama sudah menjadi pengekspor Tenaga kerja  yang terkenal murah di berbagai Negara tujuan khususnya di kawasan-kawasan Asean seperti Malaysia,singapura,brunei dan Filipina,dari sekian banyak TKI yang dikirim keluar hampir separuhnya lebih bekerja di sektor-sektor Informal,seperti buruh cuci,buruh bangunan serta pembantu rumah tangga  Kemiskinan menjadi Faktor utama pendorong banyaknya TKI ( Tenaga Kerja Indonesia) mempertaruhkan segalanya demi penghidupan yang lebih layak,Derita TKI-TKI ini juga mencerminkan kegagalan Program pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja layak di dalam negeri serta tidak meratanya program pengentasan kemiskinan serta  rendahnya tingkat pendidikan di daerah daerah kantong TKI.

Sebagai Negara dengan Sumber daya alam yang besar Indonesia tidak layak membiarkan Sebagian rakyatnya menjadi sapi perahan di Negara orang, Pemerintah sebaiknya memikirkan bagaimana agar nasib buruh di dalam negeri diperhatikan karena ini terkait Martabat Bangsa. Kebijakan pembangunan juga harus lebih berpihak kepada masyarakat, bukan pemodal belaka. Jika tidak, pekerja sektor nonformal akan mengeskalasi dengan semakin cepat.

MEA 2015 atau masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yang lebih dikenal dengan AEC 2015 adalah bentuk integrasi ekonomi ASEAN dengan adanya sistem perdagangan bebas antar negara-negara ASEAN. Dengan adanya MEA/AEC perdagangan barang,jasa,modal dan investasi antar anggota Asean secara bebas dapat dilakukan tanpa adanya halangan gografis. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi yang merata dan menjadikan ASEAN sebagai pasar tunggal dan kesatuan basis produksi .suatu tantangan yang sadar tidak sadar sudah di depan mata,kesiapan pemerintah maupun sektor swasta dalam mempersiapkan baik infrastruktur maupun SDM ( Sumber Daya Manusia) yang mumpuni menjadi suatu keharusan, yang menjadi pertanyaan besar adalah Bagaimana Indonesia mampu menghadapi AEC 2015 dengan baik sementara Kualitas SDM dalam negerinya masih belum mampu bersaing bahkan Untuk pekerja-pekerja yang bekerja diluar Negeri lebih banyak di sektor informal yang pendidikannya rendah? Perlukah sebenarnya kita dengan MEA/AEC 2015? Lebih menguntungkan kah atau justru Vice versa??

Dengan SDA ( sumber Daya alam ) yang besar dan berlimpah sementara SDM ( Sumber daya Manusia ) yang tidak terlatih/mempunyai keterampilan untuk mengolah SDA menjadikan Indonesia sebagai pihak yang kemungkinan besar akan paling dirugikan dengan adanya MEA 2015,dan AEC bukanlah satu-satunya tujuan ASEAN dalam hal membuat Pasar ekonomi terintegrasi di wilayah ASEAN dimulai dari adanya AFTA 2010( Asean Free trade Area) merupakan bentuk awal dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia,kemudian dicanangkan AEC 2015 yang kurang lebihnya dapat merugikan Indonesia yaitu dalam hal

-bahwa Indonesia kehilangan kemampuannya untuk berdaulat atas ekonominya sendiri sebagai Negara Kesatuan sementara ASEAN sendiri konsepnya Sebagai Negara perserikatan bangsa- bangsa ASEAN.

 -Pasar di Indonesia sangat besar, sementara negara-negara ASEAN lain memiliki pasar sangat kecil. Hubungan        yang tidak seimbang bahwa nantinya tenaga kerja banyak terserap ke Pasar Indonesia sementara bangsa  Indonesia belum sanggup bersaing yang akhirnya tergilas dan termarginalkan bahkan di tanah airnya sendiri

-Indonesia yang seharusnya berfokus pada daerah tertinggal di Nusantara dimana pemerataan pembangunan belum tercapai serta pengentasan kemiskinan belum menyentuh keseluruhan wilayah Indonesia tetapi sudah disibukkan dengan adanya Tenaga kerja asing yang sedikit banyak akan mempengaruhi arah pembangunan.

-AEC/MEA 2015 lebih Nampak seperti Neo Liberalisme dimana  Dengan adanya liberalisasi perdagangan jasa, menanamkan kebebasan dalam paham ekonomi serta memperbolehkan penyertaan modal asing yang masuk menjadi lebih tinggi sehingga tidak lagi sesuai dengan peraturan di Indonesia yaitu uu No 25 thn 2007 ttg penanaman Modal dan Pasal 27 ayat (2) dan (3) Permen ESDM No. 27/2013.

Dengan adanya MEA 2015 yang sudah di hadapan mata para pemangku jabatan dan para stakeholder serta seluruh elemen rakyat Indonesia harusnya lebih bersatu dan tidak apatis terhadap keadaan sekitar karena ini adalah salah satu bentuk penjajahan gaya baru, Penjajahan gaya baru atau penguasaan suatu bangsa dimasa kini dan kedepan dilakukan dengan pendekatan apa yang dikenal sebagai perang modern dengan bentuknya 1- Cultur Warfare, 2- Legal Walfare, 3- Economical and Financial Walfare, 4- Teknological Walfare, 5- Social and Historical Walfare, dan salah satu yang sedang terjadi dan mengekalasi dengan koheren melalui MEA 2015 adalah Ekonomi dan keuangan kita tidak terasa sebagian besar telah dikuasai oleh kekuatan asing. Hal itu terjadi karena peraturan-peraturannya telah bergeser justru berpihak kepada asing, bukan kepada rakyat. Hal di atas merupakan cara ampuh negara lain menancapkan kuku-kukunya di Tanah Air kita lantas menghisap semua kekayaan alam, ekonomi dan menghancurkan budaya kita.

Bangsa ini perlu kembali kepada Marwah sejatinya yaitu UUD 1945 dan pancasila guna menangkal hal-hal negatifdari MEA 2015 tapi retorika dan teori saja tidak akan membawa bangsa ini kepada keluhuran banyak stigma yang timbul di masyarakat khususnya kaum muda  yang mengatakan tidak perlunya lagi wawasan kebangsaan atau nasionalisme sehingga dapat dikatakan bahwa globalisasi telah menghilangkan nasionalisme. Itu semua adalah stigma yang menyesatkan, propaganda dan agitasi licik yang bertujuan untuk melemahkan kita agar dapat dijajah kembali. Jika suatu bangsa termakan dengan propaganda tersebut maka dapat dipastikan bahwa bangsa tersebut dalam kondisi terjajah karena sudah kehilangan kebanggaan dan kepribadiannya sendiri. Oleh karena itu jika kita ingin merdeka maka kuncinya adalah jiwa kita harus merdeka terlebih dahulu. Kalau kita masih menjadi bangsa yang berjiwa kerdil, bermental kuli( menunggu perintah,rajin kalau diawasi) mental Batur ( hanya menghamba dan tidak punya inisiatif),mental Keropos ( tidak tahan uji ) , maka tidaklah mungkin kita jadi bangsa yang merdeka. Bangsa yang besar adalah bangsa yang punya semangat patriotisme yang tinggi, bangsa yang punya kebanggaan diri dan setia kepada Dasar-dasar Negara ini.

 

 

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun